Kita patut bertanya : apakah yang dicari dalam pembangunan pariwisata - pemasukan uang atau pemulihan martabat dan alam.
Kita sering tergoda oleh janji-janji "kesejahteraan rakyat" dari investor, namun lupa bahwa setiap pembangunan selalu punya ongkos sosial dan ekologis. Ketika danau tercemar, hutan gundul, dan masyarakat adat terusir, kita kehilangan jauh lebih banyak daripada yang kita dapat.
Model pariwisata berkelanjutan harus mengedepankan pelibatan masyarakat lokal sebagai pelaku utama, bukan sekadar penonton atau korban. Mereka harus dilibatkan dalam perencanaan, pengambilan keputusan, dan pengelolaan kawasan wisata.
Model community-based tourism (CBT) di beberapa negara ASEAN seperti Thailand dan Filipina bisa menjadi rujukan penting.
Powerboat dan Panggung Dunia : Investasi Atas Nama Reputasi
Dua kali Indonesia menjadi tuan rumah powerboat internasional di Danau Toba menjadi bukti betapa pemerintah getol menjadikan kawasan ini etalase Indonesia di mata dunia. Namun, apakah semua pihak merasa bangga.
Tidak semua. Di balik kilauan event internasional itu, rakyat kecil masih harus berjuang menuntut pengakuan atas tanah adat mereka. Infrastruktur yang dibangun justru membuat mereka terusir, bukan diberdayakan.
Kita perlu mendefinisikan ulang makna "kebanggaan nasional". Apakah hanya diukur dari liputan media internasional, atau dari bagaimana masyarakat lokal benar-benar merasa dihargai dan dimakmurkan.
Rebut Kembali Green Card UNESCO : Jalan Masih Panjang
Perjuangan mempertahankan status Geopark Kaldera Toba kini menjadi tugas bersama. Namun, kerja ini tak bisa hanya diserahkan kepada lembaga-lembaga birokratik atau panitia formal.
Kunci utama keberhasilan UNESCO Global Geopark bukanlah plang nama atau brosur, tapi penguatan kapasitas masyarakat lokal dan integritas tata kelola lingkungan. Tanpa itu, upaya revalidasi UNESCO akan sia-sia, dan kartu hijau akan tinggal kenangan.