Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kebangkitan Nasional, Reformasi, dan Hari-hari Ini

20 Mei 2018   07:23 Diperbarui: 20 Mei 2018   08:54 1299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto: materiku86.blogspot.co.id

Kebangkitan  Nasional satu yang mendasar untuk diingat adalah mengenai kepemimpinan tentu pada zamannya. Reformasi juga soal kepemimpinan dan keadaan yang hendak diperbaiki. Hari ini sikap untuk taat akan konsensus yang demikian lemah, sehingga pembangunan menjadi lemah bagi rakyat. Elit hanya berkutat bagaimana mempertahankan kursi dan sisi sebelah mengintai untuk menjungkalkan pengusa untuk mendapatkan kursi. Semrawut, bukan demokrasi.

Boedi Oetomo lahir, anak zaman melihat bagaimana kegagalan demi kegagalan dalam memperjuangkan kemerdekaan itu karena kepempinan, kultus individu, bagaimana begitu pemimpin itu ditebas, atau diasingkan penjajah. Punah juga perjuangan, semangat langsung padam, dan tidak ada kisah berlanjut. Muncul lagi tokoh kharismatis, didengarkan, dan ratu adil datang, kembali, bedil Belanda membuat nyali ciut. Berulang. Organisasi sebagai tawaran, sistem, bukan lagi pribadi yang penting.

Pemimpin ditangkap atau dibunuh, masih ada kader-kader lain untuk menggantikan. Sosok atau pemimpin penting, namun ada yang jauh lebih penting  yaitu sistem atau organisasi. Pemimpin tidak ada, organisasi bisa bergerak. Pemimpin bukan segalanya, ia sebatas organisator, fasilitator.

Reformasi. Anak zaman melihat pemerintahan Orde Baru jauh menyimpang dari rencana berbangsa ini. nepotisme begitu masif, mau masuk pegawai negeri atau karyawan BUMN artinya uang dan koneksi. Menjamurlah suap dan korupsi, dan bergeraklah gelombang reformasi yang hendak menghilangkan demokrasi abal-abal dengan "raja" yang menentukan kemenangan pemilu sekalipun. Orde Baru itu kerajaan dipoles dengan tiga parpl yang dibentuk sendiri, dewan pun dibangun si raja di raja.

Hari ini. Ternyata malah jauh mundur dari sejarah 1908. Capaian 110 tahun itu porak poranda karena malah kini lahir kultus-kultus baru. Organisasi yang ada pun kembali menjadi milik para elit, orang luar susah untuk masuk, jika bukan karena kehendak "raja-raja" baru ini.

Apa yang menjadi perjuangan Boedi Oetomo dengan kepemimpinan bukan semata pemimpin ternyata kembali mentah. Orang lebih berteriak Prabowo atau Jokowi. Menyebut dua nama itu dengan nada kurang baik sediit bisa menjadi bencana luar biasa. Dulu kawan karena tidak membaca dengan utuh bisa menjadi musuh. Lho apa beda zaman ini dengan masa Diponegoro, era Sultan Agung jika pemimpin itu begitu tidak tersentuh, ingat ini soal kelompok pendukung yang lebay dan berlebihan.

Atas demokrasi orang bisa semau-maunya. Kebebasan berekspresi itu bukan bebas tanpa batas. Kebebasan tanpa batas tidak ada sepanjang di dunia. Dan ini nampaknya diabaikan oleh banyak pihak. Mencela demokrasi namun kalau terdesak berkedok dan berlindung di balik demokrasi. Cita-cita BO dan reformasi menjadi salah kaprah. Demokrasi masih sebatas nama dan label,  bukan esensi yang diperjuangkan.

Orang kini lebih berteriak soal label dan kesamaan baju, kotak-kotak, atau putih, pelangi atau pink, meskipun yang putih hatinya kotak-kotak, atau sebaliknya. Ribut pada tararan ranah yang sangat dangkal. Buat apa adanya BO dan reformasi jika malah balik seperti ini.

Dulu, toleransi itu terjadi. Bukan di atas kertas atau seminar, dialog, atau ceramah. Namun benar-benar menjadi gaya hidup. Becanda soal agama dan suku bukan menjadi pemicu perkelahian, namun mencipta kehangatan. Sekarang, salah sebut bisa menjadi bencana lokal, bahkan kadang regional pun bisa terjadi.

Nepotisme yang era "kerajaan" Orde Baru pada tataran tertentu, kini pun tidak jauh berbeda. Bagaimana mau menjadi presiden, kepala daerah, atau menjadi pejabat harus dekat dengan partai politik, atau elit partai politik. Coba buat apa ada reformasi berdarah-darah jika tidak ada perubahan signifikan. Malah saling caci menjadi gaya hidup.

Prestasi belum menjadi sebentuk capaian yang akan  memberikan hamparan harapan lebih luas. Labeling dan dikotomi yang makin parah membuat perjuangan BO dan reformasi malah mundur ke belakang.  Upaya memang ada, namun kalah dan mental oleh  mental para bandit demokrasi yang enggan berbagi. "Kerajaan" Orab tumbang namun perilaku elit yang memiliki kekuasaan itu setali tiga uang ternyata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun