Mohon tunggu...
Parlin Tua Sihaloho
Parlin Tua Sihaloho Mohon Tunggu... Mahasiswa

Menulis, membaca dan menonton

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dari Sawah Ke Negara: Cerita yang Tak Pernah Mereka Dengar

20 Juni 2025   23:51 Diperbarui: 16 Juli 2025   17:10 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Petani Bersuara (Creative By AI) 

Dari ladang-ladang yang tak masuk berita, ada cerita yang jarang sampai ke ruang rapat para pengambil keputusan. Cerita itu datang dari suara-suara kecil yang terlanjur dianggap biasa. Suara dari anak-anak petani, yang tumbuh bersama lumpur dan harapan, tapi tak pernah merasa didengar oleh negara.

Sejak kecil, mereka tahu bahwa nasi yang dimakan siapa pun di negeri ini tak lahir dari pidato dan papan proyek, melainkan dari tangan-tangan kasar yang menyemai benih tanpa jaminan esok. Mereka hidup dalam irama musim: jika hujan datang tepat waktu, mereka makan cukup. Jika pupuk tak tersedia, mereka terpaksa berutang. Tak ada yang istimewa dari kisah mereka, kecuali kenyataan bahwa dari kerja merekalah negeri ini berdiri.

Namun kini, ketika pemerintah bicara soal hilirisasi dan kedaulatan pangan, cerita dari sawah tetap tertinggal di pinggir jalan. Yang masuk ke panggung adalah investor besar, angka produksi, dan narasi swasembada yang penuh semangat tapi minim realitas. Benar, produksi gabah kering giling (GKG) pada 2024 mencapai 53 juta ton. Benar pula bahwa anggaran subsidi pupuk mencapai Rp 54 triliun. Tetapi tanyakanlah kepada petani kecil di desa, apakah angka-angka itu mengubah nasib mereka?

Pupuk masih langka di banyak tempat. Harga gabah jatuh setiap panen raya tiba. Petani masih kalah dari tengkulak, dari sistem distribusi yang timpang, dari pasar yang tak ramah pada mereka yang menanam. Mereka tidak butuh laporan keberhasilan, mereka butuh kehadiran nyata: pendampingan, jaminan harga, dan hak untuk menentukan nasib sendiri.

Yang lebih mengkhawatirkan adalah ketika negara mulai melibatkan militer dalam urusan pangan. Seolah pertanian adalah persoalan komando. Seolah ladang bisa digarap dengan perintah dan strategi operasi. Padahal, bagi petani, bertani bukan hanya soal produksi, tapi tentang hidup itu sendiri.

Pertanyaan pun lahir: apakah negara kekurangan petani? Atau sebenarnya negara sudah tak percaya lagi pada mereka? Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani sejatinya sudah memandatkan pemerintah untuk menjamin harga, melindungi petani dari risiko, dan menyediakan sarana produksi secara adil. Tapi kenyataannya, pasal demi pasal masih tersekat antara meja birokrasi dan realitas di lapangan. Petani tetap menjadi objek, bukan subjek dalam kebijakan pangan nasional.

Anak-anak petani ingin didengar. Mereka tidak bicara dengan suara lantang, tapi dengan kesabaran dan ketekunan. Mereka tidak menuntut jabatan, hanya keadilan. Mereka tidak mengerti semua istilah hilirisasi, tapi mereka tahu kapan tanah tak lagi subur karena negara lebih sibuk memanggil seragam daripada menyapa yang bersandal lumpur. Maka dari sawah-sawah yang sunyi itu, lahir satu pesan: "berhentilah membuat kebijakan pangan tanpa menyertakan mereka yang menanam." Hilirisasi pertanian bukan soal mobilisasi militer, tapi soal keberpihakan kepada petani kecil. Soal membuat negara kembali melihat ke bawah, dan menjadikan suara mereka sebagai bagian dari arah pembangunan.

Dari sawah ke negara, ada cerita yang tak pernah mereka dengar. Tapi cerita itu tak akan hilang, karena selama masih ada yang menanam, akan selalu ada yang berharap: bahwa suatu hari, negara benar-benar datang. Bukan untuk memimpin ladang, tapi untuk mendengarkan dan berjalan bersama mereka.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun