Mohon tunggu...
Kawe Shamudra
Kawe Shamudra Mohon Tunggu... wiraswasta -

seorang peladang yang di sela-sela kesibukannya mengolah lahan selalu menyempatkan menulis catatan harian. Saat ini sedang menulis buku "Silurah Desa Tua".

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pesan Antikorupsi dari Desa Silurah

14 Februari 2016   09:15 Diperbarui: 16 Februari 2016   05:21 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

 

Di sebelah utara desa Silurah, Wonotunggal, Batang Jawa Tengah,  terdapat sebuah bukit yang disebut Gunung Ragakusuma dengan hutan larangannya yang legendaris. Sepintas, bukit ini tampak biasa-biasa saja. Namun jika dilihat secara cermat, tampak lebih rimbun dibanding lahan di sekitarnya. Di kawasan ini masih terjaga dengan baik sebagai ikon dan sumber kearifan lokal.

Di kaki Gunung Ragakusuma terdapat hutan bambu yang dikenal dengan sebutan Dapuran Larangan. Disebut demikian karena adanya aturan tidak tertulis atau pantangan bahwa warga dilarang menebang pohon bambu untuk kepentingan pribadi. Siapa yang melanggar pantangan ini akan mendapat atau “hukuman gaib” yang tidak diinginkan.

Menurut legenda setempat, di Gunung Ragakusuma pada zaman dahulu terdapat tanaman rotan gaib yang batangnya menghubungkan Gunung Ragakususma dengan Gunung Slamet. Tidak jelas sejak kapan cerita itu muncul di Silurah. Warga mengenal cerita tersebut secara turun-temurun. Dalam persepsi modern, cerita semacam itu dianggap absurd namun diakui mengandung pesan-pesan moral yang ditanamkan dari generasi ke generasi, yaitu pentingnya menjaga hubungan baik dengan alam semesta dengan tidak merusaknya.

Larangan menebang bambu untuk kepentingan pribadi bisa dipersepsikan sebagai cara orang zaman dahulu menjaga aset negara agar tidak dijarah seenaknya untuk kepentingan individu. Pelanggaran terhadap pantangan ini mengakibatkan rusaknya keharmonisan alam. Dalam konteks dunia modern, pantangan tersebut dapat dimaknai sebagai pesan antikorupsi, dimana sebuah aset negara apapun bentuknya tidak boleh disalahgunakan untuk kepentingan pribadi. Kawasan hutan bambu merupakan simbol penjaga gunung yang tidak boleh diusik. Jika rumpun bambu ditebang sembarangan maka aset negara akan habis dan akibatnya keselarasan hidup bermasyarakat akan terganggu.

Hanya saja, cara penyampaian sebuah pesan disesuikan dengan kondisi masyarakat setempat. Boleh jadi karena situasi masyarakat masih didominasi pola pikir mistis, maka pesan moral disampaikan mengikti alur penalaran dan kepercayaan masyarakat saat itu, dimana sebuah gunung atau tempat angker lainnya dipercaya memiliki kekuatan supranatural yang tidak boleh diganggu.

Dari latar belakang tersebut, warga Silurah masih menjaga nilai-nilai tradisi yang diwariskan secara turun-temurun. Ada dua jenis tradisi yang sampai saat ini masih melekat pada masyarakat Silurah. Pertama, tradisi yang berkaitan dengan kepercayaan seperti ritual Ruwat Bumi dan Ruwat Nyukur Gembel, serta Baritan. Kedua, warga Silurah juga masih tradisi yang berkaitan dengan sosial-kemasyarakatan seperti gotong-royong dalam membangun rumah, mengadakan hajatan dan menjaga lingkungan melalui kerigan atau kerja bakti.

Ruwat Bumi

Tradisi Sedekah Bumi atau Ruwatan dilakukan setahun dua kali setiap bulan Legeno dan Jumadilawal. Ditinjau dari aspek sosial-budaya, hajatan ini merupakan sebuah ekspresi kegembiraan warga atas melimpahnya berbagai hasil bumi berupa buah-buahan, maka warga bergotong-royong menggelar acara bersama dengan mengundang penari Ronggeng.

Ruwatan pada bulan Legeno merupakan hajatan khusus warga dukuh Pedati dan Pomahan (satu kebaon) dengan mengundang (nanggap) penari Ronggeng di rumah kepala dusun setempat. Pentas Ronggeng dimulai pagi hari 7 babak lagu di hutan larangan disertai pemberian sesaji dan pembacaan doa. Setelah Kepala Desa hadir untuk metoni baru pentas dipindah ke rumah Kepala Dusun. Sedangkan bulan Jumadilawal merupakan ruwatan tingkat desa. Prosesinya sama tari ronggeng 7 babak di hutan larangan, menyembelih kambing kendit dan kepalanya dipendam di hutan larangan sedangkan dagingnya dibagikan kepada warga, kemudian malamnya mengadakan pertunjukan wayang. Awalnya pentas di halaman rumah Kepala Desa, tapi sekarang dipindah ke lapangan.

Tradisi ruwatan ini tidak terlepas dari adanya cerita legenda yang bertahan secara turun-temurun. Diceritakan bahwa suatu ketika desa Silurah dilanda pageblug atau wabah penyakit yang menakutkan. Banyak warga menderita penyakit aneh, jika pagi sakit sorenya meninggal. Warga cemas dan berupaya mencari pengobatan kesana-kemari. Suatu hari muncul sepasang suami-istri bernama Ki Gonel dan Ni Gonel yang dengan kesaktiannya dapat melenyapkan pageblug tadi. Sebagai ekspresi kegembiraan atas lenyapnya pageblug, warga Silurah mengadakan ritual penghormatan kepada leluhur dengan menyembelih seekor kambing kendit, dan kepalanya ditanam di kaki Gunung Ragakusuma.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun