Mohon tunggu...
Peni Kharisma
Peni Kharisma Mohon Tunggu... -

Rajin membaca (media sosial) dan berlatih menerjemahkan artikel atau fiksi, sesekali, itu pun kalau sedang rajin

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Para Perempuan Bermata Hitam

28 Mei 2018   06:28 Diperbarui: 28 Mei 2018   08:59 573
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mereka bergerak cepat dan menghilang sebelum aku bisa memfokuskan mataku. Tetapi aku mencium aroma mereka juga, parfum istriku ketika ia lewat, wangi sampo di rambut anak perempuanku, keringat di kaos anak laki-lakiku. Dan aku bisa merasakan mereka, anak laki-lakiku mengelus tanganku, istriku meniup leherku seperti yang biasa dilakukannya di tempat tidur, anak perempuanku yang bergelayut di lutut. 

Terakhir, kau mendengar mereka. Istriku memberitahuku untuk memeriksa kunci sebelum pergi. Anak perempuanku mengingatkan agar tidak menggosongkan roti panggangnya. Anak laki-lakiku memintaku menumpuk daun-daun kering agar ia bisa meloncat ke atasnya. Mereka semua menyanyikan selamat ulang tahun untukku."

Victor berulang tahun dua minggu lalu, dan itulah yang kubayangkan---ia duduk di kegelapan, matanya tertutup, mendengarkan gaung nyanyian ulang tahun dari masa lalu--- menjadi pembuka buku memoarnya.

"Tidakkah kau takut pada hantu?" tanyaku.

Di seberang telepon, dalam diam, terdengar suara desis.

"Kau tidak takut pada hal yang kau percaya," katanya.


Jawabannya ini juga kutulis di memoarnya, meski waktu itu aku tidak mengerti maksud perkataannya.

Sekarang aku paham. Badanku menegang sebagaimana aku menangis, tanpa malu atau takut. Kakakku penasaran melihatku menangis untuknya dan diriku sendiri, untuk tahun-tahun yang seharusnya bisa kami lalui bersama, untuk semua kata-kata yang yang tak pernah terucap di antara ibu, ayah, dan aku. Terutama, aku menangis untuk perempuan-perempuan yang hilang dan tak pernah kembali, termasuk aku.

Saat diterbitkan beberapa bulan kemudian, buku memoar Victor terjual baik. Para kritikus mengatakan hal-hal ramah. Namaku tidak tercetak di manapun, tetapi reputasi kecilku sedikit tumbuh di antara kalangan yang bekerja dalam bayangan dunia penerbitan ini. Agenku memberikan penawaran penulisan memoar lainnya dengan bayaran lebih, cerita tentang seorang tentara yang kehilangan kaki dan tangannya ketika berusaha menjinakkan bom. Aku menolak. Aku sedang menulis bukuku sendiri.

"Cerita hantu?" ia terdengar menyetujui. "Aku bisa menjualnya. Orang-orang suka ditakut-takuti."

Aku tidak memberitahunya bahwa aku tak berniat menakut-nakuti orang hidup. Tidak semua hantu menginginkan balas dendam atau kekacauan. Hantu-hantu dalam ceritaku pendiam dan pemalu seperti kakakku, atau arwah-arwah sedih dalam cerita ibuku. Adalah ibuku, sang ahli hantu, yang juga memberitahuku bahwa kakak tak akan kembali lagi. Ia menghilang ketika aku berpaling untuk mengambil tisu. Hanya ada kemurungan di sofa bekasnya duduk, dingin ketika kusentuh. Aku naik ke lantai atas untuk membangunkan ibu, dan setelah menaruh teko di atas kompor, ia duduk denganku di dapur untuk mendengar cerita tentang kunjungan kakakku. Ibu telah meratapinya selama bertahun-tahun, jadi kali ini ia tidak menangis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun