Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

[Bukan Satire] Somad Benar, Mengapa Sewot?

23 Agustus 2019   09:54 Diperbarui: 23 Agustus 2019   10:16 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Somad Benar, Mengapa Sewot, Bukan Satire

Maaf bagi rekan-rekan yang sudah bosan tema ini, saya juga enggan, tapi ada satu hal yang teringat dan itu cukup menarik. Kemarin, dalam media percakapan ada yang membagikan bahwa frater, calon imam Gereja Katolik kini bergeser pemahamannya, dari option for the poor ke option for the opor. 

Keprihatinan dan pilihan pada yang miskin itu bergeser ke pengetahuan dan kemampuannya mereka melihat dan menemukan tempat makan yang enak. Cukup menarik, konon ditulis oleh eksseminaris, jeblinger, kaum yang keluar dari seminari atau biara dan tidak jadi imam. Ia mengatakan, bukan bangga dan menoleh masa lalu, namun bagaimana ke depan Gereja itu berdampak.

Jadi ingat beberapa kisah, asli saya ikut terlibat di dalamnya, tahu sebagai pengalaman sendiri, atau paling jauh orang ketiga, yang diberi cerita.

Pertama, neng ndeso cumak buroh derep, merga nggago kudhung juk kemayu, kalau di desa hanya menjadi buruh panen padi, karena berkerudung, konteks suster, tidak usah baper dan mengaitkan dengan kudung yang lain, begaya. 

Dikatakan seorang karyawan pada suster kepala, dan kemungkinan orang itu dengar meskipun sekilas.  Keberadaan kami bertiga tidak ada satu meter, sangat dekat, saya dengar, dan yang menjadi sasaran paling juga dengar paling sekilas.

Fakta kan makanya dia diam, dia menyambung begitu sambil lalu. Beberapa hari kemudian orang tersebut bercerita, ternyata dia sering dimintai membuat nota ganda. Pantes saja, kartunya kepegang,

Kedua, kakak mau jadi suster? Tanya rekan saya pada anaknya, enggak, suster kayak jurik begitu. Kisah rekan saya yang sangat respek pada suster dan kolega, namun anaknya melabeli jurik. Mengapa? Karena pengalaman si  anak menyaksikan suster yang menampakan wajah uang. 

Di mana-mana menagih uang sekolah. Kamu sudah bayar belum. Atau ketuk pintu kelas dan mengumumkan untuk  membayar, padahal anak sedang belajar serius.  

Ketiga, dulu waktu kecil mau jadi frater, mengapa gak jadi? Tanya seorang imam pada pemuda. Moh, gak mau, sangat singkat. Berselang hari ibu pemuda itu yang ditanya si pastor. Ternyata pas jadi misdinar si anak melihat ada frater berciuman di ruang tamu biara. Itu yang membuat si anak enggan jadi frater.

Keempat, di sebuah rumah sakit, karyawan dan pasien kaget ketika menyaksikan suster pengelola rumah sakit itu bertengkar hebat karena keuangan. Di muka publik, bagaimana tidak kaget bukan yang bisamelihat label bagus, dipaparkan dengan gamblang aslinya.

Kelima, Mas, rama itu sering ke rumah tetanggaku, yang kaya banget itu, kata teman. Dia juga Katolik dan sama sekali belum pernah dikunjungi si rama. Apakah ini iri? Bukan, hanya cara bergaul dan berelasi yang disoal oleh rekan itu.

Apa yang dinyatakan Abdul Somad benar kog dalam konteks ini. Salib dalam arti di atas, ketika elit PKS mengatakan toh UAS tidak menyebut nama, jadi benar banget apa yang ada. Memang salib orang Kristiani itu isinya jin. Lihat kisah-kisah di atas. Jika itu adalah salib Yesus, tampilannya tidak demikian.

Mengapa harus sewot, marah, meradang, merasa terhujat, ternista, dan terhina, apakah perilaku sendiri, terutama elit Gereja sudah sebagaimana mestinya? Ini jauh lebih penting, jangan sampai merasa terhina, padahal juga melakukan penghinaan jauh lebih buruk lagi.

Mahatma Gandi pernah mengatakan, beri satu saja teladan orang di muka bumi seperti Yesus, saya jadi Kristen. Artinya kesaksian iman di dunia ini tidak ada yang bisa mendekati Yesus oleh penilaian Gandhi dan itu benar.

Hal ini juga hendak menjawab komentar beberapa hari  lalu yang mengatakan apa harus menyembah kaki orang Kristen dan orang Kristen itu paling mulia, tidak itu dalam artikel yang saya maksudkan, bahwa orang Kristen memiliki kecenderungan untuk berefleksi, memeriksa batin, dan menjadikan bahan celaan itu sebagai kritikan yang membangun dan membangunkan.

Orang toh selama ini memiliki salib, besar, mewah, bahkan mahal. Apakah sudah menjadikan mereka orang Kristen yang baik dan berkualitas? Di sinilah yang menjadi penilaian pribadi dan publik. 

Orang bisa menjadi Kristen yang sejati, bukan hanya posting kata-kata kesalehan atau gambar suci semata, namun juga menghayati salib dalam hidup sehari-hari.

Salib itu sejatinya adalah kehinaan, penghinaan paling parah, sehingga orang trauma. Menjadi mahal, mewah, dan seolah kebanggaan, namun jika jiwanya tidak memiliki roh dari salib untuk apa?

Tugas manusia di dunia ini sederhana, memulaikan Allah Pencipta, dengan mengasihi-Nya dan mengasihi sesama. Nah ketika orang Kristen abai akan kasihnya pada Tuhan dan sesama, apa fungsinya ia diciptakan bukan? Tuhan tidak akan lebih mulai dengan pujian manusia, sama juga Tuhan akan turun kemuliaan-Nya kalau orang menista-Nya kog.

Keteladanan menjadi perwujudan Allah di tengah dunia, dan itulah yang manusia belum bisa sepenuhnya melakukan. Di sinilah peran kemanusiaan menjadi sentral di dalam menghadapi berbagai perbedaan. Menemukan jembatan pemersatu bukan mempertebal tembok pemisah.

Terima kasih dan salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun