Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Janji Kesetiaan Penulis Kepada Imajinasi

24 Maret 2019   05:15 Diperbarui: 24 Maret 2019   21:20 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar ; pixabay.com

Ini sekilas penggalan pembicaraan saya dengan salah satu kawan, dia penulis kanal fiksi.

"Saya kalau menulis fiksi, cerpen atau puisi, tidak bisa langsung jadi. Biasanya saya bikin draft, lalu saya renungkan lagi berhari-hari.  Satu fiksi bisa seminggu, dua minggu, sebulan atau lebih baru bisa jadi".

"Wah? Bisa berhari-hari baru selesai? Ajii gilee. Kok kamu bisa tahan gitu, ya?" Celetuk saya.

"Iya, berhari-hari. Dan selama itu saya sering pusing kalau memikirkan plot, pilihan kata, diksi dan semua terkait tulisan fiksi saya itu"

"Nah, kan..kaaan...kaaaan! Kamu jadi pusing sendiri. Padahal, menulis itu untuk bersukaria, untuk memerdekakan diri, bukan masuk dalam penjara pusing". Canda saya, heu heu...

"Bukan begitu, Peb. Menulis fiksi itu butuh imajinasi. Beda dong dengan menulis artikel politik. Tak butuh imajinasi. Jadi bisa langsung nulis dan posting !"

"Haaaah! Apaaa? Kau kejam sekali, Ferguso!"
------

Teman-teman kompasianer penulis dan pembaca gelap. Tulisan saya ini bukan rekaan, melainkan kisah nyata yang saya tuliskan. Walau berangkat kisah nyata, apakah saya menuliskan artikel ini tak butuh imajinasi? Saya butuh imaginasi, kawans!

Dengan imajinasi lah saya bisa menuliskan kembali pengalaman saya. Imajinasi itu berdasarkan fakta yang langsung saya alami.

Kalau pun hasil pembicaraan saya dan teman itu direkam, kemudian hasil rekaman dituliskan tanpa kurang titik dan koma. Saya tetap membutuhkan imajinasi untuk menuliskan artikel pemaknaan saya dari semua pembicaraan itu.

Pemaknaan itu kini menjadi artikel utuh yang sedang anda baca.

Imaginasi dan Anggapan yang Tidak Tepat

Saya kaget dengan penyataan teman saya itu. Menurut saya dia benar, tapi tidak tepat. Benar bahwa menulis (fiksi) itu butuh imajinasi. Tapi sangat tidak tepat mengatakan menulis artikel politik tak membutuhkan imajinasi.

Harus saya akui, lamanya proses yang dia lakukan tak sia-sia. Fiksi yang ditulisnya selalu hidup dan menarik. Karya fiksinya bisa membawa para pembacanya larut dalam setiap debur emosi yang dia ciptakan dari diksi-diksi yang sangat cermat ditulisnya.

Proses yang dia lakukan dengan proses yang saya lakukan jelas berbeda. Untuk menulis artikel politik saya membutuhkan data.

sumber gambar : pixabay.com
sumber gambar : pixabay.com
Data saya dapatkan dari berbagai sumber berita yang valid terkait tema artikel. Baik dari koran maupun televisi, Saya harus bisa memilih dan memilah seputaran isu politik itu.

Dari situ kemudian saya mengambil tema tertentu untuk dijadikan sudut pandang (fokus opini). Kelak akan saya temukan judul yang "seksi". Ketika tema sudah saya dapatkan, baru lah saya mulai menulis. Dalam proses menulis itulah imajinasi saya "bermain".

Suatu data saya olah. Saya bandingkan dengan data lainnya, (berbagai berita dan fokus berita), misalnya OTT KPK terhadap Romi  banyak fokus ceritanya. Misalnya fokus pada kronologis penangkapan, fokus situasi tempat penangkapan, fokus pada kegiatan saat penangkapan, fokus pada saksi awam saat penangkapan, dan lain-lainnya.

Dari semua itu saya mencoba memaknai data. Saya membangun imajinasi tentang semesta OTT Romi untuk bisa memaknai data.

Dari situlah saya menulis kalimat demi kalimat artikel. Untuk menuliskan sebuah kalimat itu, lagi-lagi saya butuh imajinasi. Saya harus menemukan kata, merangkaikannya agar mudah dipahami.

Transformasi dari pemahaman data dan pemaknaan semesta data (isu) ke rangkaian kalimat itulah membutuhkan imaginasi. Sangat komplek dan perlu konsentrasi.
 
Saya menulis sebuah artikel politik tidak sampai berhari-hari. Seringkali tak lebih satu jam. Saat habis makan, sambil "wasting time" sebagai ahli hisap atau pakar asap, saya bisa menulis cepat bila sudah punya tema.

Selain itu data-data isu tertentu soal politik sudah terekam banyak di kepala, karena  sering mengikuti pemberitaan politik dari berbagai media.

Kalau tidak menguasai data, hampir pasti saya tidak bisa menulis artikel. Pernah cukup lama saya tidak membaca berita dan tidak menonton televisi. Saya tidak mengikuti perkembangan isu politik.

Ketika "ribut-ribut" di grup WA (yang tidak setiap waktu saya buka) ada kejadian besar soal politik. Seorang kawan menantang saya membuat artikel opini. Kontan saya kelabakan karena saya tidak mengikuti isu-isu politik sekitar kejadian itu sebelumnya.

Saya mesti mencari data-data dari berita sebelumnya. Ini yang kadang kala bikin saya malas. Heu heu heu!

Alhasil, tadinya saya ingin selesaikan secara cepat, terpaksa harus beberapa jam blusukan berita lama. 

Beberapa alinea pembuka saya jadikan terlebih dahulu dan disimpan dalam "draft". Rencananya, besok dilanjutkan lagi. Tapi akhirnya....artikel itu tidak pernah selesai! Kenapa? Kelamaan, om/tante!. Jadinya hilang deh anu saya...Heu heu heu!

sumber gambar ; pixabay.com
sumber gambar ; pixabay.com
Pengalaman Empiris dijadikan Data Primer Lewat Imajinasi 

Kembali ke laptop. Pengalaman pembicaraan kecil dengan si Penulis fiksi tadi saya tempatkan sebagai "data primer" atau "data empiris". Artinya data didasarkan pada pengalaman langsung dengan "obyek".

Hal itu berbeda dengan data dari sumber lain (koran, majalah, televisi, dan media lainnya) yang merupakan data sekunder.

Kalau pengalaman pembicaraan itu tidak saya tuliskan dalam bentuk teks, maka tidak pernah akan lahir "data". Pengalaman itu hilang begitu saja ditelan waktu.

Setelah "data" itu saya tulis, maka barulah saya "membuat sikap" tertulis. Sikap tertulis itu adalah artikel yang anda baca saat ini.

Membuat sikap merupakan sebuah sudut pandang terhadap pengalaman empiris dan data. Isinya adalah sebuah pemikiran tertentu. Tulisan yang sedang anda baca saat ini merupakan data dan sikap (sudut pandang) saya terhadap pengalaman empiris.

sumber gambar ; pixabay.com
sumber gambar ; pixabay.com
Anda pun bisa membuat sudut pandang tersendiri secara tertulis setelah membaca "pengalaman empiris" dan "sudut pandang" saya.

Atau bisa juga anda membuat data sendiri, yakni dengan mendengarkan cerita "curcol" pengalaman saya ketika berbicara dengan kawan saya tersebut. Iiih sebel deh si anu. Aaaw!

Banyak orang seringkali salah kaprah pada pemahaman "imaginasi", khususnya dalam dunia tulis menulis. Imaginasi dipahami "hanya khayalan". Tanpa fakta. Tanpa pengalaman empiris. Tanpa informasi. Tanpa data.

Pemahaman tersebut tentu saja tidak tepat. Imaginasi "memang khayalan", tapi bukan  semata sebuah rekaan. Bukan hanya kreasi. Bukan hanya "bagai durian tiba-tiba jatuh dari langit tanpa tanda-tanda awal".

Bahkan sebuah tulisan berita atau reportase---yang berisi "apa yang dilihat dan di dengar langsung si reporter kemudian ditulis tanpa menambah atau mengurangi kenyataan atau fakta"---tetap membutuhkan imaginasi. Setidaknya dalam pemilihan diksi dalam tulisan reportase.

Sebagai contoh, anda mendapatkan informasi dari beberapa orang bahwa Pebrianov sedang kongkow ngopi dengan Jokowi dan Prabowo di sebuah warung kopi.

Kemudian anda mengambil posisi duduk di dekat meja ketiga orang tersebut. Anda memotret dan merekam semua pembicaraan mereka.

Ketiga orang tadi ngobrol santai, akrab. Terlihat penuh bercanda. Sesekali Prabowo berjoget. Sesekali Jokowi ketawa nyengir sambil berkata "aku rapopo". Sementara Pebrianov tertawa heu..heu..heu sambil tertunduk malu! Mereka bertiga ngobrol soal pencalonan si Pebrianov untuk jadi admin Kompasiana  tahun 2222.

Semua bisa anda tuliskan. Dari soal materi pembicaraan, soal gaya bicara dan gimik (gymmick) masing-masing person, soal pakaian yang digunakan, soal suasana warung kopi, dan lain-lain dalam bentuk rangkaian tulisan reportase.

Apa yang ada di tulisan "reportase" tersebut menjadi "data tertulis". Hasil reportase menjadi "data sekunder" bagi para pembacanya untuk kemudian membangun opini tentang hubungan Pebrianov, Jokowi dan Prabowo, tentang rencana besar mereka, dan lain sebagainya.

Pembaca laporan anda itu membutuhkan imaginasi saat menuliskan opini mereka!

Jadi, om/tante...bagi penulis kanal apapun, entah fiksi, reportase, opini ; politik-olah raga-humaniora, dan lain-lain tetap membutuhkan imaginasi dalam proses penulisan.

Untuk itu jangan menganggap remeh imajinasi anda. Jangan sia-siakan keberadaan imajinasi. Jagalah imajinasi. Berjanjilah pada imajinasi. Cintailah imajinasi selama anda jadi penulis, dalam suka maupun duka.

Percayalah, aku rela kamu sama imajinasi. Asalkan kalian bahagia, heu heu heu...

sumber gambar ; pixabay.com
sumber gambar ; pixabay.com
---

 peb24/03/2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun