Mohon tunggu...
Peni Kharisma
Peni Kharisma Mohon Tunggu... -

Rajin membaca (media sosial) dan berlatih menerjemahkan artikel atau fiksi, sesekali, itu pun kalau sedang rajin

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Para Perempuan Bermata Hitam

28 Mei 2018   06:28 Diperbarui: 28 Mei 2018   08:59 573
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku mengisyaratkannya untuk masuk, kali ini ia menurut, dan duduk di kasurku yang berantakan. Ia menolak bertatapan mata denganku, tampak lebih takut padaku daripada aku takut padanya. 

Saat ia masih 15 tahun, aku sudah 38 tahun dan bukan lagi anak tomboi yang riang, enggan bicara kecuali ada perlu, seperti ketika mewawancarai Victor. Menjadi seorang penulis, meski hanya penulis kelas tiga atau empat, melibatkan etiket yang harus dilakukan. Namun apa yang harus dikatakan kepada seorang hantu, selain bertanya alasannya datang ke sini? Namun aku takut atas jawaban pertanyaan itu, jadi aku justru bertanya, "Kenapa lama baru ke sini?"

Ia melihat kakiku dan jari-jarinya. Mungkin ia merasa bahwa aku tidak ahli menghadapi anak kecil. Buatku, sikap keibuan itu terlalu intim, begitu juga dengan hubungan yang berlangsung lebih dari semalam.

"Kau harus berenang. Butuh waktu lama untuk sampai jauh ke sini, kan?"

"Ya." Mulutnya tetap terbuka, seperti hendak berkata lagi tapi tak yakin apa atau bagaimana mengatakannya. Mungkin hantu yang satu ini adalah efek pertama dari kenormalanku yang menurut ibu tak normal: tak punya anak dan single. Mungkin ia bukan bagian dari pikiranku tapi gejala sesuatu yang salah, seperti kanker yang membunuh ayahku. Kematiannya merupakan kematian yang baik, menurut ibuku, dikelilingi keluarga di rumah, tak seperti yang terjadi pada kakakku, dan juga nyaris terjadi padaku. Kepanikan muncul dari sumur tak berdasar yang sudah kusemen dalam diriku itu, dan aku lega ketika mendengar pintu depan terbuka. "Ibu ingin bertemu denganmu," kataku. "Tunggu di sini. Aku akan segera kembali."

Saat kami kembali, kami hanya menemukan bajunya dan handuk basah. Ibu mengambil kaos abu itu, kaos yang sama yang ia pakai di kapal biru dengan mata merah itu.


"Sekarang kau tahu," kata Ibu. "Jangan pernah berpaling dari hantu."

Celana pendek hitam dan kaos abu itu berbau air laut dan berat, lebih dari berat kain basah. Saat kubawa ke dapur, berat pakaian di tanganku adalah beratnya bukti atas kenangan. Aku sudah pernah beberapa kali melihatnya mengenakan baju ini. Aku ingat celananya bukan hitam kotor tapi masih biru bersih, kaosnya bukan abu compang-camping tapi putih dan rapi.

"Kamu percaya sekarang?" kata ibuku sambil mengangkat tutup mesin cuci. Aku ragu-ragu. Beberapa orang bilang bahwa keyakinan itu membara di dalam diri mereka, tapi keyakinanku yang baru ini malah membuatku merinding. "Ya," ujarku. "aku percaya."

Dengung mesin cuci terdengar sayup ketika kami duduk untuk makan malam di dapur, udara berbaur aroma bunga lawang dan jahe. "Itulah kenapa ia perlu bertahun-tahun," kata ibuku, meniup sup panasnya. Tidak ada yang bisa menakuti selera makannya atau mengganggu perut berdinding bajanya, bahkan tidak kejadian di kapal atau penampakan hantu anaknya. "Ia menempuh jarak itu dengan berenang."

"Tapi Bibi Nomor Enam tinggal ribuan kilo dari kita dan kau melihat penampakannya di hari kematiannya."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun