Trump sering menggunakan tarif sebagai senjata geopolitik. Jika ada kebijakan Indonesia yang tidak sejalan dengan kepentingan AS, misalnya terkait hubungan Indonesia dengan China, kebijakan energi, atau sikap terhadap konflik global, maka tarif bisa digunakan sebagai bentuk tekanan diplomatik.
Dugaan "Unfair Trade Practices"
AS bisa saja menuduh Indonesia melakukan praktik perdagangan yang tidak adil, seperti subsidi ekspor, dumping (menjual barang lebih murah di luar negeri dibandingkan di dalam negeri), atau pembatasan impor dari AS. Ini sering menjadi alasan bagi AS untuk mengenakan tarif tinggi terhadap suatu negara.
Dampak bagi Indonesia
Ekspor ke AS bisa terpukul jika tarif ini membuat produk Indonesia kurang kompetitif. Sektor-sektor yang bergantung pada pasar AS seperti tekstil, alas kaki, atau komoditas seperti sawit dan karet bisa terdampak signifikan.
Mendorong Indonesia mencari pasar alternatif di Eropa, middle-east, atau Asia untuk mengurangi ketergantungan pada AS.
Potensi balasan dari Indonesia, misalnya melalui tarif terhadap produk AS atau kebijakan lain yang membatasi ekspor AS ke Indonesia.
Kalaulah ini terjadi, pemerintah Indonesia perlu merespons dengan diplomasi perdagangan yang kuat untuk menegosiasikan ulang tarif tersebut atau mencari strategi mitigasi.
Dalam konteks perang dagang sekarang, Indonesia jelas harus mencari jalan kompromi. Kalau tetap berpikiran BRICS dapat menyelamatkan Indonesia. Itu jelas harapan utopis. Sebagaimana diketahui AS adalah pusat keuangan global yang tak tergoyahkan hingga saat. Apalagi AS sekarang sedang siap-siap untuk mengambil alh kendali minyak di middle-east yang diindikasikan oleh tekanan maksimum terhadap Iran.
Karenanya, Indonesia harus mencari jalan kompromi, bukan hanya karena AS masih merupakan pusat keuangan global, tetapi juga karena ketergantungan ekonomi dunia terhadap dolar AS tetap dominan.