Dari Rasionalitas ke Retorika : Ekonomi Indonesia di Persimpangan
Sejarah ekonomi Indonesia mencatat pergeseran mendasar dalam cara negara ini mengelola perekonomian. Pada era Orde Baru, terutama sejak dekade 1970-an, kebijakan ekonomi dijalankan dengan disiplin teknokratis di bawah kepemimpinan Widjojo Nitisastro dan tim ekonom Universitas Indonesia. Rasionalitas ekonomi menjadi panglima. Setiap keputusan strategis ditimbang melalui kalkulasi biaya-manfaat, cost-effectiveness, serta analisis teknis yang relatif steril dari nuansa politis. Hasilnya, meskipun terdapat masalah serius pada aspek demokrasi dan HAM, stabilitas makroekonomi relatif terjaga, inflasi terkendali, dan Indonesia menjadi negara berkembang dengan pertumbuhan yang cukup impresif.
Namun, di era demokrasi kontemporer, lanskap itu berubah drastis. Rasionalitas ekonomi yang dingin dan kaku tidak lagi menjual. Dalam kompetisi elektoral yang ketat, kebijakan publik kini hadir dalam bentuk narasi, slogan, dan storytelling. Hilirisasi, kedaulatan pangan, ekonomi kerakyatan, revolusi industri 4.0, hingga green economy - semuanya dipasarkan bukan sebagai kalkulasi teknokratis, melainkan sebagai imajinasi kolektif yang menggerakkan hati dan pikiran publik. Ekonomi semakin dekat dengan retorika politik.
Era Teknokrat : Rasionalitas sebagai Panglima
Para teknokrat Orde Baru - sering dijuluki "Mafia Berkeley" - berpegang pada prinsip bahwa kebijakan ekonomi harus berbasis pada angka, analisis, dan disiplin fiskal. Widjojo Nitisastro menegaskan, "Stabilitas merupakan syarat mutlak untuk pertumbuhan. Tanpa stabilitas, semua rencana tinggal di atas kertas" (Nitisastro, Ekonomi Indonesia di Masa Orde Baru, 1983).
Kebijakan industrialisasi, pembangunan infrastruktur dasar, serta pengendalian harga kebutuhan pokok dilakukan dengan cermat. Tidak ada narasi bombastis seperti "Indonesia Emas" atau "Revolusi 4.0." Semua digerakkan oleh dokumen rencana pembangunan lima tahun (Repelita) yang ketat dan terukur. Rasionalitas ekonomi kala itu memang kerap dituding terlalu elitis dan abai terhadap distribusi kesejahteraan. Namun, disiplin kebijakan memberi kepastian bagi pelaku usaha dan investor.
Demokrasi dan Kebangkitan Retorika Ekonomi
Memasuki era reformasi, dengan kompetisi politik yang semakin terbuka, logika teknokratik mulai bergeser. Politisi menyadari masyarakat pemilih tidak dapat digerakkan hanya dengan angka pertumbuhan atau tabel defisit fiskal. Publik lebih mudah disentuh dengan narasi besar yang membangkitkan optimisme kolektif.
Era Presiden Joko Widodo menandai akselerasi retorika ini. Kata-kata seperti hilirisasi dan ekonomi kerakyatan menjadi mantra pembangunan. Dalam pidato kenegaraannya di DPR tahun 2019, Jokowi menegaskan: "Kita harus menjadikan hilirisasi industri sebagai kunci agar sumberdaya alam kita memberikan nilai tambah besar bagi bangsa" (Sekretariat Presiden RI, 16 Agustus 2019).
Namun, di lapangan banyak kontradiksi. Larangan ekspor bijih nikel memang mendorong pembangunan smelter, tetapi juga menimbulkan gugatan internasional di WTO dan ketergantungan pada investor asing, khususnya dari China. Narasi ekonomi kemudian bergeser menjadi alat komunikasi politik. Storytelling menggantikan tabel statistik.
Di bawah Presiden Prabowo, pola ini tidak hanya berlanjut, tetapi menjadi lebih galak. Dalam pidato kemenangannya 2024, ia berkata: "Visi kita adalah Indonesia Emas 2045. Kuncinya persatuan, stabilitas, dan pembangunan sumberdaya manusia" (CNN Indonesia, 20 Pebruari 2024). Optimisme masa depan dikemas dalam retorika besar yang seolah-olah mampu menyelesaikan masalah struktural hanya dengan persatuan dan stabilitas. Rasionalitas ekonomi dipinggirkan.
Retorika Kesehatan dan SDM
Salah satu contoh nyata adalah dalam isu pembangunan sumberdaya manusia. Pemerintah menyampaikan narasi bahwa Indonesia Emas 2045 hanya dapat tercapai bila kita memiliki SDM unggul. Ratio dokter terhadap penduduk menjadi simbol keseriusan.
Namun, wacana ini kerap berhenti pada slogan. Rasionalitas teknokratis seharusnya menghitung kebutuhan riil, kapasitas pendidikan kedokteran, distribusi tenaga medis dan alokasi anggaran yang realistis. Sebaliknya, retorika kesehatan sering dikemas dalam bentuk pidato dan target besar tanpa roadmap yang rinci. Publik terbuai, tetapi masalah struktural tetap membelenggu.
UMKM dalam Bayang-Bayang Narasi
Sektor UMKM sering dijadikan objek retorika ekonomi. Hampir setiap rezim politik menekankan pentingnya UMKM sebagai tulang punggung perekonomian nasional. Jokowi, misalnya, pernah menyatakan : "UMKM adalah tulang punggung ekonomi kita, mereka harus naik kelas dan go digital" (Kompas, 12 Oktober 2020).
Namun realitas di lapangan jauh lebih kompleks. Akses UMKM ke permodalan murah masih sangat terbatas. Persyaratan pinjaman perbankan sering memberatkan, sementara platform teknologi besar justru mempersempit margin keuntungan para pedagang kecil. Rasionalitas ekonomi menuntut pembenahan ekosistem pembiayaan dan regulasi persaingan. Sayangnya, yang lebih banyak terdengar hanyalah seruan untuk "naik kelas," tanpa solusi struktural nyata.
Pertahanan : Antara Retorika Kemandirian dan Ketergantungan
Fenomena serupa terjadi di sektor pertahanan. Indonesia kerap mengumandangkan narasi kemandirian alutsista. PT Pindad memproduksi senjata ringan, panser Anoa, dan kendaraan tempur lainnya. Retorika kemandirian industri pertahanan sering muncul dalam forum publik.
Namun, kenyataan menunjukkan kita tetap bergantung pada impor senjata strategis. Pembelian jet tempur Rafale dari Perancis dan Kaan dari Turki menjadi bukti. Prabowo bahkan menegaskan dalam kunjungannya ke Paris : "Kita butuh alutsista modern untuk menjaga kedaulatan, tidak ada kompromi dalam pertahanan negara" (Le Monde, 10 Juni 2022).
Retorika kedaulatan industri pertahanan berakhir dengan ketergantungan pada pemasok asing. Rasionalitas ekonomi akan menanyakan: berapa biaya operasional jangka panjang, apakah ada transfer teknologi yang nyata, dan seberapa efektif produk impor ini terhadap kebutuhan pertahanan kita. Sayangnya, pertanyaan rasional sering tenggelam dalam retorika kemandirian.
Konsekuensi Retorika Ekonomi
Dominasi retorika dalam kebijakan ekonomi membawa beberapa konsekuensi serius :
Ketidakselarasan antara janji dan realitas. Narasi besar memicu ekspektasi publik yang tinggi, tetapi tanpa implementasi teknis yang matang, hasilnya mengecewakan.
Distorsi prioritas anggaran. Slogan yang populer sering mendapat porsi anggaran besar meski tidak efisien secara ekonomi. Proyek mercusuar lebih diprioritaskan daripada perbaikan struktural.
Menurunnya kredibilitas kebijakan. Ketika retorika tidak diikuti dengan hasil nyata, publik menjadi skeptis. Kredibilitas negara dalam menarik investor pun bisa merosot.
Ketergantungan pada simbol. Rasionalitas ekonomi yang seharusnya menjadi fondasi terabaikan, digantikan oleh simbol-simbol politik.
Mencari Keseimbangan : Rasionalitas dan Narasi
Pergeseran dari rasionalitas ke retorika bukanlah sesuatu yang sepenuhnya negatif. Dalam demokrasi, pemerintah memang membutuhkan narasi besar untuk menggerakkan dukungan publik. Storytelling mampu membangun optimisme dan rasa memiliki terhadap agenda pembangunan.
Namun, yang berbahaya adalah ketika retorika sepenuhnya menggantikan rasionalitas. Jalan tengahnya adalah mengawinkan keduanya. Narasi boleh ada, tetapi harus berbasis pada analisis teknokratis yang kuat. Angka-angka harus tetap menjadi fondasi, meskipun disampaikan dengan bahasa yang lebih populer.
Misalnya, visi "Indonesia Emas 2045" akan lebih kredibel jika didukung roadmap detail : berapa kebutuhan anggaran pendidikan, berapa target pertumbuhan industri, bagaimana strategi ketahanan pangan yang konkret. Demikian pula, retorika kemandirian pertahanan harus dijalankan bersama investasi serius dalam riset dan pengembangan industri dalam negeri.
Sejarah ekonomi Indonesia menunjukkan kita pernah hidup dalam era rasionalitas teknokratik, di mana kalkulasi ekonomi menjadi panglima. Kini, di era demokrasi dan kompetisi elektoral, retorika dan narasi mendominasi panggung kebijakan. Hilirisasi, ekonomi kerakyatan, green economy, hingga kemandirian pertahanan lebih banyak hadir sebagai slogan ketimbang strategi detail.
Tantangan terbesar Indonesia ke depan adalah menemukan keseimbangan. Retorika memang diperlukan untuk menggerakkan hati rakyat, tetapi fondasinya harus tetap rasionalitas ekonomi. Tanpa itu, narasi besar hanya akan menjadi ilusi kolektif yang pada akhirnya menjerumuskan bangsa ke dalam ketergantungan baru.
Indonesia tidak boleh puas dengan kata-kata. Kita membutuhkan keberanian untuk kembali pada disiplin teknokratis, sambil tetap menjaga semangat demokrasi. Hanya dengan cara itu, visi besar seperti Indonesia Emas 2045 dapat diwujudkan, bukan sekadar dijadikan retorika politik.
Lihat :
Nitisastro, Widjojo. Ekonomi Indonesia di Masa Orde Baru. Jakarta: LP3ES, 1983.
Sekretariat Presiden RI. "Pidato Kenegaraan Presiden Joko Widodo." 16 Agustus 2019.
CNN Indonesia. "Pidato Kemenangan Prabowo Subianto." 20 Pebruari 2024.
Kompas. "Jokowi: UMKM Harus Naik Kelas dan Go Digital." 12 Oktober 2020.
Le Monde. "L'Indonsie commande 42 Rafale la France." 10 Juni 2022.
Joyogrand, Malang, Tue', Sept' 30, 2025.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI