Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

8 "Orang Dalam KPK", TWK, Menanti Apa Lagi Biar KPK Bersih?

6 Oktober 2021   09:36 Diperbarui: 6 Oktober 2021   09:51 419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Azis Syamsudin, Detik.com

8 "Orang Dalam KPK", TWK, Menanti Apalagi, Biar KPK Bersih

Dalam sebuah persidangan kasus tindak pidana korupsi, alias maling, seorang menyebutkan, jika Azis Syamsudin yang ditangkap masih sebagai wakil ketua DPR-RI, memiliki delapan (8 orang) yang bisa digerakkan.  Tentu saja menggerakan sesuai dengan kepentingan Azis dan rekan-rekan atau kelompoknya.

Susah melihat ini sebagai sebuah kepentingan partai politik. Wong bisa saja, kalau ambisi politiknya terhambat, "orang dalam" ini juga digerakkan untuk bekerja. Pengakuan salah satu yang terkait tidak kenal yang tujuh orang. Ya iyalah, bisa jadi tidak kenal, bisa jadi kenal, atau memang tidak perlu saling kenal, tapi bisa bekerja bersama demi kepentingan masing-masing.

Menarik apa yang terjad di dalam persidangan ini, meskipun pesimis akan ditindaklanjuti, semua bermuara pada kepentingan politis. Selalu begitu, saling memegang kartu truf, sehingga tidak pernah ada ketegasan sebagaimana mestinya.

Paling juga hanya ramai-ramai sesaat dan lupa dengan drama baru. Berapa kali saja persidangan riuh rendah, toh tidak ada kelanjutannya. Buku halaman satunya Anas Urbaningrum mana halaman dua, buku merahnya Setya Novanto, atau pernyataan Antasari Azhar usai keluar penjara. Semua menguap.

Padahal, jika melihat reputasi Azis Samsudin, masih banyak yang lebih gede dalam aneka makna dan arti. Kekuasaan politik, kekuatan finansial, jaringan, dan bentuk kekuasaan lainnya. bagaimana sekelas setya Novanto, Anas, atau yang lainnya. Berapa orang    yang bisa mereka "gerakkan" untuk kepentingan sendiri dan kelompoknya.

Masih ada kepentingan ideologis yang sangat susah dibuktikan, dan juga sangat susah pula diakui, walaupun dengan jelas terbuka akan bukti-bukti itu. ideologis termasuk juga kepentingan politik tertentu.

Pengakuan ini, meskipun kemudian ada pula yang menyangkal, makin membuktikan bahwa banyak kasus menguap, dan tidak ada tindak lanjut. Nama-nama yang sangat santer di dalam persidangan tiba-tiba senyap.  Selama ini hanya menduga-duga, menguar opini dan asumsi tanpa bukti.

Perlu diingat juga salah satu media, Tempo sering mendapatkan bocoran sprindik. Hayo, orang dalam siapa lagi ya ini? Siapa "pemilik"nya. Kan ngeri, kalau semua pegawai, atau jangan-jangan malah komisioner juga "milik" kelompok atau orang tertentu.

Maling barang bukti, menggerakkan kasus atau menghentikan, itu tidak akan mungkin hanya satu dua orang yang bekerja. Melibatkan tim yang bisa jadi gede. Besar dalam arti jumlah atau kuasa. Nah, jika demikian, bagaimana bisa negara ini bebas dan lepas dari jerat maling. Utopis sih jika bicara bersih, minimal separo lebih berkurang dari yang sekarang sudah bagus.

Saatnya bersih-bersih. Biar saja yang merasa menjadi korban TWK kemudian membongkar laku "faksi" lain, itu lebih bagus, saatnya tiji tibeh, bukan malah saling menyandera dan kemudian semua enak, rakyat dan negara yang menjadi korban.

Tidak usah saling menutupi dan menjadikan itu senjata untuk bertahan di dalam mendapatkan keuntungan pribadi atau kelompok. Ini yang terjadi selama ini, sangat terasa bagi warga biasa.

Beberapa hal  yang layak dijadikan pembelajaran, mengapa begitu susahnya keluar atau minimal berkurang aksi maling ini?

Produk DPR. Maaf, bukan mau mencela yang mulia, namun sudah terbukti, juga kepercayaan publik pada lembaga ini sangat rendah. Tidak akan mungkin berharap mesin bobrok menghasilkan produk yang bermutu. Sapu kotor tidak akan membersihkan lantai, malah menambah jejak kekumuhan. Ini hukum alam.

Tabiat elit negeri ini, termasuk yang di KPK, cenderung fokus pada uang. Materi menjadi tujuan utama. Integritas sangat mudah dipatahkan dengan keberadaan dan tawaran uang. Lihat saja di mana-mana, suap, sogok, upeti, dan mark up seolah biasa saja. Ada pula yang menyebutnya oli pembangunan.

Silakan sih kalau sekadar ucapan terima kasih, uang rokok itu seberapa. Lha kalau sampai 30% dipangkas demi upeti, suap sana-sini, apalagi demi golnya proyek, ya sudah, selesai. Hampir semua lini kehidupan bernegara ini terjadi. Maka tidak heran kinerja KPK seolah tidak ada dampaknya.

Perilaku tidak punya malu, bagaimana seolah maling itu hal yang lumrah, mengajak kolusi sebagai hal yang wajar. Sampai ada yang mengatakan itu sebagai rezeki dari Allah, tertangkap sebagai apes, jelas memperlihatkan bahwa mereka tidak menyaadari maling ya maling, mengambil yang bukan haknya.

Hukum sosial masih terlalu jauh. Lihat saja penghargaan masyarakat pada kekayaan, bukan pada proses dan dari mana asal kekayaan  itu. Padahal banyak yang tidak  layak dihormati karena kaya dari hasil maling.

Integritas masih rendah. Tidak malu-malu mamerkan gaya hidupnya yang jauh dari profil semestinya. Lihat saja kantor-kantor negara, sekarang ini sudah kehabisan lahan parkir. Lha memang negara ini sudah semakmur itu?  Benar, bahwa  perbaikan gaji ASN sudah sangat bagus. Tetapi apa benar sudah semewah itu gaya hidup pegawai dan aparatur negara ini?

Pembuktian terbalik, pemiskinan sangat mendesak. Masalahnya adalah pembuat UU-nya juga masih si sapu kotor, susah untuk berubah. LHKPN saja masih sekadar himbauan, di tengah tabiat tidak punya malu, mana duli.

Agama sebatas ritual, bahkan sangat mungkin "membeli" tuhan dengan hasil nyoolong.  Aktivitas ibadah dan sosial kenceng, tapi maling juga lancar. Ini masalah. Seharusnya orang religius akan malu untuk maling.

Pendidikan. Susah diharapkan, ketika mau masuk sekolah favorit dengan uang, mencotek dianggap wajar, UN saja dijaga dengan pesan, jangan keras-keras, itu anak sendiri. Bagaimana bisa mendidik dengan cara buruk seperti ini menghasilkan manusia berintegritas.

Semua memang masih harus dilalui. Suka atau tidak, rela atau berat hati, semua tetap harus dijalani.

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun