Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Mengafal Singkatan yang Gagal Capres 02 di Hadapan "Dosen" Jokowi

19 Februari 2019   07:49 Diperbarui: 19 Februari 2019   08:01 3125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Membaca dinamika debat presiden kemarin, malah jadi ingat belasan tahun lalu kala menjadi mahasiswa. Karena sebagian besar ujian akhir semester itu lisan, beberapa kawan dari kampus lain atau pindahan dari kota lain tegang. Ada pintu yang harusnya ditarik malah didorong, mau ngakak takut kualat. Atau ada pena dosen yang sebenarnya untuk mengisi daftar hadir malah dibawa pulang.

Kelucuan yang tercipta karena tegang, takut salah, dan juga takut tidak lulus sebenarnya. namanya juga mahasiswa. Maha sekalipun tetap saja masih berkutat dengan hal yang manusiawi. Takut. Bagaimana tidak takut ada dosen yang full ngakak kalau di kelas, di ruang ujian full serem. Ada pula yang dull nggapleki pada di ruang ujian. Dikerjain habis-habisan kalau kelamaan menjawab atau salah.

Nah kemarin jauh sebelum debat itu ada dua hal cukup menarik yang disajikan BPN. Satu, soal Jokowi yang ngeper karena tiadanya kisi-kisi. Aneh dan ajaib juga perang urat syarafnya ini. kubu mereka itu sama sekali tidak memiliki bekal dan modal untuk banyak omong. Posisi Jokowi yang berpengalaman bertahun-tahun dalam birokrasi, tentu sedikit banyak akan membantunya, paling tidak jauh lebih menguasai seluk beluk  apa yang dilakukan.

Dua, BPN melakuan pembelajaran bagi capres mereka untuk menghafal singkatan-singkatan. Tentu bukan barang mudah, jika itu baru dan berbagai macam latar belakang. Pengalaman 2014 dengan TPID yang tidak mampu dijawab dengan baik, kali ini mau diantisipasi. Apa daya yang keluar bukan singkatan lagi, tetapi istilah yang sejatinya sangat hangat, karena baru saja ada kehebohan.

Dua hal itu adalah soal pradebat dan debatnya. Lucu dan anehnya usai debat lagi-lagi tim sibuk dengan klarifikasi dan pembelaan ke mana-mana. Lagi-lagi keanehan dengan pembelaan soal penguasaan atau kepemilikan tanah. Terserah saja BPN mau omong apa, yang jelas capres mereka toh sudah mengakui.

Tudingan soal penggunaan alat bantu untuk Jokowi yang mulai viral di media sosial. Sudah menggeliat juga nanti cawapres KHMA akan menggunakan sarung, sorban, dan pecinya sebagai alat bantu dalam debat. Kelucuan atau kebodohan sebenarnya?  Malah seperti sinetron saja, sangat tidak masuk akan demi iklan dilakukan.

Jokowi menjebak dengan pertanyaan soal unicorn. Satu menuding bahasa Inggris Jokowi buruk, ada yang menuduh menjebak seperti TPID.  Apa iya demikian? Itu jelas  omong kosong dan menggelikan. Kan bisa saja capresnya juga menggunakan isilah teknis kemiliteran misalnya, belum tentu Jokowi paham dengan baik. Apa itu menjebak? Jelas bukan. Eh ingat presiden dan capres itu bukan Tuhan yang semua akan tahu. Ada juga ajudan, menteri, dirjen, dan seluruh perangkatnya yang akan memberitahukan apa yang sedang terjadi.

Melihat beberapa hal di atas. Bisa dilihat dan dicermai pola kerja ugal-ugalan dan amatiran ala BPN dan tim serta koalisi ini.

Pertama, jelas mereka hanya fokus pada pilpres, kinerja lima tahunan. Indikasi menghafal sebelum debat kedua membuktikan itu. Coba bayangkan jika selama hampir lima tahun itu belajar banyak mengenai pemerintahan. Tentu tidak akan malu dan terjebak dengan pertanyaan sepele dan remeh, yang kemudian malah menuding pihak lain sebagai menjebak. Kebodohan sendiri jangan dijadikan pembenar untuk menuding pihak lain berbuat tidak adil atau jahat.

Kedua, coba jika sebelum debat itu belajar, menguasai materi dengan baik, dan bukan malah menebar isu-isu yang tidak berguna seperti itu. Ingat ini era media. Semua orang leluasa mengakses, tahu dengan baik kejadian apapun itu. hiruk pikuk tidak berguna yang malah merugikan sendiri, kemudian mau ditimpakan pihak lain.

Ketiga, menunjukkan pola reaktif. Ini  berbahaya bagi sebuah negara jika dipimpin orang-orang seperti ini. Dua paling tidak indikasi tersebut. Soal hapalan singkatan, itu kan reaksi atas lima tahun lalu. Dan kedua soal tudingan Jokowi curang dan menjebak. Namanya debat itu adu argumen, usai panggung debat selesai.  Baru ada capres kog meributkan debat di luar panggung. Kalah dengan anak SMP saja.

Keempat, keberanian mengaku tidak tahu atas hal yang memang tidak dipahami memang salah? Tidak lah. Namanya manusia, mau presiden atau calon presiden, ada juga keterbatasan. Mau smartphone secerdas apapun itu toh bisa rusak kan, dan ada yang tidak bisa dilakukan. Dari pada ngeles tuding sana tuduh sini, katakan saja memang tidak tahu. Sekali lagi, coba Jokowi ditanyakan satu saja singkatan teknis di dalam dunia militer, sangat mungkin juga tidak tahu.

Kelima, pembelajaran yang sangat baik, menjadi "oposisi" bermartabat itu sejatinya bisa dilakukan dengan belajar banyak hal dalam pemerintahan. Jangan ketika tidak tahu apa-apa malah menuduh pihak lain sebagai pelaku ketidakadilan. Coba jika benar atau pada posisi sebaliknya?

Keenam, BPN perlu mengganti seluruh timnya, mumpung masih ada waktu. Apa yang ada selama ini hanya pembenci Jokowi bukan pendukung dan pengusung capres mereka. Ini sangat merugikan. Ribut riuh rendah di luar panggung. Padahal di atas ring calon mereka kalah telak.

Ketujuh, capres kog mirip mahasiswa SKS, sistem kebut semalam. Buat apa engamati hampir lima tahun, kalah telak di debat. Ini jelas kesalahan mutlak di dalam berpolitik. Mana bisa meyakinkan pemilih jika hanya selalu menuding pihak lain sebagai pelaku kecurangan, padahal mereka tidak melakukan apa-apa.

Kedelapan, sikap kedewasaan jauh dari kubu mereka. Jauh dari sifat bijak, malah cenderung kekanak-kanakan. Tidak mengakui kekurangan namun menyalahkan pihak lain yang menguasai keadaan. Bagaimana model demikian bisa menjadi pemimpin negeri ini bisa dapat lebih baik ke depannya.

Kesembilan, sikap reaktif dan model meradang dan merajuk seperti ini apa iya layak menjadi seorang pemimpin negara besar yang memiliki problem yang juga komplek. Marah setiap menghadapi persoalan ya berabe jika memimpin negara.

Kesepuluh, berarti yang dulu pradebat pertama gembar-gembor Jokowi takut debat kini terbukti siapa yang belepotan dan malah kacau di panggung dan luar panggung. Sudah basi trik yang dilakukan.

Apa yang ditampilkan dalam debat ini, jelas memberikan tampilan yang kontras. Di balik klaim dan perdebatan di luar panggung itu bukan lagi yang utama. Debat di panggung dengan hasil yang banyak pemilih melihat, tahu, dan paham mana yang layak memimpin atau hanya banyak bicara namun miskin esensi dan prestasi.

Perlu kedewasaan untuk mengapresiasi rival yang telah melakukan kinerja dengan apapun hasilnya. Sikap respek pada lawan ini ternyata masih jauh dari harapan. Tim sukses yang merusak tampilan normatif yang ada di atas panggung malah bisa dituding semakin hanya sebagai tayangan formalitas. Pelukan, salaman, dan saling dukung itu juga seharusnya sampai di luar panggung.

Apa iya, demokrasi kita hanya seperti ini terus? Hanya mengandalkan kebohongan dan menuding pihak lain bohong.  Rakyat makin cerdas, ikutlah cerdas, bukan malah membuat rakyat yang pintar ikut bodoh seperti pola pikir kalian.

Pilihan jelas tidak akan berpaling, tetap Jokowi. Mengapa memilih pemimpin tidak ksatria.

Terima kasih dan salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun