Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perilaku Parpol dan Pengurus Olahraga, Sebuah Budaya Instan

24 Maret 2016   05:51 Diperbarui: 24 Maret 2016   07:29 506
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Menjelang PON dan Pilkada akan ada kesibukan luar biasa. Geliat periodisasi, kalau olah raga empat tahunan, pilkada lima tahunan. Gerakan sporadis dan instan. Temporer yang mengalahkan energi lima tahun. Parpol dan pengurus olahraga seperti hibernasi kalau tidak ada even rutin itu.

Pengurus Cabang Olahraga

Cabor yang rutin mengadakan kejuaraan skala nasional sangat jarang, berbeda era Orga lalu. Kejurnas, turnamen, piala, atau apapun sebagai ajang latihan dan mengasah kemampuan. Saat ini paling bola basket, sepak bola, dan bola voli (sepanjang ingatan saya), dan itu lebih ke arah profesional, ada pemain asing dan cenderung bukan pemain stok untuk prestasi model PON dan seterusnya. Bulutangkis yang masih sering menelorkan prestasi satu dua, lumayan memiliki pembinaan yang baik, meskipun sangat terlambat, baik regenerasi ataupun dibandingkan negara lain.

Tujuannya prestasi, namun lemah dalam pembinaan dan kaderisasi. Sistem comot, bajak membajak, dan mengambli pemain jadi dari daerah lain bukan barang baru. Jor-joran bonus dan pekerjaan jadi PNS atau bumn menjadi daya tarik PB atau Pengda dalam mengakali pembinaan. Bakat-bakat alam daerah lain diambil dan dijadikan atlet dengan iming-iming bonus, pekerjaan, dan sejenisnya. Tidak heran PON yang rutin diadakan tidak memberikan kontribusi untuk level ke atas seperti Sea Games, apalagi Asian Games, terlebih Olimpiade. Prestasi dadakan sesaat sebelum PON mana bisa diajak untuk bersaing dengan negara tetangga yang mulai disiplin dalam pembinaan.

Juara dan juara umum sebagai target dan tujuan. Pembinaan adalah sasaran utama, juara itu sebagai bonus, selama ini salah mencapai sasaran tersebut. Selalu saja demi emas, juara, sedangkan caranya tidak dipikirkan. Tidak heran sudah senior, level Asia pun masih main di eve sekelas PON. Pengurus cabor tidak perlu kerja keras jaminan emas.

Pengurus biasanya adalah pelaku usaha, pejabat, atau pekerja lain. Pengurus hanya samben (cari sabetan lain), soal cabor mangkrak, mana peduli. Baik pusat apalagi daerah model demikian ada, tidak heran olahraga kita yang kaya akan potensi ini hanya jadi penonton di antara negera tetangga, malah mulai didekati Laos, Timor Leste, dan ditinggalkan Singapura, Vietnam, apalagi Thailand. Lebih repot lagi kalau pengurus itu juga politikus, sudah, energi terakhir ada untuk olahraga, mau jalan atau mangkrak mana tahu lagi. Paling ngamuk kalau gagal mendapatkan hasil maksimal, yang berarti bonus tidak akan dapat bagian.

Parpol menggunakan cara yang identik dan mirip, baik cara pengaderan, pola kinerja pimpinan atau pengurus, dan orientasinya.  Kursi dan jawara melalaikan proses dalam hal ini kaderisasi.

Parpol dan kursi kekuasaan

Parpol sejatinya memiliki tanggung jawab moral untuk menyiapkan kader-kader terbaik untuk parpol sendiri ataupun jabatan publik. Kursi itu adalah bonus bagi “petugas partai” yang berprestasi. Selama ini yang kita lihat parpol itu seperti spionase yang mencari orang untuk dijual, bukan memiliki aset untuk dijual dan menaikan pamor partai, namun di sini, negara yang masih latihan dan coba-coba dalam berdemokrasi masih mencari orang yang akan diusung untuk menjadi pimpinan daerah atau jabatan publik lainnya. Lebih lucu kadang secara ideologis bertentangan pun bisa bergandengan tangan karena calon yang dimiliki sangat tidak mampu mengimbangi rivalnya.

Apa yang terjadi?

Dasar ideologis sama sekali bukan kesatuan yang membangun sikap, tidak heran akhirnya “petugas partai” sendiri pun dibully. Tidak ada kesamaan ide dan ideologi yang dibangun sejak awal, maka bisa saja ditinggal lari ke kubu seberang yang sama sekali tidak kenal.

Akibat lebih jauh lahirlah kader abal-abal yang hanya mengedepankan kepentingan diri sendiri. Parpol sudah tidak lagi diingat. Tidak ada ikatan batin ideologis yang memang hendak dibangun. Seperti pekerja yang bisa seenaknya pindah, karena memang tidak merasa memiliki.

Keadaan demikian merupakan pekerjaan rumah besar bagi parpol, jangan malah marah dan menuduh bak babi buta. Sadari kekeliruan selama ini dan kejar kesalahan untuk berubah menjadi partai modern. Partai yang tidak mengandalkan kultus individu atau pendiri namun jiwa dari ideologi. Kesamaan visi merupakan roh yang menyatukan. Jika sudah bisa demikian, jangan harap akan ada kader yang lari atau dituduh kacang lupa kulit. Persaingan sehat akan tercipta, bukan mencari kader namun memiliki kader yang kompeten untuk banyak kepentingan tentunya.

Tidak jauh berbeda dengan dunia olah raga. Bagaimana pembinaan akan menghasilkan atlet-atlet handal bahkan hingga tingkat dunia. Tidak perlu bajak membajak sudah melimpah jumlah pemain yang akan mengharumkan nama bangsa dan negara. Tentu kita ingat era ’90-an buluangkis kaya akan pemain kaliber internasional, namun sekarang maju ke final saja girang alang kepalang.

Parpol dan pengurus cabor harus profesional dan bukan bekas pejabat ini itu yang tidak jarang post power syndrom yang malah membebani bukan membantu. Saat berubah dan berbenah bukan saling tuduh dan mencurigai perbaikan oleh pihak lain. Kehendak baik perlu digelorakan daripada kisruh soal tuduh ini itu yang tidak berguna. Menggelorakan semangat bersama-sama demi kebaikan bukan saling meniadakan dan memusuhi.

 

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun