Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Sepak Bola, Nasionalisme, dan Prestasi

10 Februari 2023   18:30 Diperbarui: 10 Februari 2023   18:38 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sepakbola, Nasionalisme, dan Prestasi

Ingar bingar sepak bola di Indonesia tiada lawan. Jangan bicara prestasi lho ya, rusuh, rebutan pengurus, pemecatan pelatih, dan tarik menarik kepentingan klub, timnas, dan seterusnya. Itu saja yang ada di media. Soal prestasi, setingkat ASEAN saja ngos-ngosan. Sudah sekian lama tidak merasakan emas Sea Games, apalagi jika bicara AFF.

Mentok final, tragis. Awal-awal turnamen keren, bagus, melibas dengan sangat telak lawan-lawannya. Eh semifinal keok, atau jika beruntung sama saja, kalah di final. Slogan, tunggu kami di turnamen berikut atau edisi mendatang. Hasilnya juga 11 12.

Harapan yang membuncah, kembali pupus, berharap pertandingan berikutnya, toh sama saja, kejadiannya identik. Tidak berubah.

Menghadapi piala dunia, ikut piala dunia meskipun junior tetap labelnya adalah dunia. perlu keseriusan dan kerja keras. Toh gagasan untuk berlatih, menggembleng pemain, dan menyiapkan taktik dan strategi tidak mendapatkan respon yang semestinya. Ada pelatih, elit klub, dan juga pengurus.

Mirisnya yang banyak komentar dan mempersulit itu sama sekali belum pernah merasakan atmosfer piala dunia. Ppelatih timnas ini  pernah menangani tim yang beralaga di pentas piala dunia, senior lagi, pun bukan semata juru kunci yang jadi lumbung gol lawan-lawannya.

Nasionalisme, ini urusannya juga dengan kampanye ideologi ultrakanan yang masih cukup masif.  Penolakan dengan agenda klub yang dipertentangkan dengan kepentingan nasional itu sangat naif. Karena toh, permainan klub, prestasi mereka juga begitu-begitu saja. Pola permainan tidak ada, menang juga sering tidak jelas alur permainannya.

Dikotomis klub dan bangsa, keenganan mendukung timnas agar publik tidak memiliki kebanggaan sebagai bangsa, malah malu karena terpuruk dan tidak  membanggakan.

Maunya pemusatan latihan pendek seperti klub dan timnas Eropa. Mereka profesional, sudah paham masing-masing pemain dan permainan. Mereka tanpa kumpul pun pasti bisa main dan terlihat pola permainannya.

Indonesia masih perlu pola ini karena displin, jam latihan, dan model menjaga kebugaran sebagai tanggung jawab pribadi belum bisa diyakini akan berjalan.  Sistem kontrol langsung dengan pemusatan latihan menjadi solusi jitu.

Skema permainan di klub Indonesia sama sekali tidak ada pola yang relatif mendukung skema permainan timnas. Mau skema, lha pemain saja tidak dilepas membela timnas. Mana mau mereka berfikir  mendukung melalui skema permainan.

Lebih ironis lagi pelatif kelas atas dunia, Luis Milla dan Sin Tae Yong   mengatakan, jika pemain Indonesia rata-rata tidak paham bermain bola, mengoper, menggiring, menyundul, dan mengoper bola. Ini adalah dasar pemain profesional.  Pelatihan paling dasar.

Bisa dibayangkan, bagaimana pemain negeri ini bisa bicara banyak di kancah yang lebih tinggi, ketika hanya mengandalkan naluri bermain anak-anak tanpa tahu teknik yang baik dan benar dalam bermain.

Penanganan fisik yang masih jatuh bangun, selalu mencari pembenar mengenai tinggi pemain, toh sudah terbukti itu tidak signifikan. Leonel Messi relatif sama pendeknya dengan pemain-pemain negeri ini. Toh bisa   berbuat banyak.

Belum lagi jika bicara pola makan, latihan, dan kedisplinan, itu adalah modal dasar pemain besar. Ronaldo saja menambah jam berlatih, makan sangat terjaga. Bagaimana bisa pemain sini malah nyolot ketika dikomentari cara makannya.

Terlalu banyak orang merasa bisa, namun kurang bisa merasa. Berlomba-lomba melamar jadi pengurus, namun sama saja juga hasilnya. Pas menang mengaku-aku ikut berjasa, pas kalah ikutan paling kenceng minta pelatih dipecat.

Jarang memberikan apresiasi atau dukungan pada siapa yang sedang memegang kendali, malah cenderung memusuhi dan mengincar untuk menggantikan. Padahal capaiannya juga masih jauh lebih buruk. Terlalu banyak omong dan komentar semata.

Jika hal-hal di atas masih dominan, mau ganti pengurus sekaliber Samuel Etoo atau pelatig Pep Guardiola, juga tidak akan jauh-jauh dari final AFF. Mental.

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan    

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun