Mohon tunggu...
basari budhi pardiyanto
basari budhi pardiyanto Mohon Tunggu... Penegak Hukum - PNS

salah satu hobby membaca

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Pungli di Rutan KPK: Cukupkah Minta Maaf Massal dan Hukuman Disiplin?

3 Maret 2024   05:52 Diperbarui: 4 Maret 2024   07:16 555
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Petugas kebersihan membersihkan jalan masuk ke Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Kuningan, Jakarta, dari genangan air hujan, Jumat (22/5/2020). Foto: KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Sebagai suatu kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) korupsi haruslah diberantas sampai ke akar-akarnya. Pemberantasan korupsi juga harus dilakukan secara luar biasa pula (extra ordinary enforcement), dilakukan tanpa pandang bulu maupun tebang pilih terhadap siapapun pelakunya, tanpa harus membedakan status dan tingkat jabatan pelaku korupsi namun dengan tetap menjujung tinggi asas persamaan di depan hukum (equality before the law) maupun asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence).

Upaya pemberantasan korupsi tidak cukup hanya dengan membuat dan memberlakukan peraturan perundang-undangan semata-mata. Sebaik apapun peraturan perundang-undangan yang diberlakukan namun apabila penerapannya tidak sebagaimana mestinya hasilnya tidak akan sesuai harapan. Justru yang terpenting adalah dimulai dengan membangun mental orang-orang yang dapat berpartisipasi dalam korupsi itu sendiri. 

Tanpa adanya sumber daya manusia yang baik serta berintegras tinggi (terutama bagi aparatur yang terlibat dalam pemberantasan korupsi) akan mustahil pemberantasan korupsi dapat berhasil. Diharapkan pula para aparatur penegak hukum dapat menjadi role model dalam upaya pemberantasan korupsi khususnya dalam pencegahan korupsi.

Bebebrapa waktu yang lalu dunia penegakan hukum (Indonesia) kembali tercoreng dengan terungkapnya praktek pungli (pungutan liar) yang terjadi di Rutan KPK. Bagaimana bisa terjadi KPK sebagai motor penggerak dalam upaya pemberantasan korupsi malahan menjadi "sarang pungli" dalam waktu yang cukup lama.

Praktik pungli yang diduga sudah berlangsung sejak tahun 2018 bisa dikatakan dilakukan secara sistematis serta terstruktur, dengan melibatkan puluhan pegawai KPK dan beberapa "tahanan yang dituakan" dengan peran masing-masing yang berbeda-beda.

Sebagaimana dalam perbuatan korupsi pada umumnya terungkap pula beberapa istilah kata-kata dalam upaya kamuflase agar perbuatan korupsi tersebut tidak terendus oleh pihak luar, dalam kasus ini muncul istilah 'korting' yakni "tahanan yang dituakan" yang bertugas mengumpulkan uang pungli dari tahanan atau keluarganya dan kemudian menyerahkannya kepada "lurah" (petugas Rutan KPK yang ditunjuk dan kemudian membagikannya kepada petugas lainnya). Praktik pungli ternyata didalangi oleh pegawai berinisial H seorang pegawai negeri Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) yang ditempatkan di Rutan KPK selaku koordinator ketertiban dan keamanan (Kamtib) Rutan KPK.

Sebagai seorang pegawai dengan jabatan koordinator keamanan dan ketertiban tentulah yang bersangkutan mempunyai kekuasaan maupun kewenangan tertentu, namun justru pada akhirnya kekuasaan dan kewenangan tersebut disalahgunakan untuk mendapatkan keuntungan semata-mata yakni dengan cara mengkoordinir terjadinya praktek pungli terhadap para tahanan dengan memberikan fasilitas tertentu.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pungli merupakan akronim dari kata pungutan liar yakni meminta sesuatu (uang dan sebagainya) kepada seseorang atau pihak lain (lembaga, perusahaan) tanpa menurut peraturan yang lazim. 

Secara umum pungli (pungutan liar) merupakan perbuatan tidak etis dan illegal dimana seseorang (biasanya yang mempunyai jabatan atau keddudukan maupun kewenangan tertentu) meminta uang atau sesuatu barang kepada pihak lain sebagai imbalan atas layanan atau jasa yang telah diberikan. Dengan kata lain apabila pungli tersebut tidak diberikan maka layanan atau jasa tersebut tidak akan diterima oleh pemberi pungli.

Dalam perbuatan pungli biasanya terdapat 'unsur pemaksaan' yang menjurus kepada pemerasan. Sehingga perbuatan pungli itu sendiri sebenarnya dapat dikategorikan sebagai suatu perbuatan korupsi yang memenuhi ketentuan Pasal 12 e Undang Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sehingga terhadap mereka yang terlibat dalam praktek pungli harus diselesaikan melalui hukum (pidana) bukan semata-mata diselesaikan secara etik maupun hukuman disiplin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun