Mohon tunggu...
Kawe Shamudra
Kawe Shamudra Mohon Tunggu... wiraswasta -

seorang peladang yang di sela-sela kesibukannya mengolah lahan selalu menyempatkan menulis catatan harian. Saat ini sedang menulis buku "Silurah Desa Tua".

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pesan Antikorupsi dari Desa Silurah

14 Februari 2016   09:15 Diperbarui: 16 Februari 2016   05:21 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Untuk melengkapi acara, digelar pula pertunjukan wayang dengan “gamelan gaib” yang digunakan untuk mengiringnya yang berasal dari gunung Rogokusumo yang dapat dipinjam asal dengan syarat memberi sesaji terlebih dahulu. Gamelan tersebut kini sudah tidak diketahui keberadaannya. Karena pada jaman dahulu warga yang meminjam ada yang mengembalikannya terlambat tidak sesuai dengan perjanjian, juga kalau ada yang meminjam tidak merawat sehingga menjadi kotor. Sehingga oleh pemiliknya, perangkat gamelan tidak bisa keluar lagi. Cerita ini juga mengandung pesan moral tentang etika pinjam meminjam.

Tradisi tersebut masih dianut sampai sekarang. Nuansa skral masih terasa saat prosesi penyembelihan kambing kendit di lereng Gunung Ragakusuma, namun pada saat pementasan wayang nuansa hiburan dan kebersamaan lebih terasa. Bukan hanya warga Silurah yang hadir, warga dari desa-desa sekitarnya juga ikut menyaksikan pertunjukan wayang. Pertunjukan wayang jelas berbeda dari pentas hiburan lainnya. Dalam pentas wayang jarang dijumpai kasus kekerasan atau perkelahian. Biasanya penonton lebih tertib menghayati lakon yang diperagakan ki dalang.

Selain pentas wayang kulit, acara Ruwat Bumi juga dimeriahkan dengan pementasan tari Ronggeng tradisional di lereng gunung Ragakusuma yang diperankan penari wanita profesional, disertai oleh sekelompok musisi memainkan alat musik khas yakni rebab dan gong. Seperangkat gamelan tersebut digunakan sebagai pengiring nyanyian atau kawih pengiring. Seperli biasa, penari perempuan mengundang beberapa penonton laki-laki atau klien untuk menari dengan mereka sebagai pasangan dengan memberi uang tips untuk penari wanita, diberikan selama atau setelah tarian. Dalam ruwatan ini Kepala Desa diberi kesempatan untuk metoni dan setelah itu tempat pertunjukan dipindah ke dukuh Simangli. Penari dilengkapi dengan sebuah selendang yang digunakan untuk “menggaet” lawan (biasanya laki-laki) untuk menari bersama dengan cara mengalungkan ke lehernya.

Ronggeng Gunung bagi masyarakat Silurah bukan hanya merupakan sarana hiburan semata, tetapi juga digunakan sebagai pengantar upacara adat seperti Ruwat Bumi. Mengingat fungsinya yang demikian, maka sebelum pertunjukan dimulai, diadakan sesajen untuk persembahan kepada para leluhur dan roh-roh yang ada di sekitar tempat digelarnya tarian, agar pertunjukan berjalan dengan lancar. Bentuk sesajennya terdiri atas kue-kue kering tujuh macam dan tujuh warna, pisang emas, sebuah cermin, sisir, dan sering pula ditemukan rokok sebagai pelengkap sesaji.

Makna Ruwatan

Ruwat Bumi merupakan tradisi warisan leluhur yang dipertahankan dari generasi ke generasi. Tradisi ini bagi masyarakat penganut kepercayaan tertentu dianggap sebagai sarana dapatkan keselamatan agar orang terbebas dari segala macam kesialan hidup dan nasib buruk. Bagi yang percaya, ruwatan adalah sebuah upaya membersihkan diri dari sengkala dan sukerta (dosa dan sial) akibat perbuatan jahat diri sendiri, orang lain maupun akibat gangguan mahluk halus.

Ruwatan yang paling terkenal sejak zaman kuno diselenggarakan oleh nenek moyang adalah ruwatan murwakala. Dalam ruwatan ini dipergelarkan wayang kulit dengan cerita Murwakala, dimana orang-orang yang termasuk kategori sengkolo-sukerto diruwat atau disucikan supaya terbebas dari hukuman Betara Kala. Disebut Ruwat Bumi karena dilakukan untuk skala desa atau wilayah yang lebih luas.

Pagelaran wayang biasanya dilakukan pada malam hari dan bersifat sakral, bukan seperti pagelaran wayang dengan motif hiburan. Pemeran wayang juga bukan dalang sembarangan, tetapi dipilih dalang khusus yang mumpuni di bidang ruwatan dan kuat secara batin. Ruwat bumi dianggap ritual besar dan berat dan membutuhkan ragam sesaji yang harus lengkap. Dalangnya yang kuat secara batin cukup ilmu spiritualnya. Konon jika tidak kuat resikonya adalah muntah darah atau bahkan mati karena tidak kuat saat Bethara Kala hadir dan merasuk ke dalam diri ki dalang.

Seiring perkembangan zaman, bukan tidak mungkin sebuah tradisi akan mengalami pergeseran makna, bentuk maupun istilahnya, sejalan dengan perubahan pola pikir masyarakat. Pakar kebudayaan asal Belanda, Prof. Dr. C.A.Van Peursen meyatakan bahwa tradisi dapat diterjemahkan dengan pewarisan atau penerusan norma-norma, adat istiadat, kaidah-kaidah, harta-harta. Tetapi tradisi tersebut bukan sesuatu yang tak dapat diubah-ubah. Tradisi justru diperpadukan dengan aneka ragam perbuatan manusia. Manusialah yang membuat sesuatu dengan tradisi itu. Ia menerimanya, menolak atau mengubahnya. Itulah sebabnya mengapa kebudayaan merupakan cerita tentang perubahan-perubahan: riwayat-riwayat manusia yang selalu memberi wujud baru kepada pola-pola kebudayaan yang sudah ada.

 

Konservasi Tradisional

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun