Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Keterangan Sehat dan Keberadaannya: Belajar dari Kasus Setya Novanto dan Capraja Meninggal

2 Oktober 2017   06:37 Diperbarui: 2 Oktober 2017   08:41 2583
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Keterangan Sehat dan Keberadaannya: Belajar dari Kasus Setya Novanto dan Capraja Meninggal

Berkaitan dengan dua peristiwa aktual yang terjadi, satu masalah Setya Novanto dan juga kasus korupsi ataupun kasus hukum dengan dalih sakit, kedua kisah calon praja STPDN yang meninggal tiba-tiba di Akpol. Menarik karena dua hal yang sangat krusial namun masih sering seolah sebatas formalitas, dan bisa menghasilkan hal yang berbeda satu dengan lainnya.

Kisah panjang kasus hukum sering mentok jika berkaitan dengan kesehatan. Gegap gempita reformasi yang memiliki harapan untuk mengusut almarhum Pak Harto juga terkendala kesehatan. Sangat bisa dimaklumi dengan melihat usia dan jasa Pak Harto yang demikian panjang, namun kini yang masih muda belia pun bisa sakit mendadak. Tentu masih ingat bagaimana katanya nazar dulu sakit dan membungkuk ketika dicari-cari, dan trik yang sama dipakai terus. Tidak hanya sekali dua kalau kisah koruptor mendadak sakit dan susha juga untuk percaya kalau mereka benar-benar sakit. Apalagu terbaru, Setya Novanto yang hanya ngantukan tiba-tiba jantungan dan kawan-kawan para penyakit membuat Setnov terbaring di rumah sakit. Makin mengherankan kalau tiba-tiba ia mampu ngantor usai tuntutan praperadilannya sudah diketok dan status tersangkanya gugur. Usai mendadak sakit juga mendadak sembuh.

Mendadak sakit sebenarnya peristiwa yang tidak berbeda dengan mendadak meninggal kepala daerah atau pejabat lainnya. Bagaimana test kesehatan belum lama namun kepala daerah itu meninggal mendadak karena jantung, struk, dan atau calon yang gagal menjadi depresi dan gila. Bagaimana pertanggungjawaban yang merekomendasikan sehat dulu? Coba berapa kerugian negara yang harus ditanggung dengan model surat yang terkesan "formalitas" seperti ini. Memang sering test untuk memberi keterangan sehat hanya berkisar tinggi badan, berat badan, dan tensi. Kalau itu jelas dengan mata telanjang saja sudah tampak. Mengapa harus surat keterangan dari rumah sakit atau puskesmas? Toh hasilnya tidak banyak bedanya.

Salah satu calon praja STPN yang sedang melakukan pendidikan dasar di Akpol meninggal mendadak, bahkan gubernur Akpol mengatakan bahwa capraja ini sehat, catatan tensi cenderung tinggi dan ada asma. Tentu keprihatinan dan  duka bagi keluarga mendalam. Apa itu cukup?

Kode etik yang masih belum dihayati sepenuhnya. Bagaimana budaya timur ewuh pakewuh,sungkan karena kenal, kerabat, atau anak kolega, akhirnya dibuatlah surat sehat. Padahal tidak demikian keadaannya. Akhirnya malah menjadi formalitas semata. Padahal sangat penting dan mendasar soal kesehatan.  Awalnya bukan masalah melanggar etik, namun karena tidak enak mengatakan yang sebenarnya.

Budaya formalitas. Selama ini sering menjadi masalah berkepanjangan karena kebiasaan formalitas demikian. Pemeriksa tahu dengan baik kalau ada yang tidak beres namun tahu sama tahu dan ditulislah sehat. Padahal tidak mesti demikian. Termasuk dalam hal ini bukan soal surat sehat namun juga surat lain-lainnya.

Peran penting keterangan sehat. Benar kalau mati dan sakit orang itu tergantung Tuhan. Manusia tidak ada yang tahu, namun namanya prediksi, kemungkinan, dan kemungkinan-kemungkinan apa yang bisa terjadi.Kalau ada yang mengatakan itu hak Tuhan, ya sudah tidak perlu ada syarat sehat dan keterangan sehat sekalian, kan sama saja. Jika ada yang mengatakan demikian, itu asal, dan hanya mau menghindarkan tanggung jawab. Memfitah Tuhan dan menyalahkan Tuhan atas kesalahan dan sikap lepas tanggung jawab. Jantung dengan segala kelainannya, diabetes dengan seluruh indikasinya, hepatitis dengan seluk beluknya bisa diketahui dan itu sangat berpengaruh pada kinerja. Apalagi jika penyakit yang jauh lebih gawat seperti HIV-AIDS atau penyakit menular seksual, apa tidak jauh lebih memalukan lagi jika pimpinan daerah meninggal karena PMS?

Pertanggungjawaban moral  masih belum menjadi petimbangan. Apalagi jika sampai mendapatkan tuntutan pidana atas sikap abai pemberian keterangan sehat atau sakit namun kenyataannya sebaliknya. Coba berapa banyak koruptor atau diduga korupsi mau diperiksa sebagai saksi saja sudah ngacir dan berdalih sakit. Padahal di saat yang sama sedang melakukan kegiatan lain. Toh selama ini tidak pernah ada tuntutan untuk mempertanggungjawabkan. Tentu identik yang menyatakan sehat bagi calon kepala daerah namun tidak lama kemudian meninggal.

Kehendak baik belum menjadi gaya hidup. saling melindungi dan membenarkan kolega sering membuat lingkaran setan berkepanjangan. Bagaimana korps sendiri selalu yang terbaik, pasti benar, dan tidak akan ada kesalahan dan kekeliruan. Padahal yang salah adalah perilaku pribadinya bukan lembaganya. Membedakan hal ini belum menjadi kebiasaan baik bersama.

Kembali ini masalah agama dan pendidikan yang lepas dari perubahan sikap batin. Agama dan pendidikan hanya sebatas pengetahuan kognisi, otak, belum menjadi gaya hidup dan mengubah perilaku. Perilaku orang beragama namun sekaligus mengingkari esensi beragama tanpa merasa bersalah, apalagi menyesal. Paling banyak menuduh pihak lain sebagai pembuat kesalahan.

Salam

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun