Di pedukuhan yang asri dan indah, suasana disana masih alami, burung burung bernyanyi dan berlarian kesana kemari, jalanan masih dipenuhi lumut hijau yang membentang menyusuri jalanan. Begitu empuk kalau melewatinya. Seorang gadis cantik jelita, ramping, berjalan memegang kepala sebelah kiri karena habis disiksa dan di lempari batu oleh teman temannya. Begitulah nasibnya sehari hari.
Hidup yang begitu keras dialami hampir setiap hari dia berusia 15 tahun. Menyusuri hutan untuk sekedar mencari ganjal perut dia pergi kehutan belantara yang menyeramkan di samping rumahnya setiap hari. "Gadis bodoh," sebuah batu menghantam tubuh ramping dan jenjang "settttt... setttt.... settttt" membuat dia tersungkur dan merintih kesakitan menahan rasa sakit dan kebencian yang mendalam, "Mampus kau Haaaaa .....haaaaa ....haaaa..... " hanya itu yang jelas terdengar sebelum kemudian dia pingsan tak sadarkan diri.Â
"apa salahku... Apa salahku.... Oh yang Widi...." Merintih dan sejurus kemudian dia mencoba bangkit melawan keadaan. Hanya cibiran dan gelak tawa yang masih dia ingat sebelumnya yang dia dapat.Â
Tidak berhenti disitu ternyata teman temannya masih melingkarinya sambil menyiram nyiram tubuhnya dengan air kotor dan melemparinya dengan tanah, gadis itu bernama linggi.
Malang sungguh malang.Â
Mereka kembali menganiaya linggi dengan membabi buta tapi apa mau dikata dia belum memiliki kekuatan hanya tekad saja alhasil diapun jatuh pingsan karena tak kuat menerima serangan teman - temannya.
Pagi buta itu linggi Pramesti Prameswari berlarian menuju hutan Gunung Gede sambil mengedarkan pandangan berlari lincah sesekali bersembunyi dibalik pohon cereme besar.Â
Dari arah kaki gunung sekelompok anak perempuan membawa tangkai kayu dan sejenisnya datang kembali dengan garang dan berencana membully kembali benar saja mereka langsung mengejar dan menyerang kembali dan serangan bertubi tubi pun dari teman - temannya tidak dapat dihindarinya tak ada ampun tak ada belas kasihan.Â
Linggi terus berlari dengan darah yang sebagian telah mengering dan luka baru telah menganga di setiap tubuhnya sampai kemudian dia loncat kedalam jurang yang entah apa dalam pikirannya. Jurang yang begitu gelap dan dalam disanalah kini sesosok tubuh penuh luka terbaring tak sadarkan diri.
Elang terbang melintas lapar mencari mangsa menukikÂ
"Klikkkk.... Klikkkkk.... Klikkkk"
Entah sudah berapa hari dia terbaring tak berdaya seluruh tubuhnya seperti remuk redam yang di rasakan. Perlahan bangkit dia membuka matanya dan menggerakkan kaki dan tangannya yang ternyata patah akibat terjatuh puluhan meter dari atas sana.
 "Awwww sakiiittt"
dengan segenap tenaga terseok - seok selama berbulan - bulan itulah yang dilakukannya berbaring berjuang seorang diri.Â
"Beginilah nasibku sang hyang Widi"Â
sambil meneteskan air mata, ingatannya kembali saat dimana dia kebahagiaan itu masih ada, dan kemudian lenyap diganti derita demi derita menyapanya tiasa henti.Â
Rembulan yang menunjukan kecantikan dan keangkuhan di atas sana, seolah tertawa melihat sesosok gadis mungil yang bibirnya Semerah ceri itu larut dalam kesedihan.Â
Dia berusaha berdiri. Keringat sudah membasahi seluruh tubuhnya hingga akhirnya dia pun mampu bangkit meskipun entah sudah berapa puluh kali dia jatuh bangun hanya untuk bisa duduk diatas batu. Kesabaran memang kunci dari keberhasilan nampaknya itupun berlaku bagi gadis yang menawan ini meskipun dengan pakaian yang sudah seperti gadis gila.
Menarik nafas berat dia lakukan dan duduk diam sambil merenungi nasibnya. Anak tanpa ayah dan ibu karena ayah nya mati di terkam harimau ganas saat ayahnya melawan bandit yang hendak merampas harta keluarganya, ibunya Pramesti pun tewas mengenaskan dengan kepala terpotong.Â
Harimau itu adalah harimau jadi - jadian peliharaan para perampok yang dunia persilatan diakui keberadaannya yang sangat sadis karena bukan hanya sadis mereka juga bersekutu dengan iblis hitam. Mereka masih saudara ayahnya karena cemburu ayah Linggi mendapatkan Ibu Linggi yang amat di cintai Baron adik kandung ayah Linggi yang bernama Wildan.Â
Kini didepannya api mungil itu kini membahana menerangi di dalam goa itu seperti tekadnya semakin lama semakin tinggi untuk menumpas kejahatan. Setelah sekian lama dia berusaha, dan senyuman manis terukir diwajahnya yang putih bersih itu, rambutnya tergerai panjang dan indah. entah apa isi dalam kepalanya, mata coklat sayu menghiasi keindahan gadis itu meskipun baru berusia 15 tahun.Â
Kalau lelaki melihatnya dipastikan tak akan kuat menahan godaan apalagi sekarang linggi dalam keadaan pakaian setengah telanjang akibat pakaiannya yang hilang akibat akar akar pohon saat dia terjatuh dari jurang.Â
Berhari - hari dia hanya tertidur lemas entah sudah berapa Minggu, menahan lapar dan dahaga, dia melakukan mati geni hanya itu yang bisa dia lakukan terpaksa.Â
Dia terus berusaha bangkit berjalan sedikit demi sedikit menahan rasa sakit yang teramat sangat melangkah satu langkah saja membuat seluruh tubuhnya keringat dingin. Tangannya meraba kesana kemari.Â
Tekad kuatnya menyebabkan semuanya bukanlah masalah baginya, tatapannya kosong dan seperti kehilangan kesadaran hingga kemudian dia tergeletak kembali di dekat pedang yang penuh karat.
Pedukuhan yang indah dan asri dan segala macam burungpun masih menambah asri dan kedamaian di pedukuhan itu. Tapi tidak bagi Linggi. Dengan segala kesengsaraan hidup yang seolah tidak mengenal nafas, kini dia berusaha bangkit melanjutkan hidup meski remuk dibadannya masih terasa saat pandangannya.
Matanya melihat sekeliling tepat di depannya terlihat sesuatu yang terang saat itu purnama dalam posisi sempurna dan sinar yang terpantul dari kolam mengakibatkan segala sesuatu disana temaram nampak menyeramkan.
Sebilah pedang bersinar terang memancar aura mengerikan dan melayang diudara
"Duarrrrrr.... Duarrrrr.... Duarrrr...."Â
Gua disana seolah runtuh lalu kemudian pedang itu melayang, seberkas cahaya merah melesat dari dalam pedang kedalam kening gadis itu hingga ia menjerit dan merintih menahan sakit yang teramat itu. Berjam - jam dia merasakan sakit yang luar biasa, hingga satu hari satu malam dia habiskan dengan terbaring telentang.Â
Darah segar dari hidung, mulut dan telinganya, gadis itu tergolek tak berdaya.
Sinar matahari kini menampakkan diri, hari berganti malam dan berganti pula pagi.Â
Linggi belum juga sadarkan diri. Entah sudah berapa malam ia tak sadarkan diri, kini dia mendapatkan tubuhnya tak merasakan sakit meskipun saat dia mengusap telinga dan hidungnya terlihat bekas darah keluar dan tentu saja sekarang sudah kering.Â
" Bangunlah cah ayu"Â
Suara dari kehampaan menyambutnya sontak membuat dia kaget dan berlari ke pojokan goa tanpa mempedulikan keadaan goa seperti apa.Â
"Jangan takut"
suara itu datang lagi.Â
"Si....siapa ka...kamu" Linggi menggigil ketakutan
"Siapa aku?..... tidak bermaksud jahat aku hanya jatuh" linggi menjawab suara itu.
"Perkenalkan namaku Banas Pati aku adalah pedang pelebur Sukma. Sekarang aku adalah jiwa yang sekarang berada bersama kamu, dan ambilah pedang itu karena pedang itu adalah pedang penghancur bermata dewa"Â
dengan sedikit ragu dan ketakutan akhirnya mau tidak mau dia mengambilnya.Â
Seketika pedang itu bercahaya dan melesat menghantam rembulan kini malam perkasa lenyap berganti kegelapan.Â
"Kamu memang pantas menjadi tuanku cah ayu ... Haaaaa.... haaaaa......"Â
Kemudian suara itu lenyap bak ditelan bumi linggi berjalan menyusuri goa yang entah dimana ujungnya hingga kemudian dia mendarat di tanah.Â
Dia lupa kalau dia masih sakit. Manusia akan melupakan sakit kala ketakutan menyergapnya.Â
Beruntunglah ternyata dia sekarang sudah kembali ke dalam hutan tapi tempatnya aneh entah di belahan mana dia sekarang saat menoleh kesekeliling ternyata mulut goa itu menganga diatas sana sangat tidak mungkin manusia biasa bisa mencapainya karena terlalu tinggi dan terjal.Â
"Dimana aku?"
Sambil geleng - geleng kepala dia mengedarkan pandangannya takut ada harimau dan binatang lainnya. Karena diapun tahu kalau di pedukuhan tempatnya tinggal berdiri perguruan hitam harimau Lodaya begitu bengis dan tak segan membunuh siapa saja termasuk kedua orang tua linggi kala itu.
"Dimana ini" dia bergumam sambil mengedarkan pandangan dengan tajam aneh, seharusnya gelap gulita malah seperti siang hari sekalipun rembulan harusnya temaram, dia menepis keanehan dalam dirinya, dia terus berjalan dengan bilah pedang yang dijadikan tongkatnya.Â
Tapi, tidak berselang lama tiba tiba sebuah cakaran hampir bersarang di dadanya,
"Srakkk.... Srakkkk...."
Beruntung dia cepat menghindar bahkan sekarang linggi seperti daun yang ditiup angin, seperti burung yang mampu terbang ke pohon meskipun jatuh kembali karena belum bisa mengendalikan kekuatannya.Â
"Harimau Lodaya" Bergumam pelan.Â
Linggi bangkit sambil menahan sakit yang luar biasa. Dia masih mengenali dari bajunya yang sebagian hitam serta giginya yang kuning karena jarang sikat gigi itu Â
"Oh... Maaf cah ayu rupanya"
 laki-laki kekar berperawakan tinggi, berkulit hitam saat senyum menyeringai dengan senyum penuh cabul,Â
"Jangan dekati aku dasar laki -laki biadab"
"Haiiii... Aku masih pamannya. Kamu Lupa? Haaaaa.... Haaaaaaa...."
"Cihhh... Aku tidak punya paman sepertimu"
"Awwww... Kasar sekali kamu nona. Aku takut"
Matanya penuh cabul dan serakah.Â
Linggi sangat membenci pamannya amarahnya membumbung tapi rasa takutnya belum mampu dia kendalikan, lelaki itu terus menyeringai mendekati kearah linggi yang baru terjatuh dan sekarang terpojok dan berdiri dipangku batu sambil mengacungkan pedangnya.
"Cah ayu ikutlah denganku sekarang,!! aku janji akan aku berikan apapun di dunia ini haaaaa.... Haaaaaaa...."
Sambil menjilati bibirnya mendekat kearah linggi. Gadis itu hanya terdiam menahan takut dan gemetar disekujur tubuhnya, apalagi sekarang gadis itu dalam keadaan setengah telanjang, pasrah dan tertunduk lesu memejamkan mata sambil menangis.Â
Tapi tiba-tiba "seeeettttt......... Duaarrr Duaaarrrr "Â
laki laki itu terpental sebuah Cahya melesat dari bilah pedang dan menghantam dada pemuda itu hingga bolong. Matanya melotot penuh seolah hendak bertanya dan sesal sekali lagi selalu datang terlambat. Alhasil diapun tewas seketika. Bersama harimau yang lenyap ikut bersama jiwa tuannya.Â
"Apa yang terjadi"Â
Gadis itu diam melongo. Entah apa yang terjadi dia hanya celingukan dan garuk kepala tak gatal. Melirik kekaman kekiri dengan cepat tapi tak ada siapapun disana.Â
Begitu kaget saat dia menemukan laki-laki yang mau mencabulinya tersungkur dengan dada berlubang. Kaget bukan kepalang.Â
"Siapa yang menolongku"Â
mengedarkan pandangan lagi tapi nihil tak ada siapapun.Â
"Siapapun itu terimakasih sudah menolongku" gumamnya lagi.Â
"Cah ayu aku yang menolongmu" betapa kaget saat mendengar suara itu.Â
Dia kembali mengedarkan pandangan tapi nihil.Â
"Tidak ada orang" Gumamnya.Â
Saat pedang itu berniat untuk di tancapkan di tanah tiba tibaÂ
"aku pedang yang kau pegang yang menolongmu" seketika itu dilemparnya pedang dan dia berlari menjauh bersembunyi di balik batu".
Tapi percuma saja pedang itu terbang mengikuti gadis ramping itu. Berputar putar diudara membuat gadis itu menggigil ketakutan.Â
"Kau tak perlu takut gadis manis. Kau akan mewarisi semua ilmuku kalau sudah waktunya. Aku tak akan menyakitimu. Keluarlah aku tau kau gadis hebat" perlahan gadis itu memunculkan wajahnya malu malu.
"Kenapa kau bersembunyi?" Aku sudah katakan aku tak akan menyakitimu.
"Apa maumu" gumam linggi.Â
"Tidak ada, kau sekarang adalah tuanku kekuatanku tersegel oleh orang orang aliran putih dahulu kala dan jiwaku terkurung didalam pedang ini. Namaku Banas Pati... Siapa namamu..?" Suara itu menjelaskan panjang lebar. Linggi menatap lekat bilah pedang yang berputar melawan ketakutannyaÂ
"Na...Na ... Namaku Li.. linggi" sambil terbata bata melawan ketakutannya.
"Bagus ... Nama yang bagus.. sekarang kau tak perlu takut aku akan menemanimu kemanapun kau pergi, sekarang aku bebas berkat darahmu mengalir saat kau pertama kali memegang bilah pedangku, dan kau sekarang tuanku" pedang itu turun dan menancap di tanah.
"Kau bisa bicara? .. tentu saja karena aku tadinya manusia sebelum ragaku hancur dan rohku masuk kedalam bilah pedang. Beruntungnya orang orang dari aliran putih terkutuk itu tidak menyadarinya saat aku bersembunyi. Dan pedang ini dilemparkan kedasar jurang itu." Linggi hanya manggut manggu.Â
"Sekarang kau mau kemana?" Linggi hanya garuk kepala sambil menahan lapar tapi....
"krukkkk...krukkkk." perutnya berbunyi karena entah beberapa hari atau mungkin berapa minggu ini dia tidak makan karena menahan sakit kakinya begitu dia sadar kalau kaki dan tangannya masih berdarah darah. Sesaat dia hendak pingsan.Â
"Heiiii kamu sudah sembuh tidak usah banyak drama, dasar manusia lemah" Jiwa pedang bersungut-sungut.Â
Linggi hanya garuk kepala gatal dan senyum -senyum campur bahagia.Â
"Tidak usah berterimakasih padaku tenang saja"
Linggi melotot dan hampir melempar pedang itu kedasar jurang.Â
"Ekhhh.... Ekh..... Tolong jangan lempar aku" Pedang itu berteriak nyaris menangis.Â
Tapi sejurus dia melupakannya Linggi meloncat loncat kegirangan.Â
"Aku sembuhhhhh. Yey.. Yeyeyeye .. yey" sambil senyum senyum sendiri.Â
Mata indah tajam itu melotot. "Kamu cari makan untukku kalau tidak" Linggi menggoyang - goyang hendak melemparkan pedang.Â
"Tunguuu.... Tunguuu... Tunggu... Baiklah baiklah kamu jahat sekali" Jiwa pedang hanya bisa bersungut - sungut saja.Â
"Apa kamu bilang" Linggi menaikkan nada bicaranya
Tidak.... tidak... Aku tidak bicara apa apa.... Baiklah aku pergi dulu" Pedang itu ngacir terbang melesat seolah takut mati.Â
"Baiklah aku cari makan dulu untukmu, kau tunggulah disini, pedang itu berkelebat.
Tak berselang lama beberapa buah durian, rambutan dan buah buahan lainnya berjejer rapi didepan linggi, menumpuk dan anehnya lagi pedang itu membawa pakaian wanita lengkap dengan dalaman wanita. Linggi keheranan.Â
"Da..darimana kau.....", Linggi keherananÂ
" Kau mencuri dari gadis yang sedang mandi?" Linggi melotot hendak menampar
"Aku terpaksa percayalah" Pedang itu ketakutan dan terbang kebalik pohon.Â
Linggi terenyum merekah begitu menggoda siapapun yang melihatnya meskipun malu dan marah sebenarnya linggi teramat senang kemudian memakannya dengan lahap tanpa sisa.Â
"Euughrrrrggh" Linggi cilngak clinguk dan bangkit berdiri mengambil pakaian yang dibawa Banas Pati.Â
"Ingat jangan coba-coba kau mengintip aku berganti pakaian kalau tidak? " Linggi berteriak mengancam.Â
Sekelebat dia berlari kebalik pepohonan. Selang berapa lama kini terlihat betapa cantiknya linggi dengan gaun baru dia mengenakan gaun hijau langit dan bilah pedang yang bertengger di punggungnya.Â
Linggi mengambil buah - buahan itu dan memakannya rakus tentu saja dia tidak makan dalam kondisi normal. Bibir mungil itu blepotan penuh makanan, Linggi tampak riang dan bahagia.Â
Sekelebat dia teringat keluarganya yang telah pergi dan menghentikan makannya.Â
"Ayah,,,,, Ibu,,,,, andai saja kita masih bersama ini akan sangat bahagia" Linggi bergumam tak terasa air matanya menetes. Secepat itu pula dia menepis dan melanjutkan maknan, ada duka mendalam luka menganga yang kapan saja bisa terbuka dan tentu saja akan melampiaskan kemarahannya tanpa belas kasih.
Tentu saja Banaspati mengetahuinya lagi pula dia sudah satu jiwa bersama Linggi. Banaspati pati hanya terdiam. Dan diam - diam tersenyum.Â
"Kau mau makan ayam panggang dengan rasa paling enak di dunia ini? " Tanya Banas pati mencairkan suasana.Â
Linggi tampak sumringah dan tanpa menjawab karena mulutnya penuh makanan dia hanya mengangguk dan tersenyum.Â
"Baiklah... baiklah... kau sudah jadi orang bisu rupanya" Goda Banas pati sambil tertawa.Â
Linggi melotot sedikit menyesal karena tidak bisa membalas dan sedikit menggeram saja.Â
Banas pati secepat kilat melesat dan terbahak - bahak, puas akan kesuksesannya menggoda Linggi.Â
Tak lama saat Bulan Purnama warna orange itu masih bertengger anggun disana, sepasang ayam jantan dan betina sudah tergeletak di samping Linggi yang sedang melamun.Â
Linggi terperanjatÂ
"Kau mencuri lagi" Linggi melotot hendak melanjutkan marshnya.Â
"Enak saja... . Aku menangkapnya di hutan itu ayam hutan. Apa kau tidak bisa membedakan ayam hutan dan ayam ternak" Banas pati membalas dengan cepat.Â
Linggi tampak malu dan dia hanya senyum - senyum sendiri tanpa meminta maaf. Tentu saja Banas pati makin geram.Â
"Dasar wanita... Sudah salah bukannya meminta maaf malah cengengesan" Sungut Banas Pati.Â
"Apa kau bilang... . " Linggi murka.Â
"Ia...Dasar wanita kau seharusnya meminta maaf padaku... " Belum selesai dia menyelesaikan kalimatnya Linggi langsung menendang pedang Banas Pati ke semak - semak tanpa ampun.Â
"Rasain welleeeeee...... weleee....." Linggi tampak puas dan menjulurkan lidah tampak puas dan menggemaskan.Â
Banas pati hanya bisa terdiam dan dia bertengger menancap di batu pipih tanpa suara. Enggan dan tentu saja jengah atas kekonyolan Linggi. Mereka sudah seperti keluarga. Saking memaklumi.Â
Aroma harum menguar tak berselang lama ayam hutan yang dipanggang Linggi tentu saja menggoda selera tidak hanya yang membuatnya Air liur Linggi jatuh dari sudut bibir mungilnya, kalau ada lelaki yang melihatnya mata serakah mereka akan sangat jelas. Bagaimanapun Linggi gadis cantik jelita bahkan kecantikannya yang menjadikan alasan dia sering disiksa teman - temannya. Mengenaskan. Sungguh Tragis.Â
Hari demi hari Minggu berganti bulanpun berganti tak terasa tahunpun berganti kini Linggi Gadis cantik itu tengah melanjutkan semedinya diatas batu hitam yang memancarkan aura mengerikan. Dari tubuhnya siluet sayap elang emas, purnama yang penuh pesona.Â
Malam itu purnama begitu mencekam. Semua mata memandang. Keanehan purnama kali ini seolah petaka akan datang menghampiri. Semua orang bersiap dan beberapa rumah ditutup rapat.Â
Sunyi sepi. Tak ada jangkrikpun bersuara. Pedukuhan yang ramai itu diam - diam seperti diteror hendak diburu. Aroma tanah basar dan bunga melati menguar baunya menghiasi dan mengelilingi Linggi. Hutan Gunung Gede menawarkan sejuta rasa eksotis dan keindahan tak tertandingi. Siapapun betah tinggal disana tidak hanya menghabiskan secangkir teh berdua tetapi menghabiskan sisa hidup bersama.Â
Tapi bagi Linggi gadis penuh ceria dan semangat itu bukan keindahan yang dia inginkan tapi menumpas angkara murka yang merata lela membalaskan dendam sampai tuntas tentu saja tugas di pundaknya akan semakin berat.Â
Di dalam Padepokan. Kematian ketua padepokan tentu saja menjadi buah bibir. Hilang. Lenyap tidak tahu rimbanya. Anggotanya kalang kabut. Takut musuh lama muncul dan memburu mereka satu persatu. Mereka menyebar mata-mata. Kematian itu sontak menyebar cepat.Â
Benar saja musuh lama tampak bersorak sekaligus waspada. Apakah ini jebakan atau benar. Mereka berspekulasi saling menyebar mata-mata. Mereka saling membunuh kala bertemu satu persatu mereka berguguran. Kekacauan dimana-mana. Mayat tak utuh menjadi pemandangan biasa.Â
Ibu-ibu yang mencuci di kali berteriak histeris saat air sungai yang jernih di kawasan Timur berubah warna merah dan anyir. Potongan tubuh berserakan. Kentongan bertalu silih bertalu bersahut saling bersahut bak lantunan adzan tak ada hentinya.Â
Kicauan burung menandakan pagi datang. Pagi itu disebuah kedai makan di kaki gunung banyak orang menceritakan kejadian janggal malam kemarin,Â
"Mang apa kira kira tadi malam itu" ucap salah satu pengunjung.Â
"Entahlah mungkin ada seseorang yang sedang melatih ilmu hitam" timpal seseorang lagi.
Yang mendengar mengundang tanya. Mereka mengangguk penuh makna yang bicara tanpa dosa. Semaunya saja. Dasar lidah tak bertulang.Â
Dari kejauhan terlihat gadis remaja umur 19 tahun dengan bilah pedang di tangan kirinya melewati kedai dengan anggun.Â
Semua orang saling curi - curi pandang melihat Linggi yang berjalan anggun bak bidadari itu.Â
Linggi sudah menuju Barat meninggalkan kediamannya yang pilu dan menyesakkan dada. Balas dendam. Tidak
Dia mengikhlaskannya bahwa semua sudah menjadi kehendak Yang Widi.Â
Beberapa dari mereka ada pula yang kemudian melanjutkan lagi pembahasan malam itu karena mereka meyakini kalau perguruan.Â
"Harimau Lodaya" sedang berbuat onar dan kacau sekaligus meningkatkan keilmuannya sehingga malam purnama itu masyarakat tidak bisa tidur nyenyak. Karena selain kejam mereka juga kebal senjata.
Tanpa mereka tahu bahwa di padepokan sendiri teror tak jelas tengah melanda menjadi pemandangan yang belum pernah terjadi. Pukulan telak. Siapa pelakunya.Â
Linggi si Gadis cantik semampai berjalan berbelok ke selatan memasuki hutan larangan menuju air terjun untuk melanjutkan semedinya guna meningkatkan kekuatan kebatinannya.Â
Ditengah perjalanan terlihat gerombolan perampok yang sedang merampok rumah warga Kampung Apuy, mereka menjarah apa saja. Ternak. Hasil kebun dan wanita muda dijarah, diperkosa sebagian dibawa ke markas guna dijadikan pelampiasan nafsu sesaat.Â
Kampung Apuy yang indah, berjejer rumah - rumah panggung dan dibawah rumah itu unggas - unggas berkembangbiak, kawasannya yang landai dan sejuk sangat kontras dengan ketentraman yang disuguhkan alam ini. Mereka berladang, bercocok tanam, beternak dari mulai sapi, kambing, kerbau dan unggas lainnya. Kini hanya menujukkan keserakahan sebagian orang dan wajah wajah gagah sebagian lagi warga desa begitu mengenaskan dan prihatin, mereka terluka dan menderita.Â
Para perampok itu berjumlah puluhan orang, mereka pengecut dan lemah. Semakin banyak itu tanda semakin tidak mampunya seseorang dan semakin takut menghadapi musuh.Â
Sambil membawa golok di tangan kirinya mengenakan pakaian hitam dan logo harimau di dada atas sebelah kiri. Mereka terlihat sedang mengacak - acak rumah warga tersebut dan menyeret paksa gadis dari dalam rumah.
"Hentikan manusia manusia biadab" suara yang tiba tiba muncul dari belakang mereka, sontak semuanya bersiaga dan mencabut pedang, lelaki tinggi besar dan berotot bersiri paling depan sambil memainkan janggutnya.Â
"Cah ayu jangan galak - galak lebih baik ikut denganku ke surga" diiringi gelak tawa pecah kala itu namun.
" sringggg... Sringggg.... "
"Aahhhhhh..... Ahhhhhh...." Dengan secepat kilat kepala pemimpin itu ber gelinding. Beberapa orang sudah terpotong tanpa kepala menyisakan sebagian saja yang sekarang tanpa lengan kanan.Â
Dia melotot namun sebelum dia berbicara bilah pedang sudah bersarang kembali dimata sebelah kiri. Membuat dia terkencing kencing dan memohon ampun.
"Akhhhh.... Akhhhhh..... Tolong ampuuun aku hanya disuruh. Tolong aampuni nyawaku" Berteriak histeris meminta ampun.Â
"Cepat pergi atau aku lepaskan kepalamu" Ancam Linggi sambil memainkan bilah pedangnya
"Ba..ba...baik..baik nyai" tanpa berpikir panjang lelaki itu langsung berlari diikuti teman temannya yang masih bernyawa.Â
Sekuat tenaga menuju perguruan.Â
Dari balik kehampaan pupuhu harimau Lodaya itu melihat jelas dan kaget kalau sekarang telah lahir orang yang akan menjadi batu sandungannya di masa depan, dia ingin menghabisi gadis itu tapi, dia urungkan takutnya gadis itu berilmu tinggi jadi dia mengurungkan niatnya. Dan diam melihat.Â
Sesampainya di perguruan sambil terengah-engah mereka menceritakan kejadiannya kepada teman temannya. Perguruan itu terletak tersembunyi di jalur Apuy.Â
"Kurang ajar.... Akan kehabisi siapapun mereka... Ayo sekarang kita kejar gadis itu" tanpa diperintah kedua kalinya mereka berhamburan memburu gadis yang tidak lain adalah Linggi.Â
Linggi sedang berjalan menelusuri bukit sawah dia berkelebat, setelah membantu beberapa penduduk dan membereskan sisa kekacauan.Â
Udara begitu sejuk angin sepoi membelai kulit wajah dan menyisir rambutnya yang indah tergerai.Â
Sebagai lingkungan kampung yang kuat akan sosialnya tentu saja Linggi dan kedigjayaannha segera menyebar dari mulut kemulut. Ilmunya luar biasa tinggi menyebar bak kawanan lebah mencari madu.Â
Sampai kemudian dia sudah berdiri di depan air terjun. Kemudian dia merapalkan mantra penghalang agar musuhnya tidak dapat melihat keberadaannya dan benar saja jangankan anak buah harimau Lodaya pupuhunya saja sampai tidak merasakan aura Linggi yang hilang tiba-tiba bak ditelan bumi.
"Kemana perginya" Mereka heboh mencari disegala arah disegala penjuru. Linggi gadis cantik itu menghilang entah kemana.Â
Bulan berganti tahun dan kini gadis itu keluar dari air terjun auranya begitu pekat dan mata coklatnya menghitam bercorak emas kini linggi bisa menaklukan binatang apapun termasuk Elang si Rajawali emas Juga macan tutul cakar seribu bayangan. Dua hewan legendaris yang sangat diincar oleh para pendekar di dunia persilatan.Â
Cahaya rembulan kala itu yang temaram menambah begitu syahdu.Â
Linggi menyelesaikan tapabratanya, menyamarkan ilmunya dan kembali pergi ke perkampungan untuk memanjakan lidah karena sudah lama dia tidak makan.
Di sepanjang jalan kicauan burung menyembah salam hormat untuk dunia.Â
Tanpa sengaja dia melihat gerombolan berkapak yang sudah penuh darah memaksa puluhan laki - laki untuk menumbalkan anaknya dan membuangnya ke jurang sebagai cara menghilangkan bala atau petaka.Â
Pemimpin mereka seorang lelaki paruh baya berjubah putih dengan janggut yang panjang dan ditangan kanannya memegang tongkat berbulu yang tidak lain bernama Karjo.
Linggi mengintip dari kejauhan dan satu persatu ayah dari para bocah itu membunuh dengan kejam.Â
"biadab" tanpa pikir panjang perempuan itu berkelebat dan sekejap mata puluhan kepala bergelingding dan rumput hijau kini berubah menjadi merah karena darah.Â
"Siapa kau" tanpa basa basi lagi kakek tua itu menghentakkan kaki kirinya dan benar saja aura hitam dan siluet gagak hitam dari punggungnya keluar bak badai.
"Berani sekali kau menggangguku, perempuan hina" bentak kakek tua itu.Â
Linggi yang sudah bersiap langsung menyambut dengan pedang miliknya. Dengan mudahnya dia menghalau, terlihat senyum gadis yang imut dan manis tersimpul disudut bibirnya.Â
Adu kekuatanpun terjadi begitu lama, hingga hari menjelang sore.Â
jual beli serangan pun pecah tanpa terhindarkan.
"Sebelum aku lenyapkan sebutkan namamu cah ayu" seringai lelaki tua itu.Â
"Jangan banyak tanya kau tak pantas mengetahuinya" langsung saja perempuan itu mengayunkan pedang dengan kekuatan dahsyat tanah disana berguncang dan siluet elang emas menghantam menuju lelaki itu.
Jurus andalan Banaspati sudah dilayangkan sejak dia hidup pada masanya dulu, yang merupakan salah satu Pimpinan Bandit paling tersohor dan tak ada yang mampu mengalahkannya sebelum dia dikeroyok ribuan pendekar aliran putih hingga jiwanya terperangkap.Â
Jurus Elang Emas adalah jurus Pamungkas meski Linggi belum menguasai sepenuhnya Linggi cukup mahir karena kesedihan dan luka masa lalu menjadikannya mesin pembunuh ketika berhadapan dengan para penjahat.Â
Jiwa Linggi seolah bahkan nyaris hilang digantikan oleh kebrutalan namun, lagi dan lagi siluet orang tuanya dalam benaknya tidak pernah hilang itulah alasan mengapa Linggi masih mempertahankan kewarasannya.Â
Linggi sendiri hanya gadis polos tanpa tahu bahwa Banaspati sebenarnya menginginkan tubuh Linggi untuk membalaskan dendam masa lalunya, tapi semua hanya harapan bahkan sampai sekarang Banaspati sangat kesulitan mengendalikan Linggi.Â
Kembali ke pertempuran.Â
Tanpa diduga lelaki itu tersungkur dengan memuntahkan darah, rupanya kakek itu terkena luka dalam. Linggi terkecoh serangan kakek tua itu yang melesat ternyata mampu berbalik dan menghantamnya dari belakang.Â
Linggi terjerembab kedepan dengan luka punggung yang menganga.Â
Di kejauhan segerombolan bandit yang dipotong kepala dan anggota tubuhnya menyaksikan dengan menganga. Mereka tak percaya ada gadis dengan kekuatan dahsyat.Â
Mereka dia diam ingin melarikan diri. Dan benar saja separuh anggotanya sudah hilang entah kemana. Tak ada yang menyadarinya mereka terlalu fokus.Â
Tanpa diduga kakek itu masih mampu bangkit dan menghampiri Linggi yang terluka parah.
Dia mengeluarkan aura dahsyat dan benar saja dari punggungnya siluet gagak bertengger dengan besarnya, rupanya kekuatan andalannya akan dilancarkan untuk membunuh gadis remaja nan cantik itu.Â
Gadis itu memasang wajah waspada dan dia sudah pasrah dia lupa bahwa dia memiliki pedang jiwa. Pedang jiwa berkelebat di kehampaan seperti ronggeng. Kakek tua itu kaget matanya melotot berubah hitam dan sorotnya langsung mengahcurkan pukulan siluet dari kakek tua itu, jual beli serangan jarak jauh dan dekat tak terelakkan lagi kini mereka bertarung di kehampaan hingga tengah malam.Â
Linggi sendiri tergeletak lemas meski begitu tak ada seorangpun yang berani mendekat.Â
Darah sudah keluar dari sudut bibir gadis itu. sisa - sisa tenaganya yang terakhir menyatukan dua kekuatannya sekaligus tarian elang emas dan pukulan macan tutul bayangan membuatnya kelelahan dan akhirnya dia pingsan setelah dihantam serangan balik kakek tua itu.Â
Keesokan harinya dia akhirnya terbangun melihat sekeliling potongan tubuh kakek itu tewas bahkan dada nya yang bolong dan tanpa kepala. Tergeletak.Â
Linggi terbentang sendiri. Sejak kapan?Â
Gadis itu bernapas lega setelah memastikan kakek tua itu tewas. Akhirnya perguruan itu tumbang beserta pengikutnya dan Maung Lodaya?Â
Siang hari itu juga dan pedukuhan yang dilewati gadis itu kini sepi hanya menyisakan penduduk dan anak anak beberapa orang, saat melihat sekeliling betapa kagetnya karena pohon - pohon disana sudah terbakar habis dan cekungan cekungan tanah kini tergambar jelas dari udara.Â
"Kau harus segera moksa. Agar semakin mudah dapat mengalahkan siapapun yang berniat jahat, ingat kejahatan tidak akan habis selama manusia masih bersekutu dengan iblis dan di dalam hatinya dikuasai kebencian. " Ucap Banaspati
Linggi mengangguk mengerti. Niat mencari makan tidak jadi karena penduduk desa ketakutan setengah mati.Â
Banas Pati yang berwujud kabut hitam kemudian kembali melesat ke kening Linggi
"Baik" ucap linggi, kini dia tidak lagi takut dengan Banas Pati yang selalu hilir mudik keluar masuk tubuhnya.
Para penduduk yang selama ini terus di teror dan selalu diburu untuk ditumbalkan, pemerkosaan dan perampokkan kini berangsur bernapas lega karena kehadiran Linggi yang berhasil memusnahkan perguruan - perguruan hitam itu.Â
Beberapa tahun kemudian Linggi sudah menjelma menjadi gadis yang cantik menawan, jentik jarinya, senyum imut, lenjang, manik manik menghias rambutnya, matanya hitam yang menggoda siapapun yang melihatnya.Â
Dia melanjutkan semedinya di batu altar hitam disana dia menyempurnakan ilmunya kanuragan karena akan melanjutkan perjalanan demi perjalanan dan membasmi angkara murka di kaki gunung untuk menegakkan keadilan.Â
Kini teror yang meresahkan warga yang dia berantas sampai terdengar ke telinga kerajaan kerajaan Pajajaran dan Kasepuhan Cirebon namanya harum dan perguruan hitam tentu menjadi musuhnya bahkan sudah berpuluh - puluh perguruan hitam telah musnah.
Disudut selatan gunung yang menjulang bintang samar dari kehampaan beberapa sosok orang berilmu tinggi bahkan bisa membunuh orang dengan cara terkutuk. Mereka membunuh dengan cara menyantet.Â
Mereka sedang melancarkan aksinya mereka melakukan tradisi mengerikan puluhan orang menjadi korban, banyak orang berilmu hitam jaran goyang, dan kebatinan lainnya masih mewarnai masyarakat di kaki gunung.Â
Linggi melakukan tapabrata diatas batu hitam yang pipih dan kembali melakukan moksa guna meningkatkan daya tempur dan kebatinannya. Dia tau dia belum mampu melakukan itu sekarang.Â
"Perjuangan ini belum usai kejahatan masih merajalela"
Linggi tak mampu melakukannya sendiri apalagi dengan kekuatannya sekarang, hanya mencari kematian, itulah isi pikirannya,Â
"aku akan melakukan apapun untuk orang-orang yang aku cintai" Gumamnya.Â
Seketika angin kuat menghembus dan dalam sekejap tubuhnya menghilang menyisakan kehampaan, orang biasa hanya akan tahu kalau dia lenyap entah kemana.Â
Bagi Linggi semuanya baru saja dimulai, dan babak baru di kaki Gunung Gede yang banyak buah cerme akan menentukan arah pedang yang terhunus. dia larut dalam semedi moksa Tapabrata.
TAMAT
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI