Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Hari Guru dan "Keprihatinan Mahatir" Soal Sekolah Negeri

25 November 2020   14:20 Diperbarui: 25 November 2020   14:25 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Selamat Hari Guru

Ungkapan yang seolah tidak bermakna bagi para guru yang berjibaku di tengah pandemi. Kondisi yang sangat tidak mudah bagi siapa saja, apalagi dibarengi dengan keluhan massal. Orang tua mengharapkan belajar di sekolah, wong mendampingi juga tidak mampu. Pihak lain takut kalau ada penyebaran covid di sekolah. Simalakama.

Tuntutan untuk membuka kelas, pada dasarnya adalah ketidaktahanan orang tua memanggul beban sangat berat, mendidik itu tidak mudah. Orang tua selaku pendidik yang pertama dan utama itu ternyata melemparkan  handuk putih. Berat banget, menyerah, belum juga setahun lho.

Tiba-tiba, beberapa hari lalu, berseliweran di lini massa media sosial, yang menggunakan gambar Mahatir Mohamad, PM Malaysia dulu, yang mengatakan dalam bahasa saya, siswa sekolah negeri khususnya di Indonesia, akan ketinggalan dengan negara tetangga mengenai sains. Mereka terlalu disibukan dengan hafalan ayat dan kutipan suci. Terlalu asyik dengan hitungan untuk menuju surga atau neraka, kapan memikirkan sains dan riset.

Pertama-tama jelas ini bukan pernyataan Mahatir. Mengapa? Sangat jauh mencampuri urusan dalam negeri Republik Indonesia, akan sangat berbahaya bagi hubungan diplomatik. Sangat sulit memercayai seorang PM dua kali, senior, dan juga bagus berlaku demikian. Jelas ini bukan pernyataannya.

Apa kepentingan Mahatir menilai sistem pendidikan Indonesia, tidak ada kepentingan dan manfaatnya. Salah-salah malah memperburuk keadaan. Nasihat sebaik apapun bisa ditanggapi dengan tidak semestinya. Susah melihat Mahatir bersikap demikian.

Soal isi, konten, dan maksud tulisan itu sangat setuju. Hafalan bukan hanya soal agama, atau surga dan neraka, namun memang pendidikan kita terlalu asyik dan banyak hafalan. Wong teman saya mengajar Matematika saja dalam test kecilnya menanyakan sejarah dan kisah hidup salah satu tokoh kog. Lha apa manfaatnya coba?

Belum lagi mengenai tudingan agamis yang terlalu asyik dengan hafalan, di mana sejatinya itu bukan tugas sekolah formal. Ada pendidikan informal yang melengkapi tugas sekolah. Di sanalah peran pemuka agama dan lembaga keagamaan untuk masuk. Sekolah ya biarkan dengan kurikulum yang memadai. Agama semata pengetahuan dasar untuk tidak salah dalam berperilaku.

Sains dan riset masih jauh dari harapan. Keprihatinan yang membuat tulisan ini saya setuju. Sepakat bahwa itu benar terjadi. Sayang, mengapa harus dengan menggunakan nama PM Malaysia. Tulis saja nama si pemikir itu, baik kog masukkannya.

Takut atau merasa tidak akan  menjadi viral dan didengar, ketika ditulis oleh orang biasa. Ah tidak tentu. Kekuatan media sosial kini sama kuatnya dengan nama besar kog. Sayang gagasan besar, baik, dan kontekstual demikian malah tereduksi karena meminjam nama besar orang lain. Malah salah-salah bisa masuk bui.

Penelusuran sebuah media, benar ini bukan kata Mahatir Mohamad. Lha jelaslah, kepentingannya apa, dan manfaatnya apa coba. Menambah masalah iya. Jelas bahwa ini orang meminjam nama dan photo tokoh besar untuk meyakinkan publik mengenai pendidikan nasional.

Mau memberikan masukan pendidikan, namun ia juga perlu pendidikan. Bagaimana soal kejujuran buka semata hafal ayat mana bicara kejujuran. Sikap dan perilaku setiap saat dengan jujur jauh lebih utama dari sekadar hapal rujukan atau ayat suci yang menjadi hapalan. Tentu ini bukan soal hafalan buruk, tidak. Namun tidak cukup demi hidup yang lebih baik.

Berkaitan dengan kejujuran, bagaimana sikap mental bertanggung jawab. Lihat anak-anak sekarang mana memiliki tanggung jawab. Contoh dan keteladanan sangat minim. Setiap  hari dijejali dengan hiburan dan pemberitaan minim keteladanan baik. Elit berkelahi rebutan benar. Caci maki menjadi makanan setiap hari.

Bertanggung jawab itu tidak sesederhana untuk hak dan kewajiban saja. Namun bagaimana anak dan peserta didik juga memiliki pengetahuan yang cukup bahwa mereka juga bertanggung jawab atas hidup, pengetahuan, dan ilmu mereka. Tidak sekadar tahu, namun bagaimana menggunakannya dalam hidup sehari-hari.

Lihat saja profesor, doktor, bisa menggunakan ilmu mereka untuk menebarkan hoax. Kepandaian, ilmu mereka digunakan untuk mengelabui, mengutak-atik yang salah terlihat seolah benar, dan memilukannya mereka melakukan dengan gagah perkasa, pernyataan lugas di dalam balutan kenaifan.

Itu semua masalah pendidikan yang abai akan etika. Kepintaran, mengejar ranking, padahal dengan menyontek, mendaftar bisa masuk  karena suap. Mereka bukan tidak tahu dasar ayat suci soal kejujuran dan perjuangan, sangat fasih mungkin. Toh dengan gagah  perkasa juga mengobral kebohongan.

Sepakat kata dari "Mahatir" itu, perlu revolusi pendidikan, salah satunya sebagaimana kata Megawati untuk meluruskan sejarah 65. Selain sejarah 65 masih banyak masalah dalam sistem pendidikan nasional.

Campur aduk agama dalam pendidikan, sudah disentil oleh "Mahatir" di atas. Masalah sangat mendasar dan mengerikan jika tidak mau bebenah sejak sekarang. Mau dibwa ke mana anak-anak generasi mendatang dengan otak hanya berisi hafalan yang tidak berkaitan langsung dengan hidup di dunia ini.

Jangan salah sangka dan mengatakan melecehkan agama. Sama sekali tidak, ada ranah, ada kapasitas, dan ada waktunya untuk itu. Biarkan sekolah ya untuk membekali dengan kemampuan, ketrampilan, dan pengetahuan ilmu profan yang diminati, jangan mencampuradukan sehingga malah anak menjadi lemah.

Dunia setelah mati, bukan tugas sekolah untuk mengajarkan, mendidikan, dan menerapkannya. Jangan-jangan pengetahuan gurunya tidak tepat, malah membuat sesat bersama-sama. Ini juga masalah.

Politisasi sekolah. Ini pun biasanya agama pula. Lihat beberapa waktu lalu ramai dengan perintah membaca buku dari aliran terlarang. Toh pejabatnya tidak diapa-apakan. Bagaimana pencemaran otak anak sedemikian akut dan dibiarkan saja?

Kepala sekolah, kepala dinas, dan jajaran pendidikan kebanyakan terjaring dari tim sukses pilkada. Tentu sangat mudah menerka ke mana arah yang terjadi dalam pendidikan. Aroma uang dan afiliasi politik sangat mungkin terjadi.

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun