Prabowo di Panggung PBB : Antara Two State Solution dan Kepentingan Nasional
Kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke New York pada September 2025 untuk menghadiri Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang ke-80 menandai momen penting dalam diplomasi Indonesia. Ini adalah pertama kalinya dalam satu dekade seorang Presiden Republik Indonesia hadir langsung di forum bergengsi tersebut. Presiden ke-7, Joko Widodo, selama 10 tahun masa jabatannya, memilih tidak pernah hadir langsung, melainkan diwakilkan oleh pejabat setingkat menteri luar negeri. Karena itu, kehadiran Prabowo sekaligus membawa ekspektasi besar dari publik tentang bagaimana Indonesia menampilkan wajah diplomasi barunya di panggung internasional.
Namun, alih-alih menitikberatkan pidato pada isu-isu strategis yang langsung berkaitan dengan kepentingan nasional, informasi resmi justru menyebutkan bahwa Presiden Prabowo akan berbicara mengenai two state solution - isu klasik Timur Tengah yang sudah puluhan tahun tidak menemukan jalan keluar. Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar: sejauh mana relevansi isu tersebut terhadap kepentingan nasional Indonesia, dan apakah pilihan tema itu justru mengabaikan tantangan nyata yang sedang dihadapi bangsa?
Panggung Multilateral dan Agenda Indonesia yang Terabaikan
Tema besar Sidang Umum PBB ke-80 adalah "Better Together, Eight Years and More for Peace, Development and Human Rights". Sebuah tema yang menekankan semangat multilateralisme, kolaborasi global, serta penegakan perdamaian dan hak asasi manusia. Dalam konteks ini, Indonesia seharusnya memiliki peluang emas untuk menyoroti persoalan strategis yang tengah menghambat pembangunan nasional maupun keterlibatan kita dalam perdagangan global.
Pertama, masalah perdagangan global. Indonesia saat ini mengalami kesulitan mengekspor komoditas unggulan ke negara-negara maju. Kasus ekspor udang ke Amerika Serikat, yang ditolak dengan alasan dugaan kontaminasi radioaktif, adalah contoh nyata betapa mudahnya kepentingan dagang negara berkembang dipatahkan oleh standar non-tarif yang sering kali sarat kepentingan politik. Jika Presiden menggunakan panggung PBB untuk menegaskan perlunya mekanisme penyelesaian sengketa perdagangan yang lebih adil - misalnya melalui hotline antar kepala negara atau mediasi independent - maka hal itu jelas akan lebih langsung menyentuh kepentingan ekonomi nasional.
Kedua, isu Laut China Selatan (LCS). Konflik di kawasan ini bukan hanya soal perebutan wilayah, tetapi juga menyangkut akses perairan internasional, keamanan jalur perdagangan dan kedaulatan teritorial. Indonesia, yang secara langsung berhadapan dengan implikasi ekspansi Beijing, sangat membutuhkan forum global untuk menegaskan mediasi internasional perlu melibatkan Mahkamah Internasional atau mekanisme arbitrase terbuka. Mengangkat isu ini di PBB tidak hanya akan menunjukkan kepemimpinan regional Indonesia, tetapi juga sekaligus melindungi kepentingan nasional di masa mendatang.
Ketiga, warisan kolonial. Hingga kini, Indonesia masih menghadapi persoalan batas teritorial dengan sejumlah negara tetangga, sebagian besar merupakan warisan batas kolonial yang kabur dan tumpang tindih. Membawa isu ini ke forum PBB akan memberi tekanan agar ada mekanisme global yang mengawasi dan mendorong penyelesaian damai sengketa perbatasan yang kerap menghambat pembangunan ekonomi di wilayah perbatasan.
Sayangnya, semua agenda strategis itu tampaknya tidak menjadi prioritas dalam pidato Presiden. Fokus justru diarahkan pada two state solution, sebuah isu yang secara emosional mungkin mendapat simpati di dalam negeri, tetapi secara praktis tidak menambah nilai langsung bagi kepentingan nasional Indonesia.
Two State Solution : Simbolisme atau Kepentingan Nyata?