Menggagas Long Beach Danau Toba : Ambisi Wisata dan Jerit Sunyi Tanah Adat
Ketika Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution, mendukung penuh pembangunan wisata pantai sepanjang 22 kilometer di Danau Toba, publik di Sumatera Utara - terutama masyarakat adat Samosir dan sekitarnya - tak serta merta menyambutnya dengan tepuk tangan. Di balik ambisi menciptakan "Long Beach" dari Tano Ponggol hingga Simanindo, terhampar beragam keraguan, mulai dari soal konservasi lingkungan, keadilan terhadap masyarakat adat, hingga akuntabilitas proyek pembangunan.
Tentu, kita patut mengapresiasi semangat Pemkab Samosir dan Pemprop Sumut dalam menggerakkan roda ekonomi lokal melalui pariwisata. Namun, apakah proyek ini benar-benar untuk rakyat. Ataukah justru menjadi alat legitimasi penguasaan ruang dan tanah adat atas nama investasi dan globalisasi.
Antara Ambisi dan Realitas : Long Beach di Lingkar Kaldera
Ide membangun pantai panjang 22 kilometer di tepi Danau Toba terdengar revolusioner. Sebuah kawasan wisata linear yang bisa menyaingi kawasan-kawasan wisata global. Namun, realitas geografis dan sosial budaya kawasan Danau Toba bukanlah kertas kosong. Sepanjang zona yang akan dibangun, tanah-tanah adat masih aktif dihuni dan dimanfaatkan masyarakat untuk kehidupan sehari-hari - berladang, berkebun, bahkan bermukim turun-temurun.
Pemerintah kerap memulai pembangunan dengan satu kata kunci : pembebasan lahan. Namun sejarah di tanah Batak mengajarkan kita bahwa "pembebasan" bisa berarti "penggusuran", bila tak disertai penghormatan pada hak-hak ulayat. Kasus di Balige saat pembangunan dermaga Powerboat World Championship 2023 adalah bukti paling anyar. Konflik tanah tak kunjung selesai. Masyarakat adat merasa ditinggalkan, bahkan dikhianati oleh pemerintah daerahnya sendiri.
Apakah rencana Long Beach ini akan mengulang sejarah luka yang sama.
Geopark Kaldera Toba : Mimpi Global yang Kian Pudar
Bobby Nasution menyadari bahwa proyek Long Beach juga berkaitan erat dengan nasib status UNESCO Global Geopark Kaldera Toba. Pada tahun 2023, kawasan ini mendapat "kartu kuning" dari UNESCO karena dinilai gagal memenuhi sejumlah aspek penting, termasuk pelestarian geosite, partisipasi masyarakat, dan pengelolaan lingkungan.
Kehadiran tim asesor UNESCO pada 21-25 Juli 2025 mendatang akan menjadi ujian besar. Bila pengembangan kawasan malah menimbulkan konflik sosial dan degradasi ekologis, bukan tidak mungkin Kaldera Toba kehilangan status prestisiusnya. Proyek Long Beach mesti dijalankan dengan kehati-hatian luarbiasa, agar tak menjadi alasan UNESCO mencabut status tersebut.