Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Cadar dan Cingkrang, Pentingnya bagi Menteri Agama

1 November 2019   12:32 Diperbarui: 1 November 2019   12:35 699
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Cukup menarik gebrakan Menteri Agama ini, bagaimana tidak ketika belum sebulan sudah membuat gerakan kuat, signifikan, dan membuat kalang kabut pihak yang selama ini di atas angin dan bisa mendiktekan narasi yang ada. Mau logis atau tidak bukan pertimbangan penting, yang utama bisa melemahkan pihak yang menjadi hambatan atau potensial menjadi halangan.

Dalam sebuah pemberitaan, Menag mnegur pejabat BUMN yang mengenakan celana cingkrang, tidak mau hormat bendera dan menyanyikan lagi kebangsaan. Langsung saja terkena teguran keras dan kalau tidak mau ikut aturan silakan keluar. Sama juga dengan cadar yang dikenakan.

Keuntungan Menteri Agama Fahrul Rozi adalah seorang jenderal sekaligus pemuka agama. Bayangkan jika ia bukan jenderal. Misalnya saja Imam Besar Masjid Istiqlal yang menjadi Menag, apa tidak kasihan, kyai halus begitu harus dimaki-maki para penganut paham yang terkena dampak. Atau bayangkan saja menteri itu bukan jenderal, pasti akan takut menyelesaikan cara berpakaian ini saja.

Lha emang penting hanya cara berpakaian dan penampilan saja?

Ingat, bangsa ini masih suka dan bangga pada label. Lihat koruptor yang tiba-tiba agamis, dengan baju dan kata-kata menyitir kata suci langsung menuai simpati.

Pun, artis yang sedang menuai masalah, paling gampang tiba-tiba tampil dengan pakaian khas keagamaan dan dukungan mengalir. Padahal sama sekali juga tidak menyentuh esensi kemanusiaan dan keimanannya. Yang penting penampilan.

Jauh lebih miris jika itu sebentuk simbol pemisahan, sparasi, dan pengotakan antara yang religius, agamis, dengan yang sekuler atau bahkan kafir, di kantor dan bahkan sekolah. Ini jelas lebih berbahaya, dan itu sangat mungkin. Gambaran perusahaan atau BUMN itu adalah sudah  hijrah, dan itu kafir hanya karena pakaian.

Lebih miris adalah ketika sekolah pun sudah demikian. Identitas sangat personal agama namun menjadi    konsumsi publik karena pakaian. Jika hanya  tahu agama tanpa dampak masih bisa ditoleransi. Lha ketika dengan pakaian kemudian merembet  pada sikap, penilaian, dan malah juga perselisihan antara murid dengan guru, murid dengan murid, apalagi jika guru dengan guru, atau tenaga kependidikan lainnya.

Sangat mungkin obyektivitas penilaian sangat terpengaruh dengan cara berpakaian, dan itu jarang diekspose karena enggan, malas, takut, atau dianggap toh tidak penting juga.  Bukan tidak mungkin ada sikap yang demikian. Kan menakutkan bagi kehidupan berbangsa.

Mirisnya adalah, perilaku ugal-ugalan dalam banyak hal tidak berdampak linier. Bicara, cara berpakaian, dan cara bertutur kata, pilihan kalimat selalu dikaitkan dengan agama, ayat suci bahkan, atau bahasa khusus keagamaan, namun korupsi masih merajalela. Bolehlah ketika soal korupsi bukan memandang agama atau label lainnya.

Minimal lebih disiplin, perilaku lebih baik, lha bicara surga tetapi datang terlambat, malas-malasan, masih memaksakan kehendak. Coba bayangkan saja jika kinerja bagus, prestasi luar biasa, mau cingkrang, mau cadar, nampaknya tidak akan menjadi masalah dan orang jadi enggan, lha tidak ada yang salah dengan penampilannya kog.

Mengupa diusik adalah apa yang dijalankan itu tidak sesuai dengan tugasnya. Bagaimana tidak, ketika BUMN banyak merugi, namun aktifitas yang tidak menyangkut secara mendasar teknis BUMN lebih masif dan banyak. Kan aneh, produktifitas, efisiensi, dan hasilnya tidak menjadi lebih baik.

Syukur lagi adalah Menteri Agama itu jenderal, berbeda pendekatan jika itu ulama dan pemuka agama saja.

Mengapa? Karena pola pendekatan yang berbeda. Pemuka agama akan cenderung positif thingking. Pendekatan jenderal adalah keamanan, mana yang berpotensi memperlemah. Apapun alasannya kalau membuat keadaan lemah sepanjang tidak melanggar UU dan perintah agama akan diselesaikan.

Dasar politik juga tidak cukup dominan. Pada ujungnya kalau orang politik itu keterpilihan dan ketenaran menjadi yang utama. Nah ketika bukan orang politik, bisa melakukan apa yang seharusnya dan sebenarnya. Ini menjadi penting dan menjadi pembeda. Apa yang seharusnya dilakukan, meskipun tidak populer tetap dilakukan. Tidak memiliki beban untuk bertahan.

Manipulator agama. Istilah yang pas juga, karena ini bukan soal agama sejatinya. Soal ideologi politis. Jika bicara agama tentu akan menciptakan kebaikan, kedamaian, dan kerukunan. Nyatanya sebaliknya.

Agama menjadi kedok, berlindung, dan bernaung dengan aman.

Apalagi ketika ada upaya yang menggoyang, orang sudah ketakutan dicap menista agama, menodai agama, memusuhi agama. Dan ketika ada yang tidak terbebani itu merombak pemahaman agar menjadi lebih baik, semua bisa dikembalikan pada rel  yang semestinya.

Agama jelas baik, namun belum tentu orang dengan keinginannya bukan? Dan itu sangat mungkin dikamuflasekan, ketika gaya berbangsa masih munafik dan mendua. Mau seperti apa, jika lebih dominan mencari aman, menjual agama, labeling demi kedudukan, jelas bukan ajaran agama, itu upaya pemanfaatan agama.

Bagusnya lagi ormas-ormas terbesar mendukung dan mengatakan itu bukan agama, atau perintah agama, hanya sebentuk cara beragama, yang tidak melanggar agama jika diluruskan sekalipun. Saatnya bebenah menuju Indonesia maju. Pembiaran sekian lama saatnya dihentikan dan kembali kepada jati diri bangsa.

Terima kasih dan salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun