Mohon tunggu...
Muhammad Sadu
Muhammad Sadu Mohon Tunggu... Pelajar Kolese Kanisius

CC'26

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ketika Dunia Terlihat dan Terasa

4 Oktober 2025   12:24 Diperbarui: 4 Oktober 2025   12:24 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mata adalah pintu pertama bagi manusia untuk mengenal dunia. Dari cahaya pagi yang lembut, guratan huruf dalam buku, hingga senyum sahabat yang menenangkan hati, semua hadir melalui satu anugerah: visus, daya lihat yang menjaga kita tetap dekat dengan keindahan.

Visus tidak sekadar kemampuan mata memandang, tetapi ukuran ketajaman penglihatan yang bisa diukur. Selembar kartu berisi huruf atau simbol, yang tampak sederhana di ruang pemeriksaan, sebenarnya menyimpan rahasia besar: seberapa jauh mata mampu menangkap detail. Dari huruf besar yang terbaca jelas hingga huruf kecil yang mulai kabur, visus kita perlahan terungkap. Angka-angka seperti 6/6 atau 6/12 bukanlah sekadar pecahan matematika, melainkan cermin sejauh mana kita bisa menikmati wajah dunia.

Keindahan penglihatan ini rapuh. Rabun jauh, rabun dekat, atau silinder sering kali hadir diam-diam, meredupkan warna yang seharusnya terang. Bahkan penyakit serius seperti katarak dan glaukoma bisa mengaburkan lensa kehidupan jika visus tidak dijaga. Karena itu, pemeriksaan rutin bukan hanya prosedur medis, tetapi usaha menjaga cahaya agar tetap menyala dalam perjalanan kita.

Menjaga visus tidak selalu berarti obat-obatan. Kadang ia lahir dari hal sederhana: sepotong wortel yang kaya vitamin A, sayuran hijau yang penuh lutein, kebiasaan membaca dalam cahaya cukup, atau istirahat dari layar gawai yang terlalu lama menatap balik mata kita. Semua itu adalah langkah kecil yang merawat mata agar tetap jernih melihat dunia.

Namun, kehidupan modern menuntut lebih. Layar ponsel, komputer, dan televisi seakan tak henti memanggil, membuat mata lelah, kering, bahkan sakit kepala. Fenomena ini dikenal sebagai Computer Vision Syndrome. Di balik namanya yang teknis, sesungguhnya tersimpan peringatan: jangan biarkan dunia digital merampas ketajaman visus kita.

Visus adalah lebih dari sekadar angka dalam catatan dokter. Ia adalah kemampuan untuk menyapa pagi dengan jelas, mengenali wajah-wajah yang kita rindukan, dan menikmati garis cakrawala yang membentang di kejauhan. Ketajaman mata adalah ketajaman hidup, dan setiap detail yang kita lihat adalah bagian dari kisah yang tidak ternilai.

Menjaga visus berarti menjaga kesempatan untuk terus memandang kehidupan dengan terang, penuh warna, dan penuh makna.

Senja di Mata Tua

Ketika visus mata memudar, hati justru semakin tajam melihat makna di balik hidup.

Nenek Suri duduk di kursi rotan usangnya, memandang cakrawala yang memudar. Dulu, ketika usianya masih muda, visus matanya sangat tajam. Ia mampu melihat detail lekuk sungai yang membelah sawah nun jauh di kaki bukit. Kini, yang tersisa hanyalah bayangan samar, kolase warna pudar yang tumpang tindih.

Setiap sore, ia menjalani ritual yang sama: mencoba menemukan kembali batas-batas dunia yang dulu begitu jelas tergambar dalam benaknya. Ia merindukan kejelasan, ketajaman penglihatan yang memungkinkannya membaca ukiran nama di batu nisan suaminya, yang kini hanya terlihat seperti gumpalan abu-abu tak berbentuk. Matanya terasa lelah, seolah lensa alami di dalamnya telah berlumut.

Ia memejamkan mata, membiarkan ingatan mengambil alih. Dalam gelap, ia melihat kembali masa mudanya, melihat daya lihat yang jernih menangkap senyum pertama suaminya, detail sulaman kebaya pengantinnya, dan kilau embun pagi yang melekat di pucuk daun teh. Itu adalah penglihatan sempurna, sebuah karunia yang ia nikmati tanpa pernah menyadari bahwa suatu hari akan memudar. Ia ingat bagaimana ia sering mengabaikan nasihat dokter tentang pentingnya menjaga mata dari terpaan sinar matahari, dan kini ia membayar kelalaian itu dengan kabut yang terus menebal.

"Nenek, kopi hangatmu," suara cucunya, Risa, memecah lamunan. Risa tampak seperti sketsa buram di hadapannya, tetapi kehangatan suaranya begitu nyata. "Terima kasih, Nak," jawab Nenek Suri. Ia meraih cangkir, indra peraba dan penciumannya menjadi kompas baru. Ia tahu, meskipun ketajaman penglihatannya telah melemah, visus batinnya justru semakin kuat. Ia kini melihat esensi, bukan hanya rupa. Ia melihat cinta Risa bukan dari bentuk wajahnya, melainkan dari getaran langkah kakinya yang penuh perhatian.

Hari-hari Nenek Suri kini adalah negosiasi abadi dengan cahaya dan bayangan. Ia telah menerima bahwa kemampuan melihat fisiknya akan terus merosot, bahwa dunia akan semakin tenggelam dalam kelembutan kabur. Namun, penerimaan itu membawanya pada kedamaian yang tak pernah ia temukan saat matanya masih prima. Ia belajar untuk melihat dunia dengan cara yang berbeda—melalui sentuhan, aroma, dan cerita. Daya lihat sejati, ia menyadari, bukanlah sekadar kemampuan mata menangkap cahaya, melainkan kesediaan hati untuk memahami makna di balik apa yang tak terlihat. Kehilangan visus adalah kehilangan jendela dunia, tetapi juga pembukaan gerbang menuju pemahaman yang lebih dalam.

Kehilangan ketajaman penglihatan bukan akhir, tetapi awal untuk melihat dengan cara lain.  

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun