Persimpangan Jalan : Stabilitas Semu dan Bayangan Otoritarianisme
Kerusuhan yang merebak di Jakarta dan sejumlah kota besar beberapa waktu terakhir meninggalkan bekas luka dalam pada wajah demokrasi Indonesia. Video amatiran yang beredar luas di media sosial menampilkan potret suram : gedung Mako Brimob terbakar, kantor-kantor polsek di berbagai penjuru negeri dirusak massa, hingga rumah sejumlah tokoh politik dan pejabat negara dijarah habis-habisan. Dari rumah anggota DPR Ahmad Syahroni di Tanjung Priok, kediaman Eko Patrio di Setiabudi, rumah publik figur Uya Kuya di Duren Sawit, hingga rumah Menteri Keuangan Sri Mulyani di Bintaro - semuanya menjadi sasaran kemarahan publik.
Fenomena ini memunculkan tanda tanya besar: mengapa penjarahan dan perusakan ini mengalir begitu saja, seakan tidak ada daya tangkal negara? Apakah amarah rakyat memang telah mereda setelah "katup pelepas tekanan" berupa penjarahan tersebut, atau justru menyisakan bara dalam sekam yang sewaktu-waktu dapat menyala kembali?
Kerusuhan, Penjarahan, dan Krisis Legitimasi
Sejumlah pengamat dan influencer memberikan interpretasi berbeda terhadap peristiwa ini. Peter Gontha, misalnya, menyoroti perilaku Wakil Menteri Tenaga Kerja Imanuel Ebenezer Gerungan alias Noel, yang dianggapnya mencoreng reputasi publik Kawanua. Meilanie Buitenzorgie berasumsi bahwa penjarahan rumah Sri Mulyani adalah semacam "tumbal politik", dibiarkan tanpa perlindungan aparat untuk meredakan amarah publik. Muhammad AS Hikam justru mengarahkan perhatian pada Presiden Prabowo: apakah ia akan menanggapi kritik dengan kedewasaan atau malah menampilkan arogansi?
Yang jelas, amarah publik sudah menembus lapisan elite politik. Syahroni, salah satu anggota DPR yang rumahnya dijarah, bahkan melontarkan kritik pedas : "Polri kita lemah, kalah sama premanisme." Ia menyoroti betapa mudahnya mobil mewahnya dibakar, brankas rumahnya dijarah, dan aparat seolah tidak berdaya. Keluhan ini memperlihatkan betapa keroposnya wibawa negara di mata rakyat, sekaligus mengindikasikan krisis legitimasi yang lebih dalam.
Pidato Presiden : Antara Simbol dan Represi
Dalam konteks inilah Presiden Prabowo menyampaikan pidato penting pada 31 Agustus lalu. Secara retoris, pidato itu berusaha menampilkan keseimbangan: mengakui hak kebebasan berpendapat sebagaimana diatur dalam ICCPR Pasal 19 dan UU No. 9/1998, tetapi di sisi lain menegaskan perintah tindakan tegas kepada TNI dan Polri. Namun jika dicermati lebih dalam, pidato ini sarat dengan asimetri.
Janji akuntabilitas hanya sebatas pemeriksaan aparat oleh Polri sendiri, tanpa komitmen investigasi independen. Bagian terkuat pidato justru terletak pada instruksi koersif dengan label "makar" dan "terorisme" yang ditempelkan pada protes rakyat. Dengan demikian, pidato ini membuka jalan bagi kriminalisasi demonstrasi, menegaskan prioritas negara : menjaga stabilitas ketimbang memulihkan kepercayaan publik.
Dari perspektif politik, ini adalah pola klasik authoritarian resilience - di mana legitimasi formal ditampilkan, tetapi isi kebijakan lebih mengutamakan jalur koersif ketimbang reformasi substantif.