Jembatan penghubung Kampung Cibogo, Desa Pangauban, Batujajar dengan Kampung Mariuk, Desa Girimukti, Saguling cukup unik. Jembatan sepanjang 425 meter itu seperti tidak permanen.
Kenapa demikian? Ini karena jembatan yang melintasi Waduk Saguling di Kabupaten Bandung Barat, ketinggiannya bisa berubah-ubah. Ketinggiannya mengikuti permukaan air Waduk Saguling. Kalau ketinggian air Waduk Saguling naik maka jembatan penghubung itu ikut meninggi.
Selain itu, Jembatan Saguling ini selalu bergoyang-goyang. Apalagi kalau ada yang melintas, baik pejalan kaki atau pengendara motor, maka goyangan yang terjadi makin terasa.
Kalau dilihat lebih detail, ternyata jembatan yang bermaterikan kayu mahoni itu, fondasinya/penyangga di bawahnya tidak menggunakan cor beton atau tiang pancang besi. Jembatan itu hanya mengandalkan, drum-drum plastik yang besar yang terapung di permukaan Waduk Saguling.
Karena penyangganya berupa drum yang terapung, keruan saja ketinggian jembatan itu bisa berubah-ubah, di samping selalu bergoyang. Walau begitu, Jembatan Saguling cukup teruji kekuatannya dan keamanannya.
Semula jembatan ini dibangun untuk keperluan lintas batas kampung saja. Warga dua kampung yang sebelumnya harus memutar, kini terbantu lebih singkat dengan melintas jembatan itu. Cuma, jembatan ini dikhususkan untuk pejalan kaki dengan pengendara motor. Sedangkan mobil tidak diperkenankan.
Seiring cerita dari mulut ke mulut, keunikan Jembatan Saguling pun akhirnya menyebar luas. Banyak orang yang penasaran ingin tahu dan mencoba melintasi jembatan tersebut. Kini, lokasi jembatan tersebut jadi ramai dan cukup menarik sebagai kawasan destinasi wisata.
Bukan warga dua kampung yang berseberangan saja yang melintas jembatan itu. Banyak pengunjung dari luar kota, berbondong-bondong untuk menjajal sensasi yang ada di Jembatan Saguling.
Melihat perkembangan yang terjadi, warga setempat pun akhirnya memanfaatkan sebagai peluang bisnis. Di sisi kanan dan kiri sepanjang jembatan itu, kini dibangun kedai-kedai terapung yang menawarkan kuliner khas daerah setempat. Sebagian lainnya, membuka usaha jasa penyewaan perahu motor, untuk berkeliling Waduk Saguling dengan titik jemput di kedai-kedai tersebut.
"Tahu ada jembatan apung ini berawal waktu jalan-jalan dengan komunitas sepeda ke daerah Batujajar. Ternyata ada jalan pintas dengan melewati jembatan ini, walau sedikit ada goyang-goyang. Menarik juga suasana di sini. Dari situ, saya pun mengajak teman-teman unuk menikmati sensasi jembatan apung," kata Edi Supriyadi yang hobi naik sepeda.
Hal yang sama dilakukan Herpi yang mengajak keluarganya untuk menikmati kuliner yang tersedia di kedai samping jembatan apung. Kedai-kedai itu berada di tengah jembatan. Jadi pengunjung harus melintas jembatan apung itu dulu, baru di tengah perjalanan bisa istirahat sambil memesan makanan/minuman.
"Seru juga melintasi jembatan ini. Beberapa kali goyang walau air di Waduk Saguling tidak bergelombang. Utamanya saat berpapasan dengan pengendara motor. Mungkin pengaruh berat motor yang bergerak, jembatan ini jadi bergoyang," tutur Herpi.
Cuma, pengunjung yang datang berombongan dan menggunakan mobil, mengeluhkan tidak ada tempat parkir yang leluasa. Kalau dari arah Batujajar, kendaraan harus melewati jalan perkampungan, sebelum akhirnya menyempit di ujung jembatan. Mobil memang agak susah parkir di sana dan hanya bisa dititipkan ke rumah-rumah warga setempat.
Sensasi melintas jembatan apung itu sebenarnya dimulai di ujung jembbatan. Pasalnya, dari titik penyeberangan, struktur jembatan agak menurun. Pejalan kaki yang tak terbiasa, bisa jadi keluar rasa khawatir. Selain harus menurun, jembatan juga selalu bergoyang.
Biasanya di ujung jembatan ada petugas yang mengatur. Ini untuk menghindari terjadinya kecelakaan. Apalagi jika lalu lintas pengendara motor yang menyeberang jumlahnya banyak. Petugas sering mengingatkan agar pejalan kaki minggir dulu jika ada pengendara motor yang akan turun dan melintasi jembatan. Namun banyak juga pejalan kaki yang bandel, malah asyik selfie di atas jembatan dengan latar belakang Waduk Saguling.
Utuk melintasi jembatan ini, semua penyeberang dikenakan tarif. Bagi pengendara motor harus membayar Rp 5.000,00. Sedangkan pejalan kaki cukup membayar Rp 2.000. Pejalan kaki dan pengendara motor dipungut biaya pas tiba di tengah jembatan dan di sana ada pos penjagaan.
Selain bisa menikmati kuliner di tengah perjalanan saat melintas jembatan apung, pengunjung pun bisa melakukan aktivitas memancing. Justru anggota komunitas memancing saat ini banyak melakukan perburuan ikan di sekitar jembatan itu.
Sayang keindahan Waduk Saguling di sekitar lokasi jembatan apung mulai tertutup dengan banyak tumbuhan eceng gondok. Air permukaan Waduk Saguling jadi terlihat hijau dengan daun-daun eceng gondok. Tumbuhan tersebut tampaknya dibudidayakan warga setempat, karena sering terlihat aktivitas memanen.
Selain tumbuhan eceng gondok, banyak juga warga yang membuat kolam jaring apung (KJA). Biasnaya ikan yang dipelihara di KJA, langsung untuk memasok kedai-kedai yang ada di sekitar jembatan apung.
Banyaknya KJA dan dan tumbuhan eceng gondok, kadang mengganggu aktivitas penyewaaan perahu motor yang sering dipergunakan wisatawan berkeliling Waduk Saguling. Pengemudi perahu motor harus hati-hati agar tidak membentur KJA. Namun sering juga kejadian, perahu harus dimatikan dulu dalam perjalanan karena baling-balingnya menyangkut tumbuhan ecek gondok.
"Rombongan saya tadi sempat terhenti di tengah-tengah. Pengemudi perahunya harus membereskan baling-baling dulu. Rupanya tersendat oleh akar eceng gondok," kata seorang wisatawan Alif, seraya memberi tahu tarif naik perahu dikenakan Rp 10.000,00 per orang.(Anwar Effendi)***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI