Akhir-akhir ini kita sering mendengar ucapan pejabat publik yang justru memperkeruh suasana. Mulai seorang menteri yang mengeluarkan statement masyarakat yang tidak mau bayar pajak supaya keluar dari Indonesia, pejabat yang membuat narasi bahwa pensiunan adalah beban APBN, dan masih banyak lagi. Bahkan ada ketua komisi di DPR yang mengeluarkan kata tolol terhadap rakyat yang menuntut pembubaran DPR. Sebelumnya ada pejabat yang menanggapi tagar Kabur aja dulu dengan kata yang sini Kabur aja, tak usah kembali. Alih-alih beradu argumen dengan argumen yang logis dan rasional. Ungkapan yang keluar malah sinis.
Kini masyarakat diributkan lagi dengan ungkapan menteri agama, Nasaruddin Umar. Ungkapan yang kini viral. Terlepas apakah ungkapan itu dipotong sehingga terkesan tidak utuh. Yang mengatakan bahwa kalau mau jadi kata tidak usah jadi guru, jadi pengusaha saja.
Di sini bahasa bukan lagi berperan sebagai media komunikasi, tapi media untuk menenangkan suasana atau memperkeruh suasana. Bukan lagi media menyampaikan pesan, tapi bisa menjadi pedang melukai rakyat.
Saya berusaha membahas ini dari sisi bahasa adalah alat kekuasaan. Ungkapan ini dapat ditemukan dalam buku-buku dengan topik analisis wacana kritis. Dalam analisis wacana kritis, dibahasa bagaimana bahasa berfungsi dalam kekuasaan. Maka ketika sebuah kata diucapkan oleh dua orang yang berbeda, maka akan berbeda dampaknya. Ketika sebuah ungkapan "Kalau mau jadi kaya, jangan jadi guru, jadi pedagang saja"Â diungkapkan oleh seorang pengusaha akan berbeda ketika diucapkan oleh seorang pejabat.
Ketika diucapkan seorang pengusaha, bisa dimaknai sebagai motivasi untuk lebih baik menjadi pengusaha. Seorang pedagang yang mempunyai penghasilan yang lebih dibanding seorang guru. Tapi ketika diucapkan seorang pejabat tinggi, maka itu dirasakan melukai pata guru. Bisa dibayangkan bila tidak ada yang mau jadi guru. Semua guru mengundurkan diri dan mulai menjadi pengusaha. Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi.
Suasana akan lebih  sejuk bila diksi yang digunakan lebih santun. Misalnya, "Guru adalah pahlawan bangsa. Mereka bertahan dengan penghasilan yang tidak seberapa demi pendidikan anak bangsa. Semoga kelak penghasilannya bisa ditingkatkan."  Masyarakat yang sudah terluka dengan ucapan menteri keuangan tentang guru dan dosen, yang mau mengalihkan biaya kesejahteraan guru kepada masyarakat sehingga terkesan kementerian keuangan tidak mau melaksanakan tanggung jawab negara tentang pendidikan, kini terluka dengan diksi itu. Bukan pesannya yang melukai, tapi diksi yang digunakan yang menjadi masalah.