Mohon tunggu...
Parlin Pakpahan
Parlin Pakpahan Mohon Tunggu... Saya seorang pensiunan pemerintah yang masih aktif membaca dan menulis.

Keluarga saya tidak besar. Saya dan isteri dengan 4 orang anak yi 3 perempuan dan 1 lelaki. Kami terpencar di 2 kota yi Malang, Jawa timur dan Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Di Bawah Kanopi Kenangan

2 Oktober 2025   18:24 Diperbarui: 2 Oktober 2025   18:24 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pohon Kanopi di depan Cor Jesu dan di sepanjang Jakgung Suprapto. Foto : Parlin Pakpahan.

Di Bawah Kanopi Kenangan

Pagi itu aku berangkat ke kantor BTPN di Jalan Jaksa Agung Suprapto (Jakgung Suprapto). Setibanya, rupanya mesin ATM sedang bermasalah. Alih-alih menunggu di dalam bank, aku memilih berkeliling kawasan sekitar - salah satunya melewati Kolese Cor Jesu, tempat anak-anakku dulu bersekolah. Di sinilah kerinduan itu muncul kembali, menyelimuti langkah kaki yang mengitari masa lalu.

Kulangkahkan kaki ke warung kopi favorit lama : Warkop Fajar Baru. Warung kecil yang sudah lama kukunjungi itu kini telah berganti petugas - tak tampak lagi wajah lama yang kukenal. Sekarang ada dua orang : satu ceplas-ceplos bercanda, satu lagi lebih serius. Tapi menu kopi tetap setia : tubruk padang dan tubruk ireng. Aku memesan tubruk padang, meski tak pernah tahu asal-usul nama "padang"-nya.

Sambil menunggu, pandanganku melayang ke bangunan tua di seberang jalan: bekas toko kelontong di sebelah Cor Jesu, tempat anak-anak dulu jajan. Di sampingnya berdiri bengkel kecil; seorang lelaki tua dengan topi tentara tengah membasuh bagian kerangka motor, sedangkan seorang karyawan muda membersihkan body Honda bebek. Tubuh motor itu sedang dipersiapkan untuk pengecatan ulang.

Pak Arie yg sudah tua tetap rajin dan disiplin berbengkel. Foto : Parlin Pakpahan.
Pak Arie yg sudah tua tetap rajin dan disiplin berbengkel. Foto : Parlin Pakpahan.

Tak ramai di jalan itu. Namun daripada terus menunggu di BTPN yang belum berfungsi ATM-nya, aku memilih menikmati waktu. Lapang pikiran, seraya meresapi kenangan masa lalu : sekolah, jajan Engkoh Mie Ayam, tawa anak-anak kecil, langkah pulang ke rumah lewat gang-gang sempit. Banyak hal hilang dimakan waktu. Mie ayam Engkoh kini tak bisa kutemukan lagi. Engkoh ternyata sudah berpulang dalam cara misterius.

Kopi tubruk padang pun datang - masih panas. Kuhirup perlahan, seraya berpaling ke bengkel. Aku menyapa, mencoba membuka obrolan. Pemilik bengkel itu bernama Pak Arie, usia 73 tahun. Ia tinggal di gang di belakang SD Cor Jesu. Aku menyebut bahwa aku dulu menyekolahkan anak-anakku di sekolah itu. Wajahnya teduh, namun sorot matanya menyimpan kelelahan dimakan zaman.

Ia mengeluh tentang kebijakan pajak terhadap pedagang UMKM di gang-gang kecil tempat tinggalnya. "Untungnya tak seberapa, tapi harus membayar terus ... bagaimana melanjutkan hidup?" katanya. Ia memandang perubahan zaman : dulu orang bisa hidup sederhana, mencari rezeki saja tanpa beban regulasi yang terlalu berat. Sekarang, katanya, semua serba dipajaki, dipatok.

Obrolan kami melaju ke kenangan masa kecilnya. Kota Malang waktu itu belum padat. Sawah dan kebun masih luas, penduduk masih sedikit. Kisah-kisah tentang genderuwo sering terdengar - bukan sebagai fiksi belaka, tetapi bagian dari dunia imajinasi warga di zaman sepi ruang. Kini, katanya, ruang kosong itu sudah menghilang, digantikan rumah-rumah, jalan-jalan, dan gedung-gedung. "Mungkin genderuwo pindah, tak betah tinggal di kota padat," ia bercanda.

Pak Arie berduet dengan karyawannya dalam membersihkan rangka motor utk dicat ulang. Foto : Parlin Pakpahan.
Pak Arie berduet dengan karyawannya dalam membersihkan rangka motor utk dicat ulang. Foto : Parlin Pakpahan.

Dia kemudian berkata, "Dari Kolese Cor Jesu ini dipastikan orangnya jadi semua - termasuk anak-anak Bapak." Aku tertawa kecil dan terdiam sebentar, menyadari sekolah itu menelurkan generasi yang kemudian menyebar ke berbagai kota, termasuk anak-anakku yang kini banyak tinggal di Jakarta.

Kuteguk kopi tubruk padang itu hingga habis. Kubayar dan melangkah kembali ke arah BTPN, lewat bagian depan Cor Jesu yang menghadap jalan. Kanopi pepohonan di sepanjang Jakgung Suprapto tetap tegak - menyaring cahaya, melindungi bangunan dan kenangan yang menyelinap di antara dedaunan.

Sejarah Cor Jesu dan Jalan Jaksa Agung Suprapto

Cor Jesu di Malang adalah lembaga pendidikan Katolik yang dikelola oleh ordo suster Ursulin. Karya Ursulin di Malang bermula ketika tiga suster - Sr. Xavier Smets, Sr. Aldegonde Flekcen, Sr. Martha Bierings - tiba di Malang pada 6 Pebruari 1900.

Warkop Fajar Baru di sebelah bengkel Pak Arie. Foto : Parlin Pakpahan.
Warkop Fajar Baru di sebelah bengkel Pak Arie. Foto : Parlin Pakpahan.

Menempati biara di Jalan Celaket (nama lama untuk kawasan yang kini bagian dari Jaksa Agung Suprapto) dan pada 1 Maret 1900 membuka taman kanak-kanak. Kemudian, pada 1 Mei 1900, mereka mendirikan SD dan asrama.

Sekolah kemudian berkembang : pendidikan guru Santo Agustinus didirikan pada 21 Juli 1903.

Setelah masa kemerdekaan, sekolah SMAKS/ SMA Cor Jesu pernah dibumihanguskan saat Agresi Militer Belanda I (1947) dan kemudian dibangun kembali tahun 1951. Saat dibangun ulang, pemerintah memberikan bantuan Rp 256.000.

Pendirian SMAKS Cor Jesu secara formal tercatat 15 Juli 1951. Gedung sekolah tersebut memiliki gaya arsitektur kolonial dan menjadi salah satu bangunan dengan status sebagai cagar budaya di Malang.

Jalan Jaksa Agung Suprapto / Tjelaket / Celaket

Pohon Kanopi di depan Cor Jesu dan di sepanjang Jakgung Suprapto. Foto : Parlin Pakpahan.
Pohon Kanopi di depan Cor Jesu dan di sepanjang Jakgung Suprapto. Foto : Parlin Pakpahan.

Jalan Jaksa Agung Suprapto dulunya dikenal sebagai Tjelaket (atau Celaket) pada masa kolonial Belanda. Jalan ini adalah koridor penting kota Malang, menghubungkan pusat kota ke arah utara (menuju Surabaya) sejak awal abad ke-20.

Di sepanjang koridor tersebut berdiri banyak bangunan kolonial kuno, seperti Cor Jesu sendiri, bangunan Frateran, Toko Avia, maupun bangunan bergaya arsitektur Amsterdam School dan gaya Romantiek.

Kajian arsitektur dan koridor jalan ini menyebut koridor Jaksa Agung Suprapto sebagai ruang kota yang penting, baik dari sisi sosial budaya maupun dari aspek estetika.

Misalnya, penelitian tentang pelestarian koridor menyebut koridor ini berisi sekitar 98 bangunan lama yang tampak dari ruas jalan, di antaranya 15 bangunan kuno dengan nilai sejarah tinggi seperti Cor Jesu, Frateran, dan Bank lama. Bangunan Cor Jesu sendiri termasuk yang dianggap prioritas dipreservasi.

Jembatan Celaket juga merupakan bagian dari garis infrastruktur kolonial di kawasan itu. Pada 1917, jembatan tersebut dibangun oleh arsitek Belanda bernama Herman Thomas Karsten, sebagai bagian jaringan transportasi kota.

Sejarah Kota Malang

Secara keseluruhan, koridor Jaksa Agung Suprapto / Celaket membawa identitas kota lama - sebagai ruang transit dan sebagai ruang pendidikan, perdagangan, dan hunian - yang tumbuh dan berubah seiring zaman.

Memadukan Sejarah dan Narasi Pribadi

Cerita kopi tubruk padang, tukang bengkel, warung tua, dan langkah kaki melewati sekolah bukan hanya catatan pribadi - ia beriringan dengan lapisan-lapisan sejarah kota. Keberadaan Cor Jesu sejak awal abad ke-20 menjadikan sekolah itu bukan semata bangunan, melainkan lembaga yang tumbuh bersama kota Malang. Ia menjadi saksi zaman, perubahan, dan penerus generasi.

Jalan Jaksa Agung Suprapto bukan hanya akses lalu lintas. Ia adalah koridor kenangan kota, membentang dari masa kolonial hingga kini, membawa bangunan-bangunan kuno sebagai "monumen hidup" yang menghubungkan masa lalu dan masa sekarang. Ketika aku berjalan di bawah kanopi pepohonan di jalan itu, aku tidak hanya melihat pohon dan trotoar - aku melihat bayangan masa lalu yang masih ikut berdiri.

Keluhan Pak Arie tentang beban pajak untuk pedagang kecil di gang sempit adalah cermin relasi kekuasaan dan ekonomi di zaman modern. Zaman dulu, ruang sosial lebih longgar, regulasi belum sekompleks sekarang. Zaman sekarang, kota padat, regulasi padat; orang kecil sering tersingkir oleh tuntutan administratif dan tekanan ekonomi.

Kenangan masa kecil - jajan Engkoh Mie Ayam, menunggu jemputan di depan sekolah, mencium aroma bubuk kopi dan mie ayam - bukan sekadar ingatan sentimental. Ia adalah elemen identitas yang menghubungkan manusia dengan tempat. Ketika tempat itu berubah, tinggal sebagian kenangan yang bisa dibawa.

Di bawah rindang kanopi jalan Jaksa Agung Suprapto, aku merasakan kota adalah jiwa dalam rupa. Gedung tua, pepohonan, warung kopi, motor yang dicat ulang - semuanya adalah fragmen cerita, fragmen yang terus hidup selama ada yang dikenang.

Dalam perjalanan pulang ke BTPN, hujan kenangan menyusup ke relung hati. Waktu boleh terus berjalan, bangunan boleh mengalami perombakan, manusia boleh mengalami perpindahan. Tapi kenangan dan sejarah - bila dirawat - selalu punya ruang untuk kembali.

Joyogrand, Malang, Thu', Oct' 02, 2025.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun