Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

OTT Lagi dan Serba Salah Jokowi

6 Desember 2020   20:05 Diperbarui: 6 Desember 2020   20:31 566
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

OTT Lagi dan Serba Salah Jokowi

Memilukan, ada korupsi bertubi-tubi. Menteri pula yang terjerat. Usai  Menteri KKP, kini Menteri Sosial, dana bansos copid yang menjadi sasaran. Memang bukan dana digelembungkan atau disunat, namun ada dugaan jika para pelaku yang mendapatkan proyek pengadaan barang memberikan suap, tidak tanggung-tanggung belasan milyar.

Masalah krusial dan mendasar memang parpol. Suka atau tidak, parpol telah rusak dan entah kapan mau menyadari dan memperbaiki diri. Lihat saja di mana pimda dan dewan akur, bisa ditengarai ada sesuatu. Sebaliknya, jika eksekutif daerah ribut melulu dengan dewan pun bisa ketebak mengapa. Fenomena Ahok yng memang galak pada anggaran bukti sahih dan hingga sekarang tidak ada lagi.

Beberapa waktu lalu, ada rekan yang membagikan seminar dari sebuah universitas di Jogyakarta dengan menghadirkan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranawa, Pak Ganjar berkisah, bahwa pada bulan pertama, ada pejabat yang datang untuk memberikan "upeti" dalam amplop. Ia jawab mau minta maaf dan selesai, atau diterima dan dibawa ke KPK sebagai gratifikasi. Keringat sejagung-jagung dan minta maaf, kemudian dicopot.

Ia mengatakan semboyan aja ngapusi dan aja korupsi dimaknai pencitraan oleh anak buahnya. Sangat wajar dan normal di tengah bertata negara seperti ini. Seolah semua itu uang dan  pencitraan. Pada sisi lain, Jakarta lagi dihebohkan dengan sas-sus kenaikan gaji anggota dewan hingga Rp. 700. 000.000, 00 per bulan.  Mau ini beneran atau tidak, toh bagaimana relasi eksekutif dan legeslatif pada dua periode ini, bisa ditafsirkan sendiri.

Salawi

Beberapa bulan lalu banyak didengungkan rezim ini melemahkan KPK dengan UU KPK yang baru, adanya dewan pengawas dan aturan-aturan baru yang ada. Seolah dunia kiamat, demo berhari-hari dengan tema pokoknya jangan sampai UU KPK baru berjalan. Belum juga berselang dua tahun, kini malah panenan OTT, pun soal istilah OTT nya masih bisa diperdebatkan, lebih pas artikel lain.

Menteri aktif dua dalam dua pekan menjadi sorotan amat  tajam. Seolah dunia ini runtuh, padahal justru ini adalah harapan, di mana korupsi diselesaikan tanpa peduli jabatan dan kedudukannya.  Beberapa hari terakhir, kurang mendapatkan panggung soal pengusutan dan juga penjemputan elit Garuda di mana kasusnya sudah berlangsung bertahun lalu. Sepi dari hingar bingar pemberitaan, padahal itu juga penting.

Pembahasan nggota BPK yang menjadi tahanan KPK juga sepi-sepi saja. Kurang seksi dan tidak menjual bagi media. Pun pelaku media sosial tidak akan mendapatkan keriuhan jika membahas kisah lama mereka berdua itu. padahal sama saja, ketika bicara soal korupsi, apalagi rangkaian ke mana-mananya juga potensial sangat besar dampaknya.

Esensi korupsi belum dipahami secara bersama sebagai musuh publik. Hal yang memilukan, karena orang masih menghargai kekayaan, bukan cara mendapatkan kekayaan. Penghargaan akan kemewahan, bukan hasil dari mana mendapatkan itu semua. Lihat saja polah para politikus maling berdasi itu, masih jemawa, dan kadang bisa "membeli" penjara dan persidangan. Hal yang sama sekali belum berubah, mana takut jika uang masih banyak.

Seolah Jokowi lemah dalam mengatasi masalah korupsi. Lha memangnya hanya zaman ini merajalela korupsi, jangan lupa era-era dulu juga pada bancaan. Masalah tebang pilih, soal parpol, dan belitan dan tekanan politik memang tidak mudah.

Kecenderungan orang parpol yang tersangkut korupsi memang sangat kuat dan erat. Tetapi toh semua juga kinerja politik yang mengatur semuanya. Lihat saja bagaimana legeslator itu bekerja dan mutunya, toh semua paham. Susah mengharapkan ada perubahan dan perbaikan.

Dua hal yang sangat sederhana, pembuktian terbalik atas kekayaan, siapa yang mau menginisiasi coba? Ketika peran parpol masih demikian dominan dan mereka pula yang banyak bermain api korupsi.  Belum ada harapan, tetapi bukan juga tiada harapan lho.

Hukuman mati atau pemiskinan. Dua pilihan bebas dari terpidana. Sederhana, lagi-lagi mau  tidak, revisi UU untuk penerapan ini. Lagi-lagi soalnya adalah peradilan masih bisa "dibeli". Pokoknya prosedural dan selesai.

Politik mengatasi hukum. Dengan dalih demi stabilitas, atau demi suara di pileg atau pilkada, maka penyelesaian hukum sangat mungkin tidak semestinya.  Pun banyak ditengarai adanya permainan demi merusak citra partai tertentu dengan menangkapi kader dari partai yang memang hendak digembosi.

Hal-hal demikian sangat mungkin terjadi, ketika kepentingan pribadi, golongan, kelompok masih di atas demi kemajuan bangsa dan negara.  Kepentingan nasional, hidup bersama tersandera demi mementingkan hasrat pribadi dan golongan.

Suka atau tidak, toh lebih banyak menteri dan pejabat tertangkap memiliki afiliasi partai dari pada orang profesional.  Tapi mau apa dikata, itu semua memang masih demikian kuat dan lekat bagi tatanegara di sini.

Harapan tetap harus didengungkan, bahwa ada pelangi usai hujan. Tidak hanya meratapi gelapnya malam, namun ada pula fajar yang akan merekah. Hal positif yang selalu dijadikan pedoman, bukan semata kutukan dan ratapan tentunya.

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun