"Jika kau membuka halaman ini. Kau selangkah lebih dekat dengan kekuasaan yang kau impikan. Dan percaya padaku.. di akhir cerita ini, tidak ada pemenang, hanya mereka yang bertahan sedikit lebih lama dari yang lain."
"Siapa yang tidak menginginkan kekuasaan?"
Sejak bangku sekolah, kita dihadapkan pada nama-nama yang diukir abadi: Â Brawijaya. Mulawarman. Balaputra Dewa. Airlangga. Jayabaya. Kertajaya. Tohjaya.
Nama-nama itu seperti monumen. Tapi jika kau kupas lapisannya, mereka bukan sekadar raja atau pemimpin... mereka adalah pemain utama dalam permainan tertua di dunia. Perebutan kekuasaan.
Kita semua, entah mengakuinya atau tidak, pernah memikirkannya. Tapi hanya sedikit yang benar-benar tahu bagaimana cara mendapatkannya. Dan lebih sedikit lagi yang mempertahankannya.
Setiap generasi selalu berbisik pada dirinya sendiri, "Kami berbeda. Kami akan menggunakannya untuk kebaikan." Lucu. Setiap generasi percaya kebohongan yang sama.
Kekuasaan bukan paket yang diantar ke depan pintu rumahmu. Ia harus direbut.
Adolf Hitler dari pelukis miskin di Wina menjadi figur paling ikonik.
Presiden Soeharto dari seorang anak kecil di Dusun Yogyakarta menggantikan Bapak Bangsa.
Muammar Gaddafi kadet militer dari tenda suku Badui menggulingkan seorang raja.
Tak ada yang lahir di kursi singgasana. Bahkan mereka yang lahir dalam istana pun harus merebutnya kembali dari waktu, dari musuh, atau dari rakyatnya sendiri.