Mohon tunggu...
YR Passandre
YR Passandre Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

menulis membaca menikmati

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Pemimpin Besar

19 Februari 2021   22:38 Diperbarui: 20 Februari 2021   21:00 1631
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pertanyaan Ibu tentang nama-nama hari selalu kujawab datar, "Tidak tahu," lalu Ibu akan duduk di sampingku. Terdiam. Namun aku heran, Ibu tidak pernah bosan menanyakan hal yang sama. 

Pagi ini, ibu sorongkan lagi pertanyaan itu dan jawabanku belum juga berubah. Untuk kesekian kali. Tidak tahu.

Bagiku senin dan seterusnya hanya nama-nama dari jejak-jejak perjuangan yang tak dianggap, dibuang, bahkan dikubur. Tidak ada nafas kebajikan di sana, yang ada hanya geliat cacing tanah.

Ibu duduk di sampingku. Kembali terdiam. Agak lama. Ibu sengaja memberiku waktu menodongkan sorot mata sepuas hati ke ruas jalan di depan rumah. Aspal jalan yang berlubang-lubang itu tak hanya menyimpan genangan hujan, tapi juga rasa benciku. Lubang-lubang jalan yang seolah tubuh manusia yang kutusuk-tusuk dengan badik peninggalan Ayah. 

Sudah menahun Ayah menjalani hukuman. Tinggal di balik jeruji besi. Terkurung tanpa ampun. Padahal, Ayah adalah satu dari orang-orang yang berjuang mati-matian mengantar negerinya ke depan pintu gerbang kemerdekaan. 

Sekiranya Ayah mati di medan pertempuran, akan ada banyak orang yang berdiri paling awal dan berpidato berapi-api bahwa Ayah adalah pahlawan. Bahwa perjuangan Ayah harus dilanjutkan. Bahwa kemerdekaan adalah harta termewah yang diwariskan pejuang seperti Ayah.

Nyatanya justeru serdadu datang menangkap Ayah, dan Ayah diadili dengan tuduhan "memberontak". Sejatinya, aku tahu ihwal sengkarut itu. Ayah tidak akan pernah memberontak pada negeri tercinta. Ayah mencintai negerinya melebihi kecintaan pada diri sendiri.

Waktu itu, seumpama Ayah terpaksa mendirikan tiang-tiang baru penyangga kemerdekaan ketika tiang-tiang lama sedang goyah. Ayah tidak mendaulat diri untuk menggantikan pemimpin besar yang sedang ditawan penjajah. Namun, Ayah tetap saja divonis bersalah. 

"Bayangkan kalau Ayah tidak segera mengambil langkah memancangkan tiang-tiang baru kemerdekaan, penjajah pasti menganggap sudah tidak ada lagi perlawanan. Bangsa yang baru merdeka itu akan bubar!" Batinku. Membela Ayah.

Sejak hari pertama Ayah dikurung di ruang pengap itu, aku pun tak sudi lagi mengingat hari itu. Sungguh, Ayah tidak pantas dihukum seperti penjajah. Maka bukan hanya sengaja melupakan, aku juga benci nama-nama hari dimana jasa-jasa Ayah diremah-remah. Mengingat itu semua, rasa kesalku akan kontan mendidih.

"Nikmat sekali," kuseruput berkali-kali kopi yang baru saja Ibu suguhkan. Sejak di luar kota, aku lupa berapa hari tak merasakan kopi seduhan Ibu di pagi hari. "Siapa yang kasih kita bubuk kopi, Bu?"

"Pak Dasimo."

"Orang tua itu lagi," kataku lirih. 

Sekiranya tanpa bantuan Pak Dasimo, adikku mungkin tak akan pernah duduk di bangku sekolah. Semua sekolah menolak menerima adikku karena takut terseret-seret kasus Ayah. Meskipun Ayah dan Pak Dasimo tak memeluk agama yang sama. Ayah seorang muslim dan Pak Dasimo penganut Katolik. Ayah petinggi partai Islam dan Pak Dasimo petinggi partai Kristen. 

"Kemarin, adikmu juga menemui Pak Keimena. Kebetulan Pak Lubandrio ada di sana. Adikmu cerita kalau kita menumpang hidup di kamar pembantu dan garasi rumah ini."

Aku menatap kelu wajah Ibu yang menua. Kedua pipinya tak lagi bugar. Garis-garis keningnya makin menonjol. Peristiwa kelam yang menimpa Ayah sangat merusuh hidupnya. Nyatanya, tak cukup Ayah yang dikurung. Kami juga ditelantarkan. 

"Apa lagi yang adik ceritakan, Bu?"

"Adikmu juga cerita kesusahan kita sehari-hari."

"Lantas apa kata mereka?"

"Beliau-beliau itu minta adikmu datang ke rumah mereka setiap bulan untuk mengambil keperluan kita sehari-hari."

Aku hampir menjatuhkan air mata. Lekas-lekas kutarik muka. Tegak lurus lagi ke jalan berlubang-lubang itu. Merengkuh semua rasa benci yang tertanam sejak lama. Suatu hari, rasa benci itu akan kugali dan kutumpahkan.

Peristiwa yang menimpa Ayah telah membuatku benar-benar muak dengan segala urusan politik. Kekuasaan politik kerap dengan mudah membuat orang gelap hati. Betul ungkapan yang ramai kudengar: tidak ada kawan dan lawan abadi dalam politik, yang ada hanya kepentingan abadi. Tapi cerita Ibu seolah ingin membantahnya.

Sebelum bertemu Pak Keimena dan Pak Lubandrio, kami hampir tidak bisa bertahan hidup. Sejak Ayah menjadi tahanan politik, tak satu pun pintu yang berani terbuka lebar menerima kami. Nyaris semua rumah, lebih-lebih kantor pemerintah, menutup diri dari kami. 

Aku tak habis pikir, betapa kuatir orang-orang kepada kami, bahkan tak jarang berpesan agar merahasiakan jejak pertemuan. Pemimpin besar tidak bileh tahu. 

"Ternyata..." 

"Ternyata apa, Bu?"

"Pak Keimena marah besar mendengar rumah kita disita, dan menyuruh anak buahnya mengurus rumah itu untuk kembali kepada kita."

"Jadi..."

Sontak, Ibu mengangguk. Matanya menyala. Senyumnya mengembang. "Besok kita akan pulang ke rumah kita lagi."

"Apakah berarti ayah juga akan bebas?"

Ibu tercekat. Seketika senyumnya hilang. Aku menunggu jawaban dengan rasa cemas sedalam ngarai. 

"Ayahmu akan tetap di sana sampai selesai waktu hukumannya, tapi pemimpin besar tidak mau kita menderita."

Sebelum jauh beranjak, Ibu menoleh kepadaku. "Sekarang hari apa?"

"Jumat, Bu!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun