Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Gue Partai Kerokanisme Zaman Now!"

26 November 2017   05:32 Diperbarui: 26 November 2017   13:16 757
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gaambar : instagram balsem lang

Kerokan merupakan salah satu cara pengobatan tradisional dari para leluhur dari generasi ke generasi hingga sekarang. Kerokan identik dengan sakit "masuk angin"--yang sering tiba-tiba muncul karena faktor tertentu, misalnya terlambat makan, terkena hujan dan angin, terlalu lelah, habis begadang dan lain sebagainya. Selain itu kerokan juga identik dengan penyembuhan sakit kepala, mual, perut kembung, nyeri otot, meriang dan lain-lain.

Kerokan dapat dilakukan dimanapun tanpa mengeluarkan biaya. Biasanya seseorang bisa minta bantuan anggota keluarga terdekat, tetangga atau teman di lingkungannya. Kelengkapan yang digunakan sangat sederhana dan mudah di dapatkan yakni potongan bawang merah, ataupun potongan jahe, minyak, lotion atau balsem untuk melicinkan punggung atau bagian yang akan dikerok.

sumber gambar : https://www.instagram.com/p/BQpV9DxDh6v/?taken-by=sobat_hangat
sumber gambar : https://www.instagram.com/p/BQpV9DxDh6v/?taken-by=sobat_hangat
Perbedaan Cara Pandang Tentang Kerokan

Generasi 'Zaman Old yang tinggal di perkotaan dan  umumnya masyarakat di pedesaan segala usia relatif lebih familiar dengan pengobatan kerokan dibandingkan generasi 'Zaman Now' perkotaan. Bagi masyarakat pedesaan, kerokan merupakan pengobatan yang murah, mudah dan manjur. Secara tersirat prinsip mereka bila kurang enak badan ; "DikitDikitJanganMinumObat".

Generasi Zaman Now yang tinggal diperkotaan relatif kurang familiar dengan kerokan. Mereka lebih tergantung pengobatan medis modern lewat rumah sakit, klinik atau dokter praktek yang relatif banyak di kota. Pertanyaannya, kenapa mereka tidak tertarik kerokan, padahal merupakan pengobatan yang murah, mudah dan manjur? Penyebabnya  ada beberapa faktor, yakni :

Pertama : kerokan dianggap pengobatan orang kampung sehingga timbul stigma 'ndeso', kampungan dan tidak menarik. Kalau ketahuan kerokan mereka jadi malu, apalagi bekas kerokan berwarna merah di tubuh nampak mencolok.

Kedua, orang tua mereka, para orang tua Zaman Now (mamah/papah muda) yang hidupnya relatif mapan tidak membiasakan kerokan dan juga tidak mengajarkan mereka kerokan saat terkena masuk angin. Mereka lebih memilih minum obat dokter, itu artinya berlawan dengan prinsip generasi Old "DikitDikitJanganMinumObat".

Ketiga, mereka tidak melihat alasan medis-logis kerokan bisa menyembuhkan masuk angin dan lain-lain. Padahal walau secara medis modern tidak mengenal penyakit "masuk angin", namun bukan berarti ilmu medis modern mengabaikan kerokan sebagai cara pengobatan. Mereka tidak tahu adanya penelitian ilmiah tentang manfaat kerokan.

Perbedaan cara padang ini perlu ada dijembatani  atau dicari solusinya sejak sekarang guna keberlanjutan budaya tradisonal kerokan dimasa depan. Perhatian perlu diberikan pada pemahaman  orang-orang  Zaman Now karena mereka lah  yang  dominan jadi pelaku kehidupan  masa kini dan masa depan.

sumber gambar : instagram balsem lang
sumber gambar : instagram balsem lang
Bagaimana Keberlanjutan Kerokan Masa Depan?

Tidak familiarnya generasi Zaman Now bisa menyebabkan pengobatan tradisonal kerokan sebagai budaya hilang ditelan zaman. Bukan tidak mungkin kelak dunia barat mengambil ide kerokan untuk dikembangkan dan dipatenkan jadi milik mereka sebagai alterrnatif pengobatan modern--tentu saja dengan dukungan peralatan lebih canggih dan metode yang lebih terstruktur. Kemudian, hasil pengembangan barat itu "dijual" kembali ke Indonesia kemasan lain -- padahal  dulunya  bangsa kita lah 'pemiliknya'.  Kalau sudah begitu, yang rugi tentu kita juga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun