Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Berbalas Pantun dengan Jokowi, Panggung Pesta SBY Cari Penonton?

20 Maret 2016   10:09 Diperbarui: 20 Maret 2016   14:12 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="sumber gambar : http://kendaripos.co.id/wp-content/uploads/2015/10/5529d21e6ea83432398b4567.jpeg"][/caption]

Publik dibuat heran hampir takjub ketika 'Tour de Java' Pak SBY yang tadinya diharapkan sebuah Safari berbagi cerita Inspiratif dan kegembiraan berubah jadi Panggung 'berbalas pantun' dengan Jokowi. Tak ada angin tak ada hujan, Jokowi yang sedang sibuk bekerja diajak berpantun ditengah banyak polemik pemerintahannya.

Tour de Java yang seharusnya kegiatan Outdoor berubah jadi rasa Indoor. Teriakan lepas petanda kegembiraan jadi suara dengung dan gema di dalam ruang lembab dan berbau kurang sedap. Akibatnya, tercipta perbedaan Locus Gonus (jiwa ruang) yang ekstrim, seperti beda ruang kegembiraan dengan ruang pemeriksaan, dan beda kegiatan silaturahmi dengan sidak.

Panggung pak SBY itu memakai Jokowi untuk cari penonton. Rakyat dipaksa jadi penonton sequen masa lalu sambil mendengarkan running teks terjemahan yang terlambat. Mereka dipaksa menatap sejumlah adegan artifisial anak manusia ber-setting masa lalu dan make-up kejayaan.

Apakah pak SBY sedang prihatin di panggung itu?
Tak seperti biasanya beliau prihatin, tapi kali ini tidak. Kini beliau sedang berpesta dan mengajak publik di ruang Outdoor merayakannya di ruang Indoor ciptaannya. Perayaan tentang dirinya yang dulu berjaya.

Publik tentu saja bingung karena pesta itu tentang masa lalu di masa kini. Diharapkan publik selalu ingat bahwa masa lalu adalah perayaan abadi dirinya. Namun itu, tak termasuk begitu banyak kata prihatin yang pernah jadi pengikut langkah.

Kini publik jadi prihatin. Mereka sadar masa lalu tak boleh dilupakan, tapi bukan berarti harus  merayakannya dengan meniadakan masa kini yang ada di depan mata. Masa lalu tak butuh ruang pesta melainkan ruang belajar. Dan itu sejatinya disampaikan oleh sosok Guru bijak, bukan sosok Prihatin yang mendadak jadi biang pesta diri.
---------

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun