Tidak ada yang salah dalam keikutsertaan Prabowo pada perayaan Natal, baik sebagai warga negara dan pemimpin. Apalagi sebagai anggota keluarga dari keluarga besarnya. Disana ada adik, kakak, keponakan, paman, dan lain sebagainya. Bagaimana mungkin Prabowo mengingkari atau menjaga jarak dengan keluarga besar yang notabene bagian dari sejarah hidupnya?
Namun secara politik, ketika girah sejumlah kelompok Islam konservatif yang melarang pengikutnya mengikuti perayaan Natal, bahkan untuk mengucapkan selamat Natal saja diharamkan, justru Prabowo melakukannya. Prabowo telah melukai girah politis keislaman yang dibangun elit politik di dalam kubu perjuangannya sendiri.
Ini kali kedua Prabowo "mbalelo", setelah dia mengabaikan Ijtima Ulama yang merekomendasikan wakil predisen pendampingnya "harus" dari kalangan Ulama Islam---yang berarti Prabowo mengabaikan "keinginan Allah".
Pencitraan "keislaman" Prabowo perlahan tapi pasti akhirnya terkuak. Keislaman Prabowo tidak sekental yang dibayangkan para pendukungnya selama ini, khususnya di arus bawah atau publik awam yang dibutakan pencitraannya.
Dengan komodifikasi "Keislaman" Prabowo seperti itu menunjukkan sebuah "kebohongan" seorang calon pemimpin Indonesia--negeri yang mayoritas beragam Islam. Prabowo hanya memanfaat Islam untuk kepentingan politik semata. Dia tidak menjiwai keislaman itu sendiri dalam konteks kedalaman religi.
Kalau melihat adigium bahwa politik itu penuh dengan trik dan kepentingan kelompok, maka bila menjadi presiden, Prabowo sangat diragukan bisa memenuhi ekspetasi kepentingan Islam  Kenapa demikian? Karena Islam hanya dijadikan alat politik Prabowo. Keislaman Prabowo tak lebih hanya sebuah strategi politik sesaat, bukan sebuah penjiwaan religi Islam itu sendiri.
Seorang yang bisa menjalankan penjiwaan religi keislaman yang baik, sejatinya sejak awal tidak menyembunyikan keislamannya demi kepentingan kelompok politiknya.  Sayangnya, hal tersebut  dilakukan Prabowo sampai pentas Natal menguaknya secara vulgar sehingga timbul Derau yang merusak tata akustik dan keindahan "suara demokrasi" yang jujur.
Â
Kiranya, publik harus kritis dalam menyikapi politik keislaman seorang tokoh politik yang tadinya nyaring menyuarakan keislaman--kalau tidak ingin terjebak militansi politik keislaman dan dijadikan alat semata.
---