Karena pada akhirnya, geopark bukanlah semata label atau daya tarik turisme, tetapi komitmen global terhadap konservasi, pendidikan, dan pembangunan berkelanjutan.
Masyarakat Adat : Pemilik Sejati Lingkar Toba yang Terpinggirkan
Tidak mungkin membicarakan pariwisata Danau Toba tanpa menyebut masyarakat adat. Mereka bukan hanya pewaris tanah, tetapi juga pewaris nilai-nilai ekologis dan kosmologis yang telah menjaga dan membentuk lanskap Danau Toba selama ratusan tahun.
Namun selama ini, peran mereka dalam pembangunan wisata cenderung bersifat simbolik : dijadikan latar foto, disuruh menari dalam acara pembukaan, atau diundang dalam rapat formalitas. Di luar itu, mereka terusir pelan-pelan dari tanahnya.
Salah satu kasus paling menyakitkan adalah penguasaan lahan adat di kawasan Humbang Hasundutan, Tapanuli Utara, dan Toba oleh perusahaan besar Toba Pulp Lestari (TPL) yang mengganti hutan kemenyan dengan Eucalyptus. Padahal kemenyan - Haminjon, dalam bahasa Batak - adalah identitas hidup masyarakat adat. Ia bukan hanya komoditas ekonomi, melainkan simbol spiritual, sosial, dan ekologis.
Maka, rencana apapun yang tidak menyelesaikan konflik besar seperti TPL, sama saja membangun rumah di atas bara api.
Kesenjangan Pariwisata : Fokus yang Terlalu Sentralistik
Dari 7 kabupaten Lingkar Toba - Samosir, Toba, Humbahas, Taput, Dairi, Karo, dan Simalungun - hampir semuanya memiliki potensi wisata unik yang belum tergarap. Mulai dari kawasan Aek Nauli dan Dolok Sanggul yang hijau, lembah Silindung yang eksotis, air terjun Sipiso-piso di Tanah Karo, hingga Huta Ginjang yang mempesona di Tapanuli Utara.
Namun, pusat perhatian tetap mengarah ke Samosir dan Balige. Ketimpangan ini bisa berujung pada ketidakadilan pembangunan. Kabupaten-kabupaten yang terabaikan bisa merasa ditinggalkan, padahal mereka juga bagian integral dari Kaldera Toba.
Semestinya, pendekatan pembangunan wisata di kawasan ini bersifat integratif dan lintas kabupaten, bukan spot-to-spot yang bersifat eksklusif.
Pariwisata vs Eksploitasi : Uang atau Martabat