Peradaban dalam Persimpangan
Barat sedang berkonflik dengan dirinya sendiri. Ungkapan ini bukan sekadar pernyataan retoris, melainkan sebuah diagnosis tajam terhadap situasi kontemporer di mana fondasi nilai-nilai liberal yang mendefinisikan Barat pasca-Perang Dunia II kini mengalami pembusukan dari dalam. Nathan Gardels, dalam kolomnya di Noema (11 Juli 2025), menegaskan benturan nilai dan norma bukan lagi datang dari luar -- dari dunia fanatik Timur Tengah seperti era 9/11 -- tetapi dari negara-negara peradaban mapan seperti Rusia dan China, bahkan dari dalam jantung peradaban Barat sendiri : Amerika Serikat.
Gardels, dalam tradisi pemikiran Samuel Huntington, mengungkap bahwa penolakan terhadap liberalisme global kini menjadi pendorong munculnya bentuk baru "nasionalisme peradaban" - suatu gerakan yang menolak dekulturasi dan mempromosikan identitas tradisional. Namun, pertanyaan yang relevan untuk kita di Asia dan Afrika : Apakah gejolak ini sepenuhnya khas Barat, atau justru membuka ruang refleksi bagi negara-negara yang menjalani modernisasi tanpa pernah benar-benar meninggalkan tradisinya.
Dekulturasi dan Krisis Identitas Barat
Ilmuwan politik Perancis, Olivier Roy, menyebut yang tengah terjadi di Barat bukanlah transformasi budaya biasa, melainkan "dekulturasi" - lenyapnya norma dan nilai yang dulu dianggap sebagai warisan bersama. Ini bukan sekadar soal kebebasan berekspresi atau penerimaan terhadap keragaman gender dan orientasi seksual, melainkan pergeseran nilai secara total, dari sesuatu yang terwariskan menuju sesuatu yang dipilih dan ditegaskan secara agresif.
Dalam konteks ini, masyarakat liberal Barat menjadi arena pertarungan berbagai identitas yang saling berebut panggung, dari gerakan "woke" hingga kelompok identitas agama dan budaya yang sebelumnya terpinggirkan. Perang budaya ini bukan soal konten semata, melainkan tentang siapa yang memiliki otoritas untuk menormalkan norma.
Perdebatan seputar konstitusi Uni Eropa dua dekade lalu mengilustrasikan dilema ini : apakah Eropa adalah warisan Kristen yang sekular, atau "gaya hidup" liberal pasca-1960-an. Nathan Gardels menyebut benturan ini sebagai "Paus versus Madonna". Ketika akar tradisional ditolak, maka liberalisme Eropa menjadi tanpa fondasi, melayang, dan rentan ditinggalkan oleh generasi baru yang merindukan "makna" dan "akar."
Kebangkitan Nasionalisme Peradaban
Di tengah kebingungan nilai itulah muncul respons berupa nasionalisme peradaban. Ini bukan nasionalisme sempit berbasis ras, melainkan kebangkitan identitas kolektif berdasarkan peradaban -- tradisi, agama, keluarga, bahkan bahasa dan sejarah yang mengikat komunitas politik.
Trumpisme di AS adalah contoh konkret, sebagaimana disebut oleh Nathan Gardels dan diamini oleh survei ECFR : Revolusi MAGA menular ke Eropa. Dari Giorgia Meloni di Italia hingga Viktor Orban di Hungaria, bahkan ke partai sayap kanan seperti AfD di Jerman dan Rassemblement National di Perancis, semua mengadopsi narasi tentang keluarga, bangsa, dan peradaban sebagai fondasi politik baru.