Mohon tunggu...
Sari Fatul Mukaromah
Sari Fatul Mukaromah Mohon Tunggu... -

Saya mahasiswi yang masih mencari segala sesuatu untuk hidup, mengambil makna di balik kenyataan, mencerap kata bijak, menyaksikan tersimpulkannya takdir dengan mencoba dengan tenang dan semua keaktivan lain demi keindahan dari-Nya.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Lagu dan Moralitas

9 Mei 2013   08:26 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:52 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di saat kita sedih dan bahagia—ataupun tak jelas, kita sering membiarkan nada-nada terdengar di kamar, di kelas atau di perjalanan. Denganheadset atau wireless, lagu sampai di telinga dan menyampaikan pesan si pembuat lagu. Ada apa dengan pesan itu—adakah kita sadar benar sedang secara sengaja mendengarnya, lebih jauh adakah kita bersedia menerimanya, dan—(mungkin) yang paling jauh—adakah kita tak harus bertanya ada urusan apa kita dengan pesan itu? Pentingkah?

Saya mulai merasa agak jenuh di titik “mendengarkan lagu tanpa maksud”. Artinya di luar maksud hiburan, sebab—semua pun tahu—lagu memang didengar untuk difungsikan sebagai pendatang faktor bahagia (mood, semangat, rileks). Wah, saya hampir melupakan oposisi bahagia. Ya, lagu yang didengar juga dipakai sebagai pemantap sedih di kala kita galau—sungguh kini mengucap galaujadi berasa meminjam dari sebuah zaman yang begitu ramai dan lebay (padahal notabene kata galau adalah kata baku dalam Bahasa Indonesia). Ya, bukankah, jika sedang sedih, kita ingin makin sedih dengan memutar lagu? Biar seluruh perasaan tumpah, konon. Hemat saya, perasaan tumpah dan kita lelah, lalu sebab tubuh begitu sempurna, maka ia menyimpan tenaga dengan membuat kita tertidur. Seperti itulah mekanisme yang mungkin tidak kita sadari. Begitu bangun, tubuh dan pikiran menyegar, lalu faktor bahagia muncul. Benar, sesungguhnya lagu tetaplah semata ada dengan tujuan membahagiakan manusia.

Lagu begitu gagah. Gagah karena mampu membuat kita diam berhenti dari pekerjaan—ini sebenarnya adalah subjektivitas saya-yang-tidak-bisa-berkonsentrasi-atas-sebuah-hal-sementara-lagu-terputar, membuat kita melupakan klaim latah untuk suatu lagu yang sedang nge-trend yang lalu menarik kita buat mengunduhnya, membuat kita memiliki spontanitas berupa angguk-angguk sampai jingkrak-jingkrak, membuat kita menyisihkan konsentrasi untuk menyusun play list, hingga membuat saya menulis ini. Dan love song...Ah, melting-lah sudah kita, kalau begini caranya. Begini yang bagaimana? Ya, kalau paragraf ini saya akhiri dengan kata love song sementara kita langsung patuh dikomandoi otak yang baru membuat respon sementara latar hati dan suasana di luar diri mendukung untuk terbuahkannya sebuah keindahan. Intinya point-nya langsung tertuju. Jika bukan kita, maka mungkin saya saja. Sesuai dengan apa yang sedang dirasakan hingga membimbing hati untuk selalu to the point kalau mengindera kata cinta.

Aku terjebak dan tahu arah jalan pulang...Dirimu adalah dewiku, dapatkah cinta ini bersemi di antara kita berdua...Jujur saja kau anggap aku apa, mengapa kau tak berterus terang...Itu adalah pemutaran chorus lagu-lagu cinta di tanah air. Melting, melankolis dan badai tentang apa saja menerpa kita. Bagai di lautan kesan, kita tinggal mendiamkan diri di sana, dan bersetubuh dengan kesan apa saja. Dan lama-lama, kita jadi serasa berperan tertentu. Bukankah sangat mungkin, orang menyanyi dan menikmati lagu tanpa bisa mengatakan “ya” atas lirik lagu untukpertanyaan bilakah itu sesuai dengan apa yang dialaminya? Bukankah sangat mungkin—atau paling tidak mungkin, orang bahkan tak pernah mengalami sebuah cerita tertentu dalam lagu tapi mendendangkannya? Orang tak pernah patah hati tapi nyanyi lagu Harus Terpisah-nya Cakra Khan, orang tak pernah mengerti dosa terindah tapi nyanyi lagu yang berjudul Kesaktianmu, orang tak pernah berpikir untuk selingkuh tapi nyanyi lagu Selingkuh Sekali Saja...Tentu hal itu sering terjadi. Lalu, bagaimana kesan tertentu itu mengefek di diri? Berasa pernah patah hatikah kita, pernah tahu dan melakukan dosa terindahkah kita, serta merasa pernah ingin berselingkuhkah kita, untuk kita yang tak pernah patah hati, tak pernah tahu dan melakukan dosa terindah serta tak pernah berpikir untuk selingkuh? Barangkali kegagahan lagu tak sampai bisa mencapaikan rasa “sedang berperan” yang sehebat itu. Iya, lagu hanya mampir di telinga dengan nadanya yang elok hingga membuat hati serileks dan seharmonis liuk alang-alang oleh angin mungkin. Jadi kesimpulannya, lirik hanya teks yang dihafal-hafal dalam drama kita di dalam sebuah lagu, sedangkan nada adalah teks yang mengudara dan bergetar bersama rerasa kita ketika berperan. Ya, lirik lagu-lagu cinta—atau untuk lebih luasnya adalah lagu populer—tak sehebat lirik lagu nasionalisme yang dilafalkan dengan kepastian bahwa banyak orang membayangkan (misalnya) bendera yang berkibar atau hamparan tanah Indonesia saat menyanyikan atau mendengarkannya.

Jika benar semata hanya untuk hiburan dan kita benar-benar butuh hiburan, maka lupakanlah sederet klaim egois atas diri ketika dengan mudahnya mencampakkan hiburan itu. Ingat kelakuan mencopot headsetatau mem-plug off tombol buat menyambut kebahagiaan lain ketika bahkan lagunya belum selesai? Wah, benar-benar dilupakan itu lagu. Ah, tidak, tidak. Konteksnya tidak sama dengan hiburan yang berupa seorang teman yang diinginkan lalu dilupakan.Hanya tentang lagu populer, yang sejatinya cuma hebat pada nada, dan hanya dikritisi pada nada pula. Terserah yang mendengarkan dan menikmati lagu, mau diapakan itu nada. Akan dimemorikan dan dijadikan penenang—walaupun lagu galau—pengganti lavender misalnya, memang hak dan semau-maunya orang. Lalu, untuk lirik-yang-disimpulkan-hanya-teks-yang-dihafal, dikemanakan dan bagaimana orang mengkritisinya? Jawaban pertama, jadi jalan orang untuk menemukan kebahagiaannya, untuk yang liriknya sesuai dengan yang dialaminya. Sedang berbunga-bunga menyetel lagu riang milik girlband Cherrybelle, dan yang sedang galau berbadai-badai dengan lagu Butiran Debu. Mungkin begitu.

Hanya sekadar jadi jalan menemukan kebahagiaan? Mungkin lebih baik kita cari lagi maknanya, daripada jadi sampah yang tak dilihat, bukankah sayang, mengingat sekian curahan konsentrasi pengarang lagu yang telah diberikan? Kita saja, yang merasa terhibur atas adanya lagu-lagu, kiranya tidak begitu sia-sia melakukannya. Dan yang saya temukan ternyata agak hebat : moralitas. Mengapa moralitas? Ini dimulai saat saya berpikir, bahwa semua kata-kata—baik itu teks drama atau bukan—tentu memiliki makna. Apalagi untuk kata-kata yang menjadi lirik lagu populer, kiranya sangat diperhitungkan oleh pengarangnya. Bukankah banyak lagu yang hebat oleh karena liriknya? Ah, ya. Saya mungkin telah salah analisis. Lirik lagu menjadi semata teks yang dihafal-hafal dan tidak dikritisi, hanya ketika si penikmat lagu benar-benar nihil dalam kepemilikan kisah di dalam lagu terkait. Kesalahan analisis mungkin terjadi lantaran saya sering menjadi penikmat yang tak memiliki kisah di lagu-lagu yang saya dengarkan, sebab memang kisah saya jarang sekali diisi momen-momen yang demikian hebat dan populer—seperti patah hati, diduakan, dan lain-lainnya, yang notabene adalah tema-tema utama lagu-lagu populer.

Tentang kata-kata—entah yang relatif bermakna kecil atau yang bermakna besar, kiranya si pengkreasi punya rerasa ketika menciptanya, termasuk moralitas. Ini tentang kelanjutan lirik itu di masyarakat. Lirik yang acapkali berakhir jadi sesuatu yang ada di luar kepala para ABG mungkin, tetap bertaut dengan moralitas, sampai kapan pun. Walaupun lirik-lirik lagu banyak yang berakhir jadi kata-kata mati sebab tak dimaknai oleh penikmat lagu karena ketidaksesuaiannya dengan kisah-kisah yang dimiliki dan seolah berserakan sebagai sesuatu yang klise dan(maaf) murahan, tetapi selalu ada kemungkinan berpengaruhnya makna lirik-lirik itu pada kalangan penikmat lagu. Sekarang, bicaralah soal lagu Kesaktianmu, dengan sepenggal liriknya yang berupa ingin kuulangi dosa yang terindah yang pernah kita lakukan. Bagaimana remaja dan orang dewasa memaknai ini kiranya sama : keinginan untuk mengulangisebuah perbuatan negatif. Lalu bagaimana penyikapan kita? Kebanyakan terus menyanyikannya dengan enteng, bukan, tanpa merasakan sebuah beban moral? Bagaimana bisa ada beban moral? Sebab menurut saya, tidak ada koreksi sama sekali dalam lagu itu. Bagi saya, dengan memperdengarkan lagu itu seolah sedang memperdengarkan sebuah pengalaman negatif yang terus dinikmati tanpa dikoreksi—dikoreksi tentunya dengan cara menambahkan pesan moral. Jika terus berlanjut—walaupun lagu populer menurut sejarah tidak bertahan lama, maka bisa jadi generasi muda akan banyak yang setuju dengan pengalaman negatif itu dalam arti tidak pernah menyadari koreksi moralitas di dalamnya, dan bisa jadi mereka menganggap pengalaman itu sebagai sesuatu yang biasa dan tidak salah.

Di luar semua analisis di atas yang semata bermaksud menyikapi sebuah fenomena melalui jalan normatif serta bertujuan mempelajari kritisisasi dan tidak berorientasi pada pemojokan pihak manapun, saya ingin jadi orang yang pandai menyanyi sebenarnya. Berbahagialah orang yang pandai menyanyi, sebab bunyi demikian ajaib untuk tiap kekusaman, sebab gelombang-gelombangnya seolah menghampiri wajah dan mengotak-atik kusut-muram di sana hingga yang ada adalah ketenangan, keceriaan, atau mungkin kehampaan. Apapun yang ada itu, yang jelas telah sedang terbuka jalan yang menujukan pada kebahagiaan.

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun