Memaksa mereka pindah tentu tidak elok, namun jika merasakan satu kesamaan gagasan, bukan tidak mungkin mereka yang menyatakan bergabung. Dampak psikologis politis yang cukup besar dan penting di depan publik.
Pengalaman banyak partai numpang lewat, tentu dipahami dengan baik pula bagi Fahri. Dan magnet Ahok ini tidak main-main. Ketika PKS memainkan Rizieq Shihab, bahkan memaksa Jokowi membawanya kembali, jelas Fahri tidak akan memainkan isu yang sama. Pilihan cerdik.
PKS yang menjadi candaan dan bully-an karena pernyataannya yang cukup konyol itu langsung disambar dukungan Fahri untuk Ahok. Apakah ini sebatas kebetulan? Tidak juga. Pasti sudah diperhitungkan dengan masak-masak.
Lihat saja sentimen positif malah mengalir pada Fahri dan bukan pada PKS. Ia tahu peta  politik ke mana angin membawa, bukan asal dukung saja. Ini yang gagal dilihat elit PKS, dan cerdik dimainkan oleh Fahri.
Apakah ia setuju Ahok dan lupa yang pernah mereka lakukan? Jelas tidak dan ia masih ingat, ini soal momentum, jangan sampai lepas. Pilihan cerdik dan penuh perhitungan. Di mana kawan dan di mana lawan mau bergerak.
Pergerakan politik dinamis ini yang perlu dilihat oleh petinggi Gelora, sangat tidak mudah menggoyang kekuatan partai-partai lama. Ia jelas tidak bisa memainkan isu agama yang sudah menjadi pakem PKS.
Susah juga bicara antikorupsi, ketika dulu ia garang terhadap KPK. Dan itu tidak mudah diubah dengan segera. Cerdik memainkan dukungan pada Ahok. Ia pun bermain aman dengan dukungannya yang sangat normatif.
Gelora tentu berbeda dengan Idaman, mereka para pelaku politik asli, bukan abal-abal seperti Rhoma Irama. Benar RI adalah jago bermusik, bukan berpolitik. Pengurus Gelora jauh lebih cerdik di dalam membaca kepentingan politik, dan itu tinggal memainkannya dan menjadi dukungan.
Menunggu kiprah Gelora ke depan, apakah bisa melampaui PT atau seperti partai-partai baru, yang hanya seumur jagung itu. Layak ditunggu.
Terima kasih dan salam