Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dunia Pendidikan, Mendidik Tahu Banyak Saja Tidak Cukup

25 Februari 2018   05:20 Diperbarui: 25 Februari 2018   05:59 729
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dunia pendidikan, mendidik tahu banyak saja tidak cukup, membaca salah satu kiriman di grup WAdari Kompasianer Wang Eddy mengenai pendidikan, membuat miris bahwa kenyataan faktual dalam pendidikan bangsa ini adalah sebatas tahu (knowing)bukan untuk mendidik menjadi (being).Sekolah bangsa ini memang kaya akan pengetahuan, 40 jam per minggu, bayangkan. Tidak heran ketika juga banyak ujian, namun miskin aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari.

Apa yang terjadi dengan prioritas pendidikan banyak tahuini?Beban pendidikan yang tinggi membuat anak didik juga pendidik stres. Jangan kaget kekerasan demi kekerasan terus timbul dalam dunia pendidikan. Baik guru atau murid sebagai pelaku atau korban. Esensi pendidikan seharusnya adalah menyenangkan dan membebaskan bukan malah mengekang dan membuat tertekan. 

Beban yang luar biasa tinggi bagi pelaku pendidikan ini masih ditingkahi politikus sok tahu pendidikan yang merusak makin parah dunia pendidikan nasional. Mirisnya para pelaku, termasuk murid sudah paham bahwa banyak hal yang dipelajari itu tidak berguna secara langsung di dalam kehidupan nyata.

Orientasi pada sertifikat, ijazah, dan gelar. Menjadi sebentuk gaya hidup ketika kelulusan 100% masalah curang atau bukan tidak menjadi perhatian. Elit dan pejabat berderet-deret gelar, padahal kapan kuliahnya dan kemampuannya pun bisa dinalar. UN dulu menjadi momok dan begitu menakutkan karena perjalanan panjang sekolah bisa habis hanya dalam tidak lebih dari 15 jam ujian. Buat apa proses panjang sekolah kalau bisa tidak lulus yang dihitung dan diuji dalam beberapa jam itu?

Tahu, menjadi fokus semata pengetahuan, hapal, dan bla..bla...sema paham, dalam kiriman itu dicontohkna bahwa tahu tempat sampah, tahu zebra cross,namun semua diabaikan begitu saja, semua dianggap angin lalu. Aplikasi dari pendidikan tidak ada. Ujian dan pendidikan semata pengetahuan, tahu, bisa menghapal dan menyatakan lagi, mengenai apakah pengetahuan itu dipraktekan dan menjadi rambu-rambu dalam hidup sehari-hari, jelas tidak.

Orang tua menjadi bangga jika anaknya pinter calistung, membaca, menulis, dan berhitung ketika masih sangat belia. Kini ada banner pendidikan usia 0-1 tahun. Hebat  bener ini model pendidikan, sebenarnya penitipan anak namun dikemas dengan nama pendidikan nampaknya (asumsi pribadi). Miris anak diajari bahkan dipaksa yang masih belum saatnya untuk itu. Sangat wajar jika ada video anak kecil sudah bisa ngeles,menyalahkan otaknya ketika ia dimarahi orang tuanya mengapa main. (video ini bisa diulas lain, namun di sini, mengapa anak kecil sudah bisa berdalih demikian?).

Anak peserta didik, banyak pengetahuan, kekerasan itu buruk, namun tidak berdaya ketika ia sendiri menjadi korban dan kemudian menjadi pelaku atas kekerasan itu. Toh mereka tidak pernah dididik untuk mengaji mengapa kekerasan itu terjadi dan apa akibatnya, yang ada adalah definisi kekerasan itu apa. Pun  banyak pengetahuan lain yang tidak jauh berbeda, mereka tahu namun tidak paham untuk apa definisi yang dihapalkan itu.

Tujuan pendidikan nasional tentu baik adanya. Ranah ideal yang ingin dicapai oleh negara. Namun di dalam pelaksanaannya tentu sangat mudah terkontaminasi kepentingan. Beberapa hal yang turut merusak pendidikan adalah;

Politik. Ini iblis paling merusak dalam dunia pendidikan. Berbagai kontaminan politik ini terjadi. Ada yang berupa kelulusan yang dipaksakan karena agar mendapat reward dari atasan atas kelulusan dalam bentuk rupiah atau penghargaan. Akhirnya anak-anak  pasti lulus entah bagaimana caranya. Termasuk penerapan kurikulum yang hanya berdasar atas proyek bukan kajian mendalam. Termasuk di dalamnya adalah sertifikasi guru yang ternyata belum banyak membawa perubahan dalam kualitas pendidikan, selain gaya hidup guru-guru yang sudah bersertifikat.

Ekonomi, sekolah sebagai bisnis, padahal lahan tidak memadai, tenaga kependidikan digaji dengan tidak layak, atau model lain dengan sekolah mahal namun murid adalah aset dan guru adalah "pegawai" dari peserta didik. Pengajaran yang diutamakan, pendidikan tidak serta merta demikian. Anak bandel karena pembayar uang sekolah tertinggi, jangan harap guru bisa menegur, apalagi menghukum. Mengapa demikian? Sekolah dididirikan demi mendapatkan uang. Dan di mana-mana gejala itu ada dan menguat.

Gonta ganti kebijakan dan kurikulum namun abai akan esensi. Sangat santer terdengar ganti menteri ganti kebijakan ganti buku. Hal yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan pendidikan ketika kurikulum, buku, dan kebijakan itu hanya berorientasi akan uang, proyek, dan popularitas penguasa saat itu. Hal yang sangat tidak perlu di dalam dunia pendidikan sebenarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun