Mohon tunggu...
Peni Kharisma
Peni Kharisma Mohon Tunggu... -

Rajin membaca (media sosial) dan berlatih menerjemahkan artikel atau fiksi, sesekali, itu pun kalau sedang rajin

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Para Perempuan Bermata Hitam

28 Mei 2018   06:28 Diperbarui: 28 Mei 2018   08:59 573
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: www.kompasiana.com

"Lalu di mana dia, Bu? Aku tak melihat siapapun."

"Tentu saja kau tidak melihatnya." Ibu menghela napas iba, seakan akulah yang tak mampu menyadari hal yang sangat jelas itu. "Dia kan hantu?"

Sejak ayahku meninggal beberapa tahun lalu, ibu dan aku hidup bersama dengan penuh sopan santun kaku. Kami sama-sama berminat dengan dunia kata-kata, tapi aku lebih menyukai keheningan menulis sementara ia senang bicara. 

Dia terus menerus memberiku gosip dan cerita-cerita; hanya yang berhubungan dengan masa lalu ayah lah yang kusuka, tentang sosoknya yang tidak kutahu: muda dan bahagia. Ada kisah-kisah teror tentang kehidupan, yang seperti polisi, suka mempermainkan makhluk-makhluk bermoral, seperti wartawan tadi. Kemudian ada cerita favoritnya, yaitu cerita hantu. Ia tahu banyak soal cerita ini, sebagian berdasarkan pengalamannya sendiri.

"Bibi Nomor Enam meninggal kena serangan jantung saat berumur 76," Ibu bercerita sekali, dua kali, atau mungkin tiga kali, sudah jadi kebiasaannya mengulang-ulang cerita, yang tak pernah kutanggapi dengan serius. "Ia tinggal di Vung Tau sementara kami di Nha Trang. 

Aku sedang membawa makan malam ke meja ketika kulihat Bibi Nomor Enam duduk di sana dalam gaun malamnya. Rambut abunya, yang biasanya digelung, terurai dan menutupi bahu dan wajahnya. 

Aku hampir menjatuhkan makanan. Saat kutanya apa yang ia lakukan di situ, ia hanya tersenyum. Ia berdiri, mengecupku, dan menunjuk ke arah dapur. Ketika aku menengok ke arahnya lagi, ia tak ada. Ternyata itu hanya hantunya. Aku menghubungi paman, dan dia mengkonfirmasi bahwa bibi telah meninggal pagi itu, di tempat tidurnya sendiri."

Menurut ibu, Bibi Nomor Enam meninggal dengan baik, dikelilingi keluarga di rumah, hantunya hanya datang untuk berpamitan. Ibu mengulang cerita tentang bibi saat kami duduk di dapur pagi itu, setelah malam sebelumnya ibu mengaku melihat kakakku, anaknya. 

Aku menjerang sepoci teh hijau dan memeriksa suhu tubuhnya meskipun ia memprotes. Hasilnya, seperti yang ia perkirakan, normal. Sambil melambai-lambaikan termometer, ia menjelaskan bahwa hantu kakak pasti menghilang karena lelah, setelah menempuh perjalanan ribuan kilo melintasi Samudera Pasifik.

"Jadi bagaimana ia bisa sampai di sini?"

"Ya berenang, lah." Ibu menatapku iba. "Makanya dia basah."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun