Mohon tunggu...
Paulus Tukan
Paulus Tukan Mohon Tunggu... Guru - Guru dan Pemerhati Pendidikan

Mengajar di SMA dan SMK Fransiskus 1 Jakarta Timur; Penulis buku pelajaran Bahasa Indonesia "Mahir Berbahasa Indonesia untuk SMA", Yudhistira.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Oscar, Si Petarung

27 Maret 2020   09:00 Diperbarui: 27 Maret 2020   11:51 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

OSCAR

         Penghuni kolam keragaman berukuran 2x3 meter persegi itu heboh. Pasalnya, tiba-tiba seekor ikan Oscar diceburkan. Seisi kolam pun panik. Dunia ikan tahu benar, Oscar adalah sejenis ikan petarung, bahkan ikan predator. Sekejap, kolam yang dihuni beragam ikan itu sepi. Semua ikan bersembunyi ke kediamannya masing-masing dengan perasaan was-was.

            “Coba kamu selidiki si Oscar itu! Tapi, tetap waspada.” Kata Ruben, si ikan mas. Ia memang dituakan di kolam keragaman itu.         Raka, si gurame muda, dengan semangat mudanya meraih sebatang bambu, lalu menghampiri Oscar yang terpekur di pojok kiri kolam. Dari balik batu, dengan tangan gemetaran, ia menyodok-nyodok pelan perut Oscar. Oscar tidak  bergeming. Ia tidak menyerang. Raka pun semakin penasaran. Dengan  ekstra tenaga, ia menyodok dengan sekuat tenaga hingga Oscar terbentur ke dinding kolam. Ternyata, Oscar tidak berbalik menyerangnya. Dengan percaya diri,  Ia menghampiri dan mengamati Oscar.  Si predator itu ternyata sudah renta. Sisik-sisiknya tidak beraturan. Sirip kanannya buntung dan bermata satu pula.

            Raka bergegas menemui Ruben.

      “Lapor, Pak. Ternyata tamu tak diundang itu sudah tua. Kondisinya memprihatinkan. Siripnya buntung, sisik-sisiknya keriput, dan bermata satu”.

 “Saudara-saudaraku sebangsa dan seperjuangan. Tidak perlu takut. Ternyata Oscar yang satu ini tidak lagi punya gigi. Ia sekarat.    

    Mendengar pengumuman itu, segenap penghuni kolam beramai-ramai menghampiri Oscar.

     “Anakku, ambil palu dan segera rontokkan gigi-ginya!” Perintah Belida Senior, mantan petarung dari Sumatera, kepada Belida Yunior.

          “Kenapa ayah?    

“Karena dalam pertarungan kejuaraan ikan hias petarung se-Indonesia tahun lalu, 2 gigi ayah patah oleh bangsa Oscar.”

      Rendy, si cupang pun tersulut emosinya. Amarahnya semakin meluap-luap ketika membayangkan kedua bola matanya pecah dalam pertarungan dengan bangsa Oscar, kontingen dari Sulawesi Utara.

      “Tejo, balaskan dendam ayah! Cungkil matanya yang satu ini!”  Segenap penghuni kolam keragaman marah. Bermuncullanlah kata-kata umpatan, cercaan, makian serta kutukan.

            “Rajam! Rajam dia!”

            “Bunuh dia!”

            “Cincang dia!”

            “Lenyapkan sang predator!”

            “Rontokkan gigi-giginya!”

            “Cungkil matanya!”

            “Bakar ikan tak punya hati ini!”

           Suasana semakin tak terkendali ketika Raka menyeret Oscar tua ke tengah kolam. Namun, Oscar tetap diam; tak punya daya untuk membela diri. Ia pasrah!    

     “Tenang, tenang saudara-saudaraku. Jangan main hakim sendiri!” Teriak Ruben.

       Teriakan itu tidak mempengaruhi amarah masa. Masa bergerak mendekati Oscar. Ada yang melemparinya batu. Ada yang memukulinya dengan potongan kayu, bahkan ada yang menusuk-nusuk matanya dengan kawat.

    “Mundur! Mundur saudara-saudara!” Teriak Ruben sambil memukulkan tongkat ke atas permukaan air. Segenap ikan kaget dan mundur seketika.

       “Dengar saudara-saudaraku. Oscar memang petarung ulung. Predator yang ditakuti. Tapi, itu dulu. Sekarang, lihatlah! Ia tidak berdaya.”

     “Tapi, kedua mataku ini pecah ketika bertarung dengan bangsanya.”

      “Gigi-gigiku juga rontok ketika bertarung dengan saudaranya.”

       “Saya memahami itu Pak Rendy dan Pak Belida Senior. Apakah bapak-bapak lupa bahwa bapak-bapak dilahirkan sebagai petarung? Coba bapak-bapak mengingat-ingat kembali! Berapa banyak lawan Anda yang menderita akibat pertarungan-pertarungan itu?”

       Keheningan menyelimuti seisi kolam.

       “Bapak-bapak, termasuk juga Oscar ini berjuang demi hidup. Bertarung dalam setiap kejuaraan sebagai suatu profesi.”

     Mendengar pernyataan itu, Pak Rendy dan Pak Belida Senior mundur dan bersembunyi di balik batu.

        “Dan satu lagi saudara-saudaraku. Apakah kita pantas meluapkan emosi kepada sesama yang sudah tidak berdaya?”

        Seperti tersiram air es, ikan-ikan itu meninggalkan pusat kolam. Kini tinggal Pak Ruben dan Oscar yang tengah merintih kesakitan.

         “Maafkan saudara-saudara saya!  

 Oscar mengangguk sambil memeluk Ruben.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun