Mohon tunggu...
Kawe Shamudra
Kawe Shamudra Mohon Tunggu... wiraswasta -

seorang peladang yang di sela-sela kesibukannya mengolah lahan selalu menyempatkan menulis catatan harian. Saat ini sedang menulis buku "Silurah Desa Tua".

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pesan Antikorupsi dari Desa Silurah

14 Februari 2016   09:15 Diperbarui: 16 Februari 2016   05:21 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tradisi menjaga Gunung Ragakusuma oleh masyarakat Silurah dalam pemahaman modern dapat dipersepsikan sebagai praktik konservasi tradisional. Hal ini tentunya tidak terlepas dari pengetahuan asli masyarakat setempat. Berdasarkan pengetahuan asli itulah masyarakat mempraktekkan norma-norma konservasi. Ada juga yang menyebut lebih sederhana bahwa praktik menjaga Gunung Ragakusuma diibaratkan sebagai “Perda” atau Perdes” di jaman sekarang.
Sayang, istilah konservasi tradisional belum banyak diuraikan secara jelas, meskipun telah lama menjadi obyek studi antropologi. Konservasi tradisional pada dasarnya merupakan suatu sistem pengetahuan yang diperoleh dari interaksi manusia dengan lingkungan serta seluruh aspek kebudayaan. Sistem ini merupakan rangkaian pengalaman manusia, termasud bahasa, sejarah, seni, politik, ekonomi, administrasi, psikologi serta aspek-aspek teknis lainnya seperti perikanan, pertanian, kesehatan, pengelolaan sumberdaya alam dan sebagainya. Sistem ini menjadi basis untuk pengambilan keputusan dan menjadi substansi pendidikan pada masyarakat tradisional.

Dengan demikian konservasi tradisional meliputi semua upaya pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam oleh masyarakat tradisional baik secara langsung ataupun tidak langsung, telah mempraktikkan kaidah-kaidah konservasi dalam pengelolaan sumberdaya alam guna kelestarian pemanfaatannya. Praktik-praktik tersebut umumnya merupakan warisan nenek moyang mereka, yang bersumber dari pengalaman hidup yang selaras dengan alam. Praktik-praktik pengelolaan sumberdaya alam oleh masyarakat tradisonal yang memperhatikan prinsip-prinsip kelestarian tersebut kemudian dikenal sebagai kearifan lokal setempat.

Sukirno, Pengajar Hukum Adat dan Antropologi Hukum di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, berpandangan bahwa dalam masyarakat tradisional hal-hal seperti itu terbungkus dalam satu mitos. Tetapi di balik itu sebenarnya ada semangat konservasi untuk menjaga alam karena mereka hidup dari alam. Masyarakat adat atau masyarakat tradisional memperhatikan hutan adat karena mereka sehari-hari hidup tergantung dengan alam. Alam harus dijaga karena itu merupakan sumber kehidupan mereka.

Maka tidak berlebihan jika Gunung Ragakusuma dikatakan sebagai salah satu sumber kearifan lokal yang sampai saat ini masih terpelihara. Hanya saja, nilai-nilai kearifan tersebut dikhawatirkan suatu saat akan hilang akibat salah persepsi. Gejala ini sudah mulai muncul ke permukaan. Sebagaimana diungkapkan Sekretaris Desa Silurah, Tabi’in, yang mencermati adanya sebagian warga yang sudah tidak peduli dengan hutan larangan. Mereka sudah tidak menghargai pesan leluhur dalam bentuk tradisi lisan yang bertujuan menjaga hubungan harmonis dengan alam dengan menjaga hutan. Contohnya ada warga yang nekat masuk hutan larangan dan menebang bambu untuk kepentingan pribadi. Dikhawatirkan jika hal tersebut dibiarkan berlanjut maka tradisi menjaga hutan akan hilang dan secara otomatis nilai-nilai kearifan lokal juga akan sirna. Padahal aturan tidak tertulis sudah jelas bahwa hutan bambu hanya boleh ditebang untuk kepentingan umum, bukan untuk perorangan. Logikanya, jika semua orang dibiarkan memotong bambu, otomatis bambu akan habis.

Dengan demikian, keberadaan hutan bambu sebagai bagian aset negara perlu dijaga bersama-sama. Sebagian besar lahan di sekitar Silurah merupakan kawasan tanah negara yang dikelola Perhutani bersama-sama dengan masyarakat sekitar hutan. Gunung ragakusuma sesungguhnya hanya sebagai simbol. Dan berbicara tentang aset negara, maka semua aset negara perlu dijaga bersama-sama agar tidak dirusak atau disalahgunakan oleh orang yang tidak bertanggungjawab.

Maka dalam masa transisi dari pemahaman mitos ke pemahaman rasional perlu dikampanyekan kesadaran menjaga hutan secara kolektif dengan melibatkan semua unsur masyarakat seperti perangkat pemerintah, tokoh agama dan masyarakat umum untuk bersama-sama menyatukan persepsi bahwa menjaga alam itu penting dan perlu dilakukan oleh semua orang. Kehadiran tokoh agama juga sangat diharapkan agar mampu menjelaskan persoalan masyarakat secara proporsional lewat pendidikan agama yang mendalam. Bahwa agama juga memiliki ajaran yang jelas soal pelestarian alam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun