India dan Pakistan adalah dua negara Asia Selatan yang memiliki persenjataan nuklir dan tidak menandatangani Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (NPT). India memiliki sekitar 180 hulu ledak nuklir dan kemampuan peluncuran dari darat, laut, dan udara. Pakistan, dengan lebih dari 170 hulu ledak, mengandalkan rudal balistik jarak pendek dan menengah yang didukung oleh teknologi dari Cina.
Dengan arsenal sebesar itu, ancaman penggunaan senjata nuklir dalam konflik ini bukan sekadar retorika. Meski kecil kemungkinan penggunaan pertama, intensitas konflik bisa memicu ketidaksengajaan atau respons drastis yang tak terduga. Situasi ini menjadi perhatian besar komunitas internasional.
Kebijakan Nuklir India dan Pakistan
India memiliki doktrin nuklir resmi sejak 2003 yang berdasarkan prinsip No First Use (NFU), yaitu India tidak akan menggunakan senjata nuklir kecuali diserang terlebih dahulu. Namun, prinsip ini memiliki pengecualian jika India atau pasukannya diserang dengan senjata kimia atau biologi. Selain itu, India menjanjikan balasan nuklir berskala besar jika terjadi serangan, sebagai bentuk pencegahan yang kredibel.
Pakistan tidak memiliki doktrin resmi yang jelas. Sebaliknya, Islamabad mengadopsi strategi ambiguity, di mana mereka enggan menyatakan batas-batas pasti untuk penggunaan senjata nuklir. Namun, pada 2001, empat pemicu penggunaan senjata nuklir diungkap oleh Letjen Khalid Kidwai: ancaman terhadap wilayah nasional, kekuatan militer, stabilitas ekonomi, atau keharmonisan politik domestik. Strategi ini bertujuan mengimbangi keunggulan militer konvensional India.
Perubahan Postur dan Ambiguitas Strategis
India, meski secara resmi tetap berpegang pada NFU, dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan sinyal perubahan. Pernyataan menteri pertahanan pada 2016 dan 2019 menyiratkan bahwa NFU bisa saja direvisi tergantung situasi. Beberapa pengamat melihat ini sebagai upaya meniru strategi ambigu Pakistan, namun ada kekhawatiran bahwa ambiguitas dua arah bisa meningkatkan risiko konflik nuklir akibat salah tafsir.
Ambiguitas ini menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, tidak adanya garis merah yang jelas dapat mencegah musuh mencoba mengujinya. Namun di sisi lain, bisa juga menyebabkan salah perhitungan fatal karena masing-masing pihak tidak mengetahui kapan batas itu terlampaui.
Dampak dan Respons Global
Dunia memandang serius eskalasi ini. Sebagai dua negara padat penduduk dengan total 1,6 miliar jiwa, perang habis-habisan akan berdampak sangat luas secara kemanusiaan dan lingkungan, apalagi jika berujung pada konfrontasi nuklir. Negara-negara seperti Cina, Rusia, Amerika Serikat, dan organisasi multilateral seperti PBB dan IAEA telah menyerukan deeskalasi segera.
Namun, respons dunia masih terbatas pada imbauan, karena masing-masing pihak merasa memiliki legitimasi moral dan strategis untuk bertindak. Selain itu, adanya kekuatan-kekuatan besar yang bersaing pengaruh di kawasan Asia Selatan membuat penyelesaian krisis menjadi lebih rumit.