Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jangan Sia-siakan Makanan

8 Desember 2020   20:42 Diperbarui: 8 Desember 2020   20:43 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bangsa Indonesia termasuk yang suka menyampahkan makanan. Sisa makanan paling gede sedunia, memang bukan yang paling banyak, namun relatif besar, termasuk kalangan atas. Fakta lapangan silakan cek atau sambil lalu, ketika lewat atau malah ikut makan di pusat-pusat jajan mau kelas mal atau kaki lima, berapa banyak piring berisi makanan sisa.

Di perjamuan mau pesta apapun, juga coba perhatian, bagaimana orang mengambil banyak-banyak, pun dengan sisanya.  Masih bisa dimengerti kalau perjamuan model  makanan sudah diberikan dalam paketan, tidak bisa memilih, masih bisa diterima nalar kalau sisa.  Selera dan kesukaan orang bisa berlainan.

Paling menjengkelkan, ketika di rumah ada acara arisan, prasmanan namun menyisakan banyak banget. Kan aneh, namanya prasmana, pokwe, jupuk dhewe, alias ambil sendiri, kog masih sisa. Entah apa yang ada dalam benak mereka.

Mengapa tabiat demikian bisa terjadi dan malah seolah menjai gaya hidup,

Pertama, budaya. Beberapa budaya atau adat kebiasaan menilai orang yang menghabiskan makanan, di piringnya bersih itu melambangkan ketamakan atau kerakusan. Rakus yang berkonotasi buruk.  Sangat wajar, makan, terutama makan besar, di meja makan itu masih ada sesuap atau sesendok nasi, secuil lauk pauk, tentu dirapikan, bukan belepotan. Sedikit pun tetap sisa dan menjadi sampah.

Konteks budaya kuno, ketika keluarga masih memelihara ayam atau hewan peliharaan lain masih "terpakai". Tidak terbuang percuma atau sia-sia. Ketika rumah tangga bebas hewan peliharaan, atau kucing dan anjing makan, makanan khusus, bukan sisa-sisa yang campur aduk? Ke mana? Sampah bukan?

Kedua, tabiat menghargai pihak lain sangat rendah. Dua kemungkinan, menyepelekan atau meremehkan, bisa juga memang sikap itu tidak ada. Hal yang sangat berbeda. Karena sikap  meremehkan lebih rendah lagi, hanya begitu saja, atau sepele mengapa juga, toh semua bisa.  Sikap demikian juga diterapkan pada makanan. Sederhana, bagaimana nasi di piring itu melibatkan begitu panjang rantai produksi. Petani, buruh tani, penggilingan padi, penjual beras, tukang masak, dan disajikan di depan kita. Berapa banyak keringat yang tercurah untuk itu. Hal demikian kemudian dinyatakan, halah hanya segitu?

Sikap yang identik, abai akan ungkapan terima kasih pada pihak lain.Tidak pedulian dan  masa bodoh akan hasil jerih payah orang lain. Lihat pula cara merusak, menghancurkan, dan kebiasaan membuang sampah itu khas abai akan keadaan orang lain. Egoisme yang  dimiliki anak-anak.

Ketiga, merasa membayar, membeli, dan milik sendiri. Makanan memang dibayar, atau kalau pesta toh "sudah" menyumbang atau angpao, sikap jemawa, dan ujungnya lupa jasa dan peran pihak lain.  Perbedaan pada poin dua dan tiga adalah sikap merendahkan, kalau pembahasan bagian ini meninggikan diri. Dia yang paling.

Keempat, agama dan sisi spritual masih belum aplikatif. Ibadah, ritual, dan hal-hal yang bersikap senada ini masih kenceng. Namun jauh dari dalam tindaknyata. Ungkapan syukur itu bukan semata memenuhi rumah ibadah atau hafal ini dan itu, namun juga menghargai ciptaan dan Pencipta.

Kelima, pendidikan. Materi yang seabrek, hafal ini dan itu, jawara ini dan itu, namun abai untuk mampu berterima kasih dan bersyukur. Terlalu berorientasi pada sisi otak, kognisi, namun jauh dari sisi afeksi dan humanisnya. Pengolahan rasa dan sisi kemanusiaan rendah.

Keenam, keteladanan. Jelas ini memegang peran penting. Model feodal akan membuat cara dan sikap di atas itu sangat kuat dan itu ditiru oleh generasi berikut-berikutnya. Hal yang sudah turun temurun terjadi, sehingga akan susah untuk diubah.

Apa yang bisa dilakukan?

Pendidikan untuk mengolah sisi afeksi dan rasa. Penguatan pelajaran sastra dan humaniora, sehingga anak didik memiliki kepekaan hati. Peduli, empati, dan bela rasa itu harus dipupuk, tidak akan mampu beranjak tanpa adanya penanaman nilai-nilai demikian sejak dini.

Pendidikan mengubah konsep menjadi pemahaman mendalam. Hafalan dan banyaknya materi namun anak atau peserta didik tidak mampu menerapkannya dalam hidup harian. Hal yang cukup mendasar, namun abai dijadikan rujukan untuk diatasi.

Kesadaran. Perlu membangun kesadaran, bahwa hidup bersama, bukan sendirian. Hal yang akan memampukan orang untuk mampu berempati, berbela rasa, dan bersyukur atas kerja keras pihak-pihak lain, dan terutama Yang Kuasa.

Keteladanan. Sikap yang perlu dibangun dan dikembangkan. Model birokrasi dan pejabat  kalau makan dan santapan bisa seolah raja yang tidak merasa bersalah  ketika hanya "mempermainkan" makanan. Hal yang perlu didengungkan sehingga gaya hidup atas bisa menjadi teladan bagi rakyat.

Konteks pejabat ini juga elit atau tokoh agama. Apapun, bukan bicara agama ini dan itu, namun sikap elit agama relatif identik kog. Apalagi jika bicara lagi-lagi konsep. Dalam ranah ini jelas syukur atau ungkapan atas karunia Yang Kuasa.

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun