Mohon tunggu...
Julian Reza
Julian Reza Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Money

Disrupsi dan Efisiensi (Bagian 2-Final)

1 Februari 2018   17:25 Diperbarui: 1 Februari 2018   17:51 730
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Disrupsi terjadi karena pemanfaatan inovasi teknologi dibidang IT. Baik dalam konteks daya saing maupun disrupsi diakui bahwa Inovasi merupakan pangkalnya atau asal - muasalnya. Menurut Christensen, inovasi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sustaining innovation dan disruptive innovation. Secara ringkas, Sustaining innovation berarti inovasi atas produk yang sudah ada menjadi lebih efisien lagi kegunaannya, sedangkan disruptive innovation berarti inovasi yang mampu menyingkirkan peranan incumbent melalui penjangkauan atas segmen pasar atau konsumen yang sebelumnya tidak terjangkau oleh incumbent (https://hbr.org/2015/12/what-is-disruptive-innovation ).

Aplikasi online seperti yang dimanfaatkan oleh taksi online tidak dapat terwujud kalau tidak ada benda semacam smart phone ( kalau hanya menggunakan PC atau telepon maka tidak ada bedanya dengan jasa call center pada taksi konvensional ). Semakin  murah produk semacam ini maka semakin luas penggunaannya dan pemanfaatan atas produk ini ( seperti aplikasi online ) tentunya berpotensi akan semakin mempermudah dalam merebut pangsa pasar yang lebih luas.

Lebih lanjut, tujuan penciptaan inovasi ini adalah seperti yang disebutkan diatas, menghasilkan efisiensi bagi penggunanya. Dalam konteks taksi online, konsumen tidak perlu harus telepon dulu untuk kemudian menunggu taksi pesanan tersebut tiba atau harus menunggu dipinggir jalan hingga taksi muncul. Mereka cukup meng-klik aplikasi onlinenya dan taksi online manapun yang terekat dapat segera merespon panggilan ini. Inilah efisiensinya dan hal ini tentunya memberikan kepuasan lebih kepada konsumen ketimbang harus menunggu taksi konvensional ( belum lagi masalah tarif yang hingga pengimplementasian regulasi baru sejak Juli 2017 masih dimenangi oleh taksi online karena perbedaan tarif yang jauh sekali lebih murah ketimbang taksi konvensional ). Kepuasan inilah yang menunjukkan bahwa taksi online lebih mampu memenuhi harapan atau persepsi kualitas dari konsumen.

Hasilnya tentu adalah peningkatan daya saing perusahaan penyedia jasa transportasi online ketika harus berhadapan dengan perusahaan taksi konvensional. Daya saingnya ini terlihat dari hasil kajian Tech Crunch yang dirilis pada Juni 2016. Kajian tentang valuasi perusahaan transportasi itu menyatakan bahwa nilai valuasi Go-jek sebesar US$ 1,3 milyar ( sekitar Rp. 17 trilyun ) dan Grab sebesar US$ 1,6 milyar ( sekitar Rp. 20 trilyun ), lebih tinggi daripada Blue Bird yang valuasinya " hanya " dinilai sebesar Rp. 9,8 trilyun padahal Blue Bird memiliki armada sebanyak 27 ribu taksi reguler dan ribuan taksi eksekutif serta limousine, sedangkan perusahaan taksi online seperti Go-jek tidak memiliki armada transportasi sama sekali, hanya saja mereka bermitra dengan 200 ribu pemilik kendaraan ( Rhenald Kasali, 2017 ).

Inilah dampak positif dari disrupsi yang dihasilkan hanya jika semua faktor daya saing dapat diwujudkan, mereka memperoleh pangsa pasar dan keuntungan yang bahkan bisa menyaingi pemain lama ( incumbent ).

Selain berkaitan dengan tiga faktor utama pembentuk daya saing, disrupsi juga berkiatan erat dengan sinergitas. Menurut Christenen, semakin maju inovasi maka semakin tinggi ketergantungan atau keterkaitan antara satu pelaku usaha dengan pelaku usaha lainnya. Disini disrupsi mengharuskan pelaku usaha untuk mencari mitra baru yang sesuai dan berbeda dengan mitra lamanya saat usaha mereka masih berjalan secara konvensional (https://hbr.org/2016/11/the-problem-with-legacy-ecosystems ). sinergitas inilah yang diharapkan dapat membantu meredam dampak negatif dari disrupsi dimana pihak yang terdisrupsi masih dapat dirangkul berdasarkan daya saing internal yang mereka miliki untuk memperkuat daya saing bersama dengan perusahaan yang mendisrupsi.

Salah satu dampak negatif yang mungkin dirasakan oleh mereka yang kalah dan terdisrupsi adalah kehilangan lapangan pekerjaan. Pengemudi taksi konvensional berpotensi akan kehilangan lapangan pekerjaan jika perusahaan mereka terdisrupsi oleh taksi online secara terus menerus, seperti yang dialami oleh pekerja lama saat gelombang efisiensi terjadi ( seperti kusir kuda yang digantikan oleh sopir mobil, jasa perawatan kuda yang digantikan oleh bengkel mobil dan sebagainya ).

Dalam kasus taksi konvensional, dampak disrupsi ini tentunya terasa tidak adil mengingat para pengemudi taksi konvensional memang mereka yang bekerja dan digaji oleh perusahaan sehingga hidupnya bergantung pada kemajuan perusahaan, sedangkan pengemudi taksi online pada dasarnya adalah mereka yang menjadikan taksi online sebagai sumber pendapatan sampingan ( mereka punya pekerjaan lain ) atau beberapa berasal dari perusahaan rental mobil yang menjalankan bisnis taksi online untuk menambah pendapatan rentalnya.

Sebelumnya Christensen menyatakan bahwa dalam kaitannya dengan lapangan pekerjaan, terdapat tiga jenis inovasi, yaitu:

  • Empowering innovation, yakni inovasi yang merubah produk lama yang sebelumnya dianggap rumit digunakan dan mahal menjadi produk yang lebih mudah digunakan serta lebih murah. Produk hasil inovasi ini akan memperlebar pangsa pasarnya sehingga dapat meningkatkan permintaan yang berarti memperbesar skala usaha dan membuka lebih banyak lapangan kerja. Inovasi ini dikatakan membuka banyak lapangan kerja karena merupakan efek dari terjadinya disrupsi, yaitu menjangkau lebih banyak segmen pasar yang sebelumnya tidak terjangkau ( mengenai disrupsi akan dibahas lebih lanjut nanti ).
  • Sustaining Innovation, ini adalah inovasi yang bertujuan untuk merubah produk lama menjadi produk baru tanpa memberikan perbedaann yang signifikan. Ini adalah inovasi yang umum terjadi, seperti merubah model mobil atau motor dari masa ke masa. Kalau tingkat harganya sama saja maka pangsa pasarnya juga retalif stagnan dan lapangan kerja yang terbuka juga sama stagnannya.
  • Efficiency Innovation, yakni inovasi yang bertujuan untuk menurunkan biaya produksi dan distribusi dimana " sasaran tembaknya " hampir selalu adalah efisiensi buruh atau pengurangan tenaga kerja. Dari sini saja sudah terlihat bahwa inovasi jenis ini cenderung mengurangi lapangan pekerjaan yang tersedia (https://www.inc.com/christine-lagorio/clayton-christensen-capitalist-dilemma.html).

Menurut Christensen, Empowering innovation dikatakan membuka banyak lapangan kerja karena merupakan efek dari terjadinya disrupsi, yaitu menjangkau lebih banyak segmen pasar yang sebelumnya tidak terjangkau ( yaitu segmen low-end customer yang berarti permintan lebih banyak ). Tetapi kalau disrupsi terjadi karena teknologi platform ( berbasis aplikasi ) seperti yang sebelumnya dikatakan ( bahwa disrupsi tercepat terjadi pada industri berbasis aplikasi atau platform ), berarti tetap saja terjadi gap antara yang mengalami disrupsi dan tidak dan berarti bukankah yg tidak mengalami disrupsi akan mengalami PHK yang justru berakibat pada pengurangan lapangan kerja ( karena SDM diganti dengan platform seperti pada kasus taksi konvensional ).

Atau dengan kata lain, keterjangkauan suatu produk kepada segmen low-end krn harga murah memang membuka lapangan kerja disatu sektor, tapi justru menutup lapangan kerja di sektor yg lainnya akibat disrupsi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun