Mohon tunggu...
Fransiskus Pascaries
Fransiskus Pascaries Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis dan penerjemah lepas

sesekali kita perlu menoleh ke belakang, agar langkah ke depan tak terantuk

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Media Massa dan Pembodohan Massal

23 April 2013   21:17 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:43 1232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13667264722039754491

[caption id="attachment_249604" align="alignleft" width="300" caption="Eyang Subur"][/caption] Satu kasus pembunuhan menyedot perhatian publik Boston, Amerika Serikat tahun 1989. Harian The Boston Globe memberitakan peristiwa tertembaknya seorang wanita dalam mobil yang berhenti di sebuah bagian suram kota Boston. Sang suami yang juga berada di mobil itu tak ikut tewas, meski menderita luka. Polisi turun tangan memeriksa tempat kejadian perkara, sebuah daerah yang dicap rawan karena dihuni orang-orang hitam dan miskin. Persoalan obat bius, kriminalitas dan kekerasan begitu lekat dengan daerah itu. Polisi menggelar penggeledahan dan interogasi. The Boston Globe mengarahkan liputan ke para penghuni kawasan itu. Singkat kata, investigasi polisi pun usai. Tapi terbukti kemudian, sang suamilah yang menembak mati sang isteri, dan lalu, melukai diri sendiri, dengan harapan bisa mengelabui polisi. The Boston Globe memberitakan semuanya, tapi tampak bahwa dalam investigasinya awak redaksi mereka ikut memulai praduga bahwa si pembunuh berasal dari kawasan miskin yang dihuni orang-orang hitam itu. Kisah itu ditulis oleh pendiri majalah Tempo Goenawan Mohammad (GM) dalam kata pengantar buku Sembilan Elemen Jurnalisme: Apa yang Seharusnya Diketahui Wartawan dan Diharapkan Publik yang diterbitkan Yayasan Pantau tahun 2006. Buku itu adalah karya terjemahan dari dua wartawan senior Amerika Serikat Bill Kovach dan Tom Rosentiel: The Elements of Journalism: What Newspeople Should Know and the Public Should Expect. Buku asli ini terbit pertama kali tahun 2001. GM hadir dalam sebuah diskusi di Harvard dalam program Nieman Fellowship saat itu. Kovach sebagai mentor menyampaikan kesimpulannya pada GM. Kata Kovach, para wartawan The Boston Globe tak menyadari prasangka-prasangka yang merasuk dalam diri mereka sendiri –yang datang antara lain karena kelas sosial yang berjauhan bahkan bertentangan. Para wartawan itu sudah hidup terlalu jauh dari kalangan miskin. Andai ada wartawan yang tinggal atau bekerja di kawasan kumuh itu, tentu akan lebih bisa merasakan bagaimana sewenang-wenangnya tuduhan awal itu kepada warga kulit hitam di tempat kejadian perkara. *** Dua puluh tiga tahun kemudian kisah serupa masih terjadi. Bukan di negeri Paman Sam, tapi di Indonesia. Bukan soal pembunuhan, tapi soal tuduhan penggunaan ilmu hitam semacam santet. Kemiripan terjadi, ketika media turut berperan menghakimi orang yang belum tentu salah, sekaligus belum tentu benar. Saya tak tahu siapa nama tokoh di Boston yang diceritakan ulang oleh GM itu. Tapi untuk kasus di Indonesia ini, tokoh sentralnya tentu tak asing di telinga kita akhir-akhir ini: Eyang Subur. Tentu, ini bukan satu-satunya kasus yang menunjukkan betapa jurnalisme negeri ini begitu rendah mutu dan tidak –atau belum– memainkan peran secara maksimal bagi pencerdasan masyarakat. Berminggu-minggu sudah media memborbardir masyarakat dengan berita soal Eyang Subur. Kebencian diumbar di televisi. Pemirsa disuguhi raut muka merah, sambil mengacungkan jari telunjuk dan sesekali mengepalkan tangan penuh amarah di layar kaca. Ada pula artis yang mengaku disantet Eyang Subur. Mereka mengumpat sang Eyang. Saya tak ingat persis nama narasumber yang diwawancara acara infotainment itu. Seingat saya, acara itu menghadirkan tiga wawancara. Wawancara pertama berisi kisah seorang pria yang menuduh Eyang Subur telah mengguna-guna putrinya, karena menolak dijadikan istri kesekian dari sang Eyang. Pria berusia sekitar 50 tahun itu bertutur, kisah bermula ketika lamaran Eyang Subur ditolak sang gadis. Gadis itu lantas menikah dengan pria pilihannya lantas hamil namun terkena kista. Selang beberapa waktu setelah keguguran, perut sang ibu dioperasi. Ditemukan gigi dan rambut di dalam rahimnya. Spekulasi lalu merebak: Eyang Suburlah telah melampiaskan amarah pada wanita muda itu karena lamarannya dulu ditolak. Saya ceritakan kisah itu pada pacar saya. Ia tegas menolak ‘teori’ itu. Seorang dokter, yang kebetulan adalah ayah dari teman pacar saya bilang, bahwa ditemukannya gigi dan rambut dalam rahim itu dimungkinkan dalam dunia medis, ketika seorang perempuan pernah terkena kista. Apalagi jika usia kandungan sudah cukup tua. Gigi dan rambut itu tertinggal ketika sang janin keluar dalam kondisi meninggal. Singkatnya, ‘teori’ tentang dendam sang Eyang terpatahkan dengan dalil ilmiah. Terkait ini, saya jadi teringat kembali pada Bill Kovach dan Tom Rosentiel. Dari sembilan (kemudian menjadi sepuluh) elemen jurnalisme yang disodorkan duet itu, saya coba kaitkan kasus Eyang Subur dengan penjelasan mereka berdua tentang elemen ketiga, disiplin verifikasi dalam jurnalisme. Bill dan Tom mengatakan, disiplin verifikasi itu adalah esensi dari jurnalisme. Nah, dalam kasus pemberitaan Eyang Subur ini, verifikasi sama sekali diabaikan. Kalau mau sedikit usaha, mengapa tidak ada wawancara dengan dokter kandungan? Tayangan itu –dan juga tayangan infotainment dan berita lain– menurut saya sudah melakukan pembodohan besar-besaran, karena masyarakat hanya disodori aspek mistis yang tak jelas ukurannya dalam kasus Eyang Subur. Tak ada penjelasan ilmiah yang coba dihadirkan di situ. Dalam resensinya soal buku karya dua jurnalis kawakan itu, Andreas Harsono (salah satu murid mereka di Indonesia selain Goenawan Mohammad, Ratih Hardjono dan Sabam Siagian) menulis begini: “Disiplin mampu membuat wartawan menyaring desas-desus, gosip, ingatan yang keliru, manipulasi, guna mendapatkan informasi yang akurat. Disiplin verifikasi inilah yang membedakan jurnalisme dengan hiburan, propaganda, fiksi atau seni. Mereka (Bill dan Tom) berpendapat, “saudara sepupu” hiburan yang disebut infotainment (dari kata information dan entertainment) harus dimengerti wartawan agar tahu mana batas-batasnya. Infotainment hanya terfokus pada apa-apa yang menarik perhatian pemirsa dan pendengar. Jurnalisme meliput kepentingan masyarakat yang bisa menghibur tapi juga bisa tidak.” Seingat saya, ada seorang pria lain yang diwawancara infotainment itu. Sayang sekali, saya lupa namanya. Saya hanya ingat, dengan mata melotot dengan jari yang berkali-kali ditunjuk ke meja, ia mengutuk Eyang Subur. Kalimat-kalimat penuh kebencian ia umbar. Kamera pun berkali-kali menyorotnya secara close up dengan gerakan yang diperlambat alias slow motion. Seorang pria lain yang diwawancara tampil sebagai pembela Eyang Subur. Saya makin bingung, ketika Adi Bing Slamet membawa-bawa kasus ini ke Senayan, tempat para wakil rakyat bekerja. Saya tak habis pikir, kasus yang menurut saya tak jelas ukurannya, bisa dibawa-bawa ke ranah politik. Apakah DPR kekurangan beban pekerjaan? Target Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2012 hanya tercapai 30 Undang-Undang, baik UU baru maupun UU revisi. Sementara 39 sisanya terbengkalai begitu saja. Tahun 2011 cuma ada 24 UU yang berhasil disahkan, dari target Prolegnas sebanyak 93 UU maupun revisi UU. Sedangkan tahun 2010, dari 70 target Prolegnas, hanya 16 UU yang kelar dibahas dan disahkan. Kegerahan itu bertambah ketika, entah kebetulan atau tidak, muncul wacara untuk memasukkan isu santet ke dalam KUHP. Bahkan ada anggota DPR RI yang studi banding ke Inggris, Prancis, Belanda dan Rusia khusus untuk ihwal ini. Saya jadi menggaruk-garuk kepala sendiri, yang sebenarnya tak gatal. Saya sendiri, merasa sedih setiap kali melihat keluarga saya di rumah menonton tayangan infotainment. Mereka kerap menelan mentah-mentah informasi yang belum tentu benar. Kadang saya berdebat dengan mereka, kadang saya biarkan karena enggan bersitegang terus-menerus. Tapi ada jutaan orang lain di Indonesia yang tingkahnya seperti keluarga saya itu. Beginilah hidup di negeri di mana rasionalitas masih kerap diabaikan. Parahnya lagi, media turut mendorong kemunduran ini. Kenapa media begitu getolnya mengangkat kasus ini secara serampangan? Mengapa rasionalitas dilecehkan sedemikian parahnya hanya demi sensasi yang mendongkrak rating? Acara infotainment itu tayang sekian jam dalam sehari. Pagi, siang dan sore hari. Tentu banyak anak kecil yang menyaksikan. Tidak adakah yang memikirkan bagaimana dampak dari tayangan itu pada masyarakat terutama anak kecil? Kasus kejahatan beralaskan kebohongan di Boston akhirnya terungkap tuntas. Tapi entah bagaimana kelanjutan kasus Eyang Subur ini. Saya meragukan ada media di Indonesia yang bisa tuntas membongkar kasus ini, atau kasus-kasus lain seperti bailout Bank Century, skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Trisakti, Semanggi, Cicak versus Buaya, Hambalang, atau yang terbaru: serangan sadis anggota Kopassus ke penjara Cebongan, Yogyakarta. Satu dua media mendaku diri sebagai jagoan investigasi, tapi toh hanya hal-hal di permukaan yang mencuat di permukaan. Tak pernah ada yang membahas tuntas ... tas... tas... Pembodohan massal lewat media sudah sering dan masih berlangsung. Entah sampai kapan. Sumber foto: banjarmasin.tribunnews.com

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun