Presiden Prabowo, Syafrie, H.B.L Mantiri, Veteran Seroja dan Kokpit
Menhan Sjafrie Sjamsoeddin mendukung usulan Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) mengenai perluasan kategori veteran pembela kemerdekaan RI. Dukungan ini disampaikan saat pertemuan dengan Ketum DPP LVRI Letjen TNI (Purn) H. B. L. Mantiri di Kantor Kemenhan RI, Jakarta. Kepala Biro Informasi Pertahanan/Humas Setjen Kemenhan Kolonel Inf. Frega F. Wenas Inkiriwang menjelaskan, usulan itu bertujuan memberikan penghargaan kepada pejuang di Timor-Timor.Â
Dilansir laman Kemhan RI, Â menanggapi usulan tersebut, Menhan Sjafrie menyampaikan bahwa pada dasarnya mendukung dan diserahkan lebih lanjut kepada para pelaku sejarah serta mengikuti proses regulasi yang berlaku.Â
Menhan Sjafrie juga menegaskan komitmennya untuk melanjutkan dan mengembangkan kebijakan-kebijakan yang diinisiasi oleh Presiden RI Prabowo Subianto saat menjabat sebagai Menteri Pertahanan.
Dukungan tersebut juga mencerminkan penghormatan pemerintah terhadap peran para veteran sebagai penjaga sejarah perjuangan bangsa.
Veteran pembela kemerdekaan RI mencakup empat peristiwa, yaitu Trikora, Dwikora, Seroja, serta peristiwa lainnya yang ditetapkan melalui keputusan presiden. Saat ini, veteran pembela Seroja mencakup mereka yang berjuang pada periode 21 Mei 1975 hingga 17 Juli 1976.
Dukungan yang disampaikan oleh Menhan Sjafrie Sjamsoeddin atas usulan LVRI mencerminkan beberapa dinamika strategis, baik dalam konteks kebijakan pertahanan nasional, sejarah perjuangan bangsa, maupun penghormatan terhadap peran aparat keamanan.
Konteks historis dan simbolisme
Operasi Seroja dan keterlibatan aparat keamanan di Timor Timur hingga 1999 memiliki arti besar dalam mempertahankan kedaulatan NKRI. Menambahkan mereka sebagai veteran pembela kemerdekaan RI adalah bentuk pengakuan terhadap kontribusi mereka dalam mempertahankan integritas teritorial Indonesia.
Pengakuan ini juga berpotensi memperkuat narasi sejarah nasional mengenai perjuangan mempertahankan wilayah Indonesia, khususnya dalam menghadapi tantangan separatisme dan konflik domestik yang terjadi di masa lalu.
Landasan hukum dan kebijakan
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2012 tentang Veteran Republik Indonesia memberikan landasan bagi pengakuan veteran, termasuk peluang untuk memperluas kategori ini melalui keputusan presiden. Hal ini menunjukkan fleksibilitas dalam mengakomodasi perjuangan yang signifikan namun sebelumnya belum tercakup.
Dengan memasukkan mantan aparat yang aktif hingga 1999, kebijakan ini akan mencakup periode yang lebih luas, sehingga memberikan legitimasi bagi mereka yang tetap bertugas hingga akhir integrasi Timor Timur.
Dinamika sosial dan politik
Dukungan ini dapat dilihat sebagai langkah strategis untuk menghormati aparat keamanan, memperkuat solidaritas nasional, serta membangun rasa bangga terhadap institusi negara yang terlibat dalam mempertahankan kedaulatan.
Meski demikian, kebijakan ini bisa menimbulkan resistensi dari kelompok tertentu, termasuk pihak-pihak yang memiliki pandangan berbeda mengenai konflik di Timor Timur, baik di dalam negeri maupun di komunitas internasional.
Implikasi sosial-ekonomi
Dengan pengakuan ini, para mantan personel berhak atas berbagai manfaat sebagai veteran, termasuk tunjangan, fasilitas kesehatan, dan akses ke program kesejahteraan lain. Langkah ini mencerminkan upaya pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan mereka yang telah berjasa bagi negara.
Pengakuan ini juga memiliki implikasi terhadap anggaran negara, mengingat jumlah personel yang akan diakui dan hak-hak yang akan diberikan.
Strategi dan kebijakan pertahanan
Langkah ini juga sejalan dengan filosofi pertahanan rakyat semesta, yang menempatkan setiap warga negara - termasuk aparat keamanan- sebagai bagian dari sistem pertahanan negara.
Melalui kebijakan ini, Kemenhan dapat memperkuat narasi pentingnya sinergi antara rakyat dan negara dalam mempertahankan kedaulatan, sekaligus menjaga warisan pertahanan yang telah dirintis oleh pemimpin sebelumnya, seperti Presiden Prabowo Subianto.
Relevansi terhadap tantangan masa mendatang
Pengakuan terhadap peran mantan aparat di Timor Timur hingga 1999 juga berkontribusi pada upaya rekonsiliasi internal, membangun kesadaran kolektif akan sejarah, dan menjaga integritas nasional.
Langkah ini dapat memperkuat rasa memiliki terhadap negara dan menghormati pengorbanan aparat yang telah mengabdi, terutama di era di mana identitas nasional menjadi isu strategis.
Dukungan terhadap perluasan kategori veteran pembela kemerdekaan RI merupakan langkah yang strategis dalam menghormati sejarah perjuangan bangsa, memperkuat solidaritas nasional, serta memastikan kesejahteraan bagi mereka yang telah berjasa. Meski kebijakan ini memiliki implikasi politis dan fiskal, manfaat jangka panjangnya dalam membangun narasi nasional yang inklusif dan memperkuat sistem pertahanan rakyat semesta patut diperhatikan.
Pemerintah perlu memastikan pelaksanaan kebijakan ini dilakukan secara transparan, adil, dan akuntabel untuk menghindari resistensi serta menciptakan dampak positif yang maksimal.
Kokpit dan aspirasinya
Ketua LVRI HBL Mantiri dulu dikenal sebagai seorang jenderal yang religius ketika bertugas sebagai Pengkoopskam di Timor Timur. Saya pikir dengan kehadirannya sekarang menyertai Prabowo Subianto sebagai Presiden RI dan Syafri Samsudin sebagai Menhan, maka sudah saatnya barangkali ke semua tokoh di atas dapat membantu warga Kokpit atau Korban Kekerasan Politik Timor Timur dalam mewujudkan aspirasi mereka selama ini, yang meski uang santunan beberapa kali sudah diberikan, tapi jumlahnya yang tak seberapa seperti sebungkus garam ditaburkan ke lautan. Sementara assets mereka tetap teronggok di Timorleste tanpa tindak lanjut apapun.
Kebanyakan assets mereka yang ada di Timor Timur hingga kini seperti di Delta Comoro kota Dili misalnya. Itu rata-rata dihuni oleh eks Fretlin yang selalu mengatasnamakan pejuang Timorleste. Pernah penulis kesana. Bukan disambut dengan persahabatan. Mereka tak mau mengakui tanah itu adalah milik warga Indonesia di masa integrasi. Apabila perlu mereka akan melakukan kekerasan untuk itu.
Bukankah assets tersebut di atas adalah tanggungjawab Pemerintah Indonesia sepenuhnya. Masalahnya pemerintahan Timorleste sekarang tidak dapat mengatasi warga Fretilin yang becokol di atas assets warga Indonesia itu.
Konteks historis dan legalitas asset
Permasalahan terurai di atas mencakup isu hak asasi manusia, tanggungjawab pemerintah, dan hubungan bilateral antara Indonesia dan Timor Leste.
Selama masa integrasi (1976-1999), banyak warga Indonesia yang memiliki aset, baik berupa tanah, bangunan, maupun usaha, yang ditinggalkan pasca referendum. Pengabaian terhadap aset-aset ini mencerminkan kurangnya perlindungan hukum yang memadai pada masa itu.
Setelah referendum yang didukung PBB, banyak aset menjadi sengketa karena perubahan status hukum wilayah. Ini menciptakan celah hukum yang sering dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang mengklaim aset tersebut, termasuk eks Fretilin.
Tidak ada Memorandum of Understanding (MoU) khusus antara Indonesia dan Timor Leste terkait aset warga Indonesia di Timor Leste. Hal ini membuat penyelesaian sengketa lebih bergantung pada negosiasi bilateral tanpa kepastian hukum yang kuat.
Tanggungjawab pemerintah Indonesia
Meski Timor Leste kini menjadi negara berdaulat, Indonesia memiliki kewajiban moral dan politik untuk memastikan keadilan bagi warga eks-Timor Timur, termasuk akses ke aset yang mereka tinggalkan. Hal ini dapat ditempuh melalui mekanisme internasional atau bilateral.
Uang santunan yang diberikan oleh pemerintah Indonesia, meski patut diapresiasi, tidak menggantikan kerugian nyata yang dialami warga. Sebagai contoh, aset bernilai tinggi seperti tanah dan properti tidak mungkin diganti dengan uang dalam jumlah kecil.
Pemerintah Indonesia, di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo dan dukungan tokoh seperti Sjafrie Sjamsoeddin dan H.B.L. Mantiri, dapat meningkatkan upaya diplomatik untuk menyelesaikan isu ini secara menyeluruh.
Hubungan bilateral Indonesia-Timor Leste
Ketegangan antara eks-warga Indonesia dan kelompok Fretilin di Timor Leste memperumit penyelesaian sengketa aset. Ketegangan ini diperparah oleh sikap keras sebagian warga Timor Leste yang menganggap tanah dan aset tersebut sebagai milik mereka karena perubahan politik.
Pemerintah Timor Leste mengalami kesulitan mengendalikan kelompok-kelompok eks-Fretilin yang menduduki aset tersebut, baik karena keterbatasan sumberdaya maupun sensitivitas politik domestik.
Solusi strategis yang dapat ditempuh
Indonesia dan Timor Leste dapat membentuk komisi gabungan untuk menyelesaikan sengketa aset. Komisi ini harus melibatkan pemerintah, perwakilan korban, dan lembaga internasional untuk memastikan transparansi dan keadilan.
Komisi ini juga dapat menyusun mekanisme hukum untuk pengakuan dan pengembalian aset atau pemberian kompensasi yang lebih layak.
Indonesia dapat melibatkan pihak ketiga, seperti PBB atau ASEAN, untuk menjadi mediator dalam penyelesaian sengketa ini. Pendekatan ini dapat memberikan tekanan moral dan politik kepada pemerintah Timor Leste.
Pemerintah Indonesia harus memberikan dukungan hukum dan logistik kepada warga eks-Timor Timur untuk mengajukan klaim resmi atas aset mereka, baik melalui pengadilan domestik di Timor Leste maupun forum internasional.
Jika pengembalian aset sulit dicapai, pemerintah Indonesia harus meningkatkan nilai santunan kepada korban. Nilai kompensasi harus mempertimbangkan nilai pasar aset yang hilang.
Indonesia dapat menggunakan pendekatan "soft diplomacy" untuk mempererat hubungan bilateral, termasuk kerjasama ekonomi, keamanan, dan pembangunan di Timor Leste, yang pada gilirannya dapat membantu membuka ruang dialog terkait isu aset.
Tantangan yang harus diantisipasi
Fretilin memiliki posisi politik kuat di Timor Leste, dan klaim warga Indonesia atas aset yang mereka duduki kemungkinan besar akan ditentang.
Sebagian warga Timor Leste masih menyimpan sentimen negatif terhadap Indonesia, yang dapat memperkeruh upaya penyelesaian sengketa aset.
Hukum internasional memiliki batasan dalam menangani kasus-kasus yang melibatkan aset pribadi lintas negara, terutama di wilayah pasca-konflik.
Masalah aset warga Indonesia di Timor Leste merupakan tanggungjawab bersama yang melibatkan pemerintah Indonesia, pemerintah Timor Leste, dan komunitas internasional. Untuk menyelesaikan permasalahan ini, pendekatan diplomatik, legal, dan sosial yang komprehensif diperlukan.
Kepemimpinan tokoh-tokoh seperti Presiden Prabowo, Menhan Sjafrie Sjamsoeddin, dan Ketua LVRI H.B.L.Mantiri berpotensi memainkan peran penting dalam mendorong penyelesaian yang adil dan berkelanjutan bagi para korban.
Lihat :
https://nusantaranews86.id/menhan-sjafrie-sjamsoeddin-terima-kunjungan-silaturahmi-ketua-dpp-lvri/
Joyogrand, Malang, Thu', Dec' 05, 2024.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI