Ritual Peu
Bayangkan Anda baru tiba di sebuah kampung di Aceh. Udara pagi masih segar, aroma kopi Arabica menyeruak dari dapur rumah, dan di depan pintu, seorang tetua menyambut dengan senyum hangat. Tangan beliau memegang segenggam beras yang bercampur daun-daun hijau wangi. Lalu, butiran beras itu ditaburkan pelan ke kepala Anda, sambil melantunkan doa-doa lirih dalam bahasa Aceh.
Itulah "Peusijuek", sebuah tradisi adat yang bukan sekadar ritual penyambutan, melainkan pernyataan cinta damai, penghormatan, dan doa tulus yang diwariskan lintas generasi.
Latar Belakang Sejarah dan Filosofi Peusijuek
Peusijuek berasal dari kata "peusijuek" yang berarti "mendinginkan" atau "menyejukkan". Dalam konteks budaya Aceh, mendinginkan tidak hanya dimaknai secara fisik, tetapi juga spiritual: menurunkan ketegangan, menghaluskan hati, dan mengundang berkah.
Tradisi ini diyakini telah ada sejak masa kerajaan-kerajaan Aceh sebelum masuknya Islam. Saat Islam berkembang di tanah rencong, Peusijuek mendapat lapisan makna baru---doa-doa Islami disisipkan dalam prosesi, sehingga menjadi perpaduan harmonis antara kearifan lokal dan nilai agama.
Dalam falsafah masyarakat Aceh, Peusijuek adalah simbol "peumulia jamee" (memuliakan tamu) dan "meupakat" (mencapai mufakat), dua nilai yang menjadi tulang punggung harmoni sosial di Aceh. Bagi orang Aceh, menerima tamu berarti menerima berkah, dan mendinginkan hati berarti memelihara persaudaraan.
Proses dan Pelaksanaan Peusijuek
Peusijuek biasanya dilakukan pada momen-momen penting:
* Penyambutan tamu kehormatan