Proyek KF-21 Boramae merupakan kolaborasi besar antara Indonesia dan Korea Selatan yang dimulai sejak 2014, dengan tujuan menciptakan jet tempur generasi 4.5. Dari total biaya sekitar 8,1 triliun won (setara Rp 121 triliun), Indonesia berkomitmen menanggung 20% atau sekitar 1,6 triliun won sebagai satu-satunya mitra non-Korea dalam proyek ini. Namun, mulai 2023, kondisi ekonomi dalam negeri membuat Indonesia kesulitan memenuhi porsi tersebut. Akhirnya, setelah berbagai negosiasi, kontribusi Indonesia disesuaikan turun menjadi 600 miliar won pada Agustus 2024, dengan 300 miliar won sisanya masih belum dibayarkan. Penyesuaian ini muncul karena mulai terasa ketimpangan antara besarnya biaya yang harus dikeluarkan dengan manfaat konkret dari transfer teknologi yang diperoleh—sebuah dilema yang mencerminkan tantangan nyata dalam menjaga keseimbangan antara ambisi penguatan industri pertahanan dan keterbatasan fiskal nasional.
Dalam kerja sama pengembangan jet tempur KF-21, transfer teknologi jadi salah satu poin utama yang dijanjikan kepada Indonesia. Kesepakatannya mencakup banyak hal teknis—mulai dari desain dan pembuatan bagian penting pesawat seperti sayap, ekor, bodi belakang, hingga komponen sensor; lalu berlanjut ke proses perakitan akhir, uji terbang, dan re-sertifikasi; bahkan sampai pada aspek operasional seperti sistem avionik dan pengisian bahan bakar di udara. Tapi, karena kontribusi dana Indonesia belakangan ini dipangkas cukup besar, cakupan alih teknologinya ikut menyempit. Indonesia tidak lagi diberi akses penuh ke teknologi strategis seperti radar dan sistem siluman, yang jelas membuat posisi tawarnya jadi lemah. Meski begitu, PT Dirgantara Indonesia (PTDI) masih diharapkan bisa tetap ambil peran dalam rantai pasok kawasan ASEAN, apalagi ada potensi penjualan KF-21 ke negara tetangga seperti Malaysia dan Filipina. Namun, ini tetap menyisakan pertanyaan besar: seberapa jauh Indonesia sebenarnya benar-benar "dilibatkan" dalam teknologi inti jet tempur ini?
Sejak 2019, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam membayar kontribusinya untuk proyek KF-21 akibat tekanan pada cadangan devisa, sehingga pembayaran sempat berhenti dan baru dilanjutkan pada 2022 dengan cara yang tidak biasa, seperti lewat proyek smart city dan mobil listrik. Situasi ini bukan cuma soal keuangan, tapi juga berpengaruh serius pada posisi strategis Indonesia—mengurangi peran tawar dalam aliansi pertahanan regional dan menimbulkan keraguan dari Korea Selatan tentang keseriusan komitmen jangka panjang Indonesia. Lebih jauh, rencana Indonesia untuk memproduksi 48 unit KF-21 bisa terancam, karena keterlambatan pembayaran ini berpotensi mengurangi kuota produksi dan memperlemah keterlibatan dalam fase produksi massal yang direncanakan antara 2026 hingga 2028. Jadi, masalah keuangan ini bukan sekadar angka, melainkan berdampak langsung pada keberlanjutan dan posisi Indonesia dalam proyek serta di kancah pertahanan regional.
Pada Februari 2024, muncul isu serius ketika dua insinyur Indonesia diduga mencoba mencuri data sensitif proyek KF-21 dengan menggunakan flash drive dan mengambil foto cetak biru di fasilitas Korea Aerospace Industries (KAI). Kasus ini memicu investigasi intensif dari pihak Korea Selatan, termasuk Defense Acquisition Program Administration (DAPA) dan National Intelligence Service (NIS), yang menyoroti potensi pelanggaran beberapa aturan penting, seperti klausul kerahasiaan dalam perjanjian kerja sama (NDA), UU No. 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan yang mengatur penguatan teknologi mandiri, serta Pasal 112 KUHP yang melindungi informasi strategis. Selain itu, insiden ini berisiko menimbulkan ketegangan diplomatik antara Indonesia dan Korea Selatan, khususnya terkait Treaty of Amity and Cooperation ASEAN-Korsel yang bertujuan menjaga hubungan harmonis. Meski DAPA memastikan tidak ada bocoran teknologi inti, kasus ini tetap mengancam kelangsungan transfer teknologi dan menciptakan ketidakpastian dalam kerja sama yang sudah terjalin.
PT Dirgantara Indonesia (PTDI) sudah cukup maju dalam menguasai produksi komponen struktural dan perakitan akhir jet KF-21, tapi masih sangat bergantung pada teknologi avionik dan sistem persenjataan dari Korea Selatan serta mitra-mitra Amerika dan Eropa seperti Lockheed Martin dan Eurofighter. Hal ini menunjukkan bahwa kemandirian industri pertahanan Indonesia belum sepenuhnya tercapai, apalagi karena Korea Selatan sendiri masih mengandalkan teknologi siluman dari Amerika Serikat, sehingga transfer teknologi ke Indonesia pun menjadi terbatas. Di sisi lain, kebijakan pemerintah juga terkadang inkonsisten, misalnya saat rencana pembelian pesawat bekas dari Qatar yang akhirnya batal, yang dinilai bertentangan dengan ambisi mengembangkan KF-21 secara mandiri. Meski begitu, proyek ini tetap punya nilai strategis besar karena membantu Indonesia memperkuat posisinya sebagai penyeimbang kekuatan di kawasan Indo-Pasifik, khususnya menghadapi meningkatnya aktivitas militer Tiongkok. Jadi, meski banyak tantangan, KF-21 tetap jadi proyek penting untuk masa depan pertahanan nasional.
Proyek KF-21 memberi Indonesia peluang besar untuk memperkuat posisinya di ASEAN lewat diplomasi pertahanan, tapi risiko reputasi juga mengintai akibat masalah pembayaran yang tidak konsisten dan insiden kebocoran data, yang bisa bikin investor asing ragu. Dari sisi Korea Selatan, Indonesia bukan cuma mitra tapi juga pasar potensial untuk produk alutsista seperti T-50 dan KF-21, sementara keterlibatan Amerika dan Eropa dalam proyek ini memperluas jaringan keamanan global Korsel. Untuk ke depan, penting bagi kedua negara melakukan renegosiasi kontrak agar skema pembayaran sesuai kemampuan fiskal Indonesia dan transfer teknologi sepadan dengan investasi, sekaligus memperketat pengawasan dan sanksi supaya insiden kebocoran data tak terulang. Sinergi kebijakan juga harus dibangun dengan mengintegrasikan proyek ini ke dalam strategi pertahanan jangka panjang, termasuk pengembangan sumber daya manusia dan infrastruktur industri, serta transparansi kepada publik agar manfaat proyek bisa dipahami dan didukung secara luas.
Kolaborasi KF-21 Boramae tetap penting bagi strategi pertahanan Indonesia dan Korea Selatan, meskipun menghadapi berbagai tantangan mulai dari masalah keuangan, teknis, hingga aspek hukum. Bagi Indonesia, proyek ini jadi kesempatan emas untuk memperkuat kapasitas industri pertahanan dalam negeri, tapi semua itu butuh komitmen yang kuat dan pengelolaan risiko yang cermat. Keberlanjutan kerja sama ini sangat bergantung pada kemampuan kedua negara dalam menyeimbangkan kepentingan nasional masing-masing dengan dinamika geopolitik yang terus berubah di kawasan Indo-Pasifik, yang makin rumit dan penuh tantangan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI