Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Hari Guru dan "Keprihatinan Mahatir" Soal Sekolah Negeri

25 November 2020   14:20 Diperbarui: 25 November 2020   14:25 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Mau memberikan masukan pendidikan, namun ia juga perlu pendidikan. Bagaimana soal kejujuran buka semata hafal ayat mana bicara kejujuran. Sikap dan perilaku setiap saat dengan jujur jauh lebih utama dari sekadar hapal rujukan atau ayat suci yang menjadi hapalan. Tentu ini bukan soal hafalan buruk, tidak. Namun tidak cukup demi hidup yang lebih baik.

Berkaitan dengan kejujuran, bagaimana sikap mental bertanggung jawab. Lihat anak-anak sekarang mana memiliki tanggung jawab. Contoh dan keteladanan sangat minim. Setiap  hari dijejali dengan hiburan dan pemberitaan minim keteladanan baik. Elit berkelahi rebutan benar. Caci maki menjadi makanan setiap hari.

Bertanggung jawab itu tidak sesederhana untuk hak dan kewajiban saja. Namun bagaimana anak dan peserta didik juga memiliki pengetahuan yang cukup bahwa mereka juga bertanggung jawab atas hidup, pengetahuan, dan ilmu mereka. Tidak sekadar tahu, namun bagaimana menggunakannya dalam hidup sehari-hari.

Lihat saja profesor, doktor, bisa menggunakan ilmu mereka untuk menebarkan hoax. Kepandaian, ilmu mereka digunakan untuk mengelabui, mengutak-atik yang salah terlihat seolah benar, dan memilukannya mereka melakukan dengan gagah perkasa, pernyataan lugas di dalam balutan kenaifan.

Itu semua masalah pendidikan yang abai akan etika. Kepintaran, mengejar ranking, padahal dengan menyontek, mendaftar bisa masuk  karena suap. Mereka bukan tidak tahu dasar ayat suci soal kejujuran dan perjuangan, sangat fasih mungkin. Toh dengan gagah  perkasa juga mengobral kebohongan.

Sepakat kata dari "Mahatir" itu, perlu revolusi pendidikan, salah satunya sebagaimana kata Megawati untuk meluruskan sejarah 65. Selain sejarah 65 masih banyak masalah dalam sistem pendidikan nasional.

Campur aduk agama dalam pendidikan, sudah disentil oleh "Mahatir" di atas. Masalah sangat mendasar dan mengerikan jika tidak mau bebenah sejak sekarang. Mau dibwa ke mana anak-anak generasi mendatang dengan otak hanya berisi hafalan yang tidak berkaitan langsung dengan hidup di dunia ini.

Jangan salah sangka dan mengatakan melecehkan agama. Sama sekali tidak, ada ranah, ada kapasitas, dan ada waktunya untuk itu. Biarkan sekolah ya untuk membekali dengan kemampuan, ketrampilan, dan pengetahuan ilmu profan yang diminati, jangan mencampuradukan sehingga malah anak menjadi lemah.

Dunia setelah mati, bukan tugas sekolah untuk mengajarkan, mendidikan, dan menerapkannya. Jangan-jangan pengetahuan gurunya tidak tepat, malah membuat sesat bersama-sama. Ini juga masalah.

Politisasi sekolah. Ini pun biasanya agama pula. Lihat beberapa waktu lalu ramai dengan perintah membaca buku dari aliran terlarang. Toh pejabatnya tidak diapa-apakan. Bagaimana pencemaran otak anak sedemikian akut dan dibiarkan saja?

Kepala sekolah, kepala dinas, dan jajaran pendidikan kebanyakan terjaring dari tim sukses pilkada. Tentu sangat mudah menerka ke mana arah yang terjadi dalam pendidikan. Aroma uang dan afiliasi politik sangat mungkin terjadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun