Mohon tunggu...
Parlin Pakpahan
Parlin Pakpahan Mohon Tunggu... Lainnya - Saya seorang pensiunan pemerintah yang masih aktif membaca dan menulis.

Keluarga saya tidak besar. Saya dan isteri dengan 4 orang anak yi 3 perempuan dan 1 lelaki. Kami terpencar di 2 kota yi Malang, Jawa timur dan Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pilihan Dilematis Kota Sukabumi: Merawat-Lestarikan Heritages atau Mengamini Modernisasi Tak Terkendali

5 Oktober 2022   20:13 Diperbarui: 12 Oktober 2022   14:43 1481
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu bangunan legacy tempo doeloe di Jln Bhayangkara., kota Sukabumi. Foto: Parlin Pakpahan.

Heritages di sebuah kota adalah legacy dari perjalanan sejarah sebuah komunitas yang berpemerintahan. Dengan kata lain, heritages adalah legacy yang berhubungan dengan tata kota dan master plan sebuah kota di masa lalu.

Di kota Malang, pemerintah setempat sudah sampai pada upaya menggali ulang dan mempelajari apa dan bagaimana pola pikir pemerintahan Belanda tempo doeloe dalam merancang dan mengembangkan kota Malang.

Pada 2019-2020, meski pandemi Covid-19 sudah mulai merebak, Pemkot Malang mulai menggebrak bahwa yang perlu dirawatlestarikan adalah titik-titik tertentu di downtown Malang. Jangan sampai titik-titik penting di situ yang dapat menjelaskan perkembangn suatu kota, di kemudian hari hilang begitu saja ditelan arus modernisasi kota yang tak pernah mengenal rem darurat.

Tampilan terkini Setasiun KA Sukabumi yang sudah dipulihkan tampilan depannya. Foto: Parlin Pakpahan.
Tampilan terkini Setasiun KA Sukabumi yang sudah dipulihkan tampilan depannya. Foto: Parlin Pakpahan.

Kita lihat misalnya hancurnya legacy tempo doeloe di kota Medan, kota Jakarta, kota Bandung, bahkan kota Sukabumi now yang warganya pada umumnya sudah tak mengenali lagi yang mana heritages otentik dan yang mana yang heritages-heritages-an. 


Mereka hanya tahu itu tuh sudah modern sekarang, seraya menunjuk Lapangan Merdeka; menunjuk cafe-caf kontemporer di downtown Sukabumi dan tak pernah tahu bahwa disitu dulu adalah bilangan Capitol tempat bioskop Ramayana dan pertokoan yang melingkarinya yang dirancang sedemikian elegan untuk warga kota; menunjuk monumen yang silih berganti dibongkarpasang di perempatan Suryakencana-Lapangan Merdeka dst.

Legacy tempo doeloe di Jln. Suryakencana, Sukabumi, yg sdg dipulihkan untuk menjadi cafe dan konvensi terbuka. Foto : Parlin Pakpahan
Legacy tempo doeloe di Jln. Suryakencana, Sukabumi, yg sdg dipulihkan untuk menjadi cafe dan konvensi terbuka. Foto : Parlin Pakpahan

Kota Depok juga sudah pernah mencanangkan Depok Heritages, utamanya di sepanjang Jln Pemuda dan di area Depok Belanda, mulai dari perempatan tugu Siliwangi hingga ke jembatan panus. Tapi ini pun kelihatan hanya lip service pemkot semata. Mengapa?

Ada semacam pembiaran agar kawasan heritages yang bernilai jual tinggi itu perlahan-lahan tapi pasti akan bergeser ke tangan para investor dan perorangan yang akan mengubah kawasan itu bukan lagi sebagai kawasan heritages, melainkan sebagai kawasan bersosok baru yang serba modern.

Lain halnya bagi warga kota Malang sekarang. Kini mereka sudah punya kebanggaan baru yi Kajoetangan Heritages di downtown Malang sepanjang Jalan Basuki Rachmat dan Kawasan Tugu.

Titik heritages selanjutnya yang akan dirawatlestarikan adalah titik Alun-Alun Merdeka hingga ke Pecinan yang sekarang dikenal sebagai Pasar Besar.

Kawasan heritages inilah stop oper pertama warga kota yang ingin bersantai malam di kotanya sendiri, dan para pelancong luar pun termotivasi untuk menikmati downtown Malang terlebih dahulu sebelum raun-raun ke obyek-obyek wisata lainnya di Malang raya.

Lih keterangan foto. Screenshot dipetik dari PDF ANRI tentang Sukabumi.
Lih keterangan foto. Screenshot dipetik dari PDF ANRI tentang Sukabumi.

Sekadar Flash Back

Sukabumi adalah sebuah kota kecil yang sejuk dan indah di lereng Gunung Gede Jawa Barat (kl 120 Km sebelah timur Jakarta).

Dari kota inilah nongol Farid Harja dengan grup band-nya Bani Adam pada dekade 1970-1980. Ingat lagu parodi karya Farid yang kesohor itu, Karmila. Farid kemudian lebih ngetop dengan nama Farid Bani Adam.

Juga dari kota ini pula nongol si Tenda Biru Desy Ratnasari dan seorang Ilmuwan jelita ahli Astrofisika Karlina Leksono yang dilahirkan di sini dan kemudian ngetop di dunia Sains Indonesia. 

Dan dari kota ini kita mengenal pejuang Angk 45 Kolonel Edi Djadjang Djajaatmadja kelahiran Djampang yang pernah dipercaya jadi Walikota Jakarta Pusat pada dekade 1970.

Masih banyak lagi anak-anak Sukabumi yang berguna untuk negeri ini, di samping tentu banyak juga yang useless.

Dan di kota kecil ini pulalah penulis melewatkan masa kecil dan masa remajanya ketika Ayahnya meng-Admin sebuah Perkebunan Teh Swasta di Gunung Manik (kl 20 Km sebelah timur Sukabumi) tak jauh dari Terowongan KA Lampegan yang terkenal itu.

Iklan tempo doeloe di suratkabar Preanger, Bandung. Screenshot dipetik dari delpher.nl
Iklan tempo doeloe di suratkabar Preanger, Bandung. Screenshot dipetik dari delpher.nl

Yang paling saya ingat dari kota ini adalah bercirikan warisan Belanda yang rapi tata kotanya, termasuk yang unik setiap gang/lorong diperkeras dengan batu-batu lava seukuran ubi jepang berukuran medium yang tersusun rapi seperti con block di masa modern sekarang. 

Karena begitu rapinya batu-batu lava itu disusun, kaum perempuan yang bersepatu hak tinggi tak pernah ragu melangkah di seantero gang/lorong yang ada di kota Sukabumi. Tak pernah ada berita bahwa mereka jatuh tergelincir ketika melewati susunan batu-batu lava itu. Bukan main!

Pendopo tempo doeloe di downtown Sukabumi. Foto : Parlin Pakpahan.
Pendopo tempo doeloe di downtown Sukabumi. Foto : Parlin Pakpahan.

Waktu pun bergulir tanpa ada yang bisa menghentikannya kecuali Tuhan melalui tangan Moses yang pernah menghentikan rotasi planet bumi agar mentari tetap bersinar ketika Israel berperang melawan musuhnya jelang memasuki tanah yang dijanjikan Kanaan.

Zaman pun berubah dan sekarang apa mau dikata Sukabumi tak lagi mungil, indah permai dan lestari. Sukabumi kini semakin padat dan mulai kumuh di pelosok perkotaannya. Angkot dan angdes merajalela dimana-mana. 

Kaki lima penuh sesak dengan orang yang berjuang bertahan hidup. Dan yang tersulit sekarang adalah untuk bisa menerima kenyataan bahwa lahan-lahan agro yang dulu indah permai yang merupakan salah satu rekam jejak perkebunan teh Belanda tempo doeloe di lereng Gunung Gede tak jauh dari Selabintana (Km 7 sebelah utara Sukabumi), kini diinvasi habis-habisan oleh bangunan Villa dan perumahan kalangan eksklusif.

Masjid Agung Sukabumi legacy tempo doeloe di downtown Sukabumi. Foto : Parlin Pakpahan.
Masjid Agung Sukabumi legacy tempo doeloe di downtown Sukabumi. Foto : Parlin Pakpahan.

Dampak dari semua itu? Sukabumi tak lagi Suka dengan Bumi, melainkan menjadi musuh dari planet Bumi, karena kita telah merusaknya dengan mengizinkan Kapitalisme REI merajalela di lahan-lahan agro yang tempo doeloe di era 1960an-1970-an indah permai, mengizinkan perorangan dan sekelompok orang membangun seenak udelnya, tak peduli yang mana legacy tempoe doeloe yang perlu dirawat-lestarikan dan yang mana milik siapa dan mau diapakan.

Adik ipar saya Lucky Noor Lukman yang adalah native Sukabumi mengatakan bahwa kalau dia berjalan sekarang keliling kota Sukabumi, sepertinya teman-teman seangkatannya yang masih settled di kota Sukabumi sudah sangat langka. Dan rumah-rumah indah tempo doeloe sudah banyak berpindah tangan. 

Kalaupun pada akhirnya mereka tahu bahwa rumah mereka adalah legacy tempo doeloe yang harus dirawatlestarikan, tapi dalam perjalanan waktu, itu semua tergilas oleh dinamika hidup itu sendiri, entah yang bersangkutan bermigrasi ke kota lain, atau diperjualbelikan dengan sedikit pengetahuan tentang rumah tersebut, maka rumah itu pun berpindah tangan sudah, atau ada juga yang menjual rumahnya karena tekanan ekonomi dst. 

Sementara sampai sejauh ini belum ada Perda kota yang khusus mengatur perlindungan heritages semacam ini, bahkan untuk sarana dan prasarana fisik perkotaan tempo doeloe seperti di bilangan capitol, yang kini sudah berubah bentuk karena tak adanya perlindungan melalui instrumen hukum tersebut.

Gereja Sidang Kristus legacy tempo doeloe di downtown Sukabumi. Foto : Parl;in Pakpahan.
Gereja Sidang Kristus legacy tempo doeloe di downtown Sukabumi. Foto : Parl;in Pakpahan.

Literasi Kota Sukabumi

Kalau mau menelisik lebih jauh, literasi tentang kota Sukabumi dan perkembangannya sebenarnya cukup banyak. Kalau kita coba googling dengan keyword sukabumi tempo doeloe misalnya, akan keluar nama-nama seperti Irman Firmansyah, Rimbo Gunawan dan yang terbanyak di antaranya adalah para mahasiswa yang menulis skripsi kesarjanaannya tentang sejarah Sukabumi.

Tapi mencari sumber yang lebih rinci deskripsinya, yi sumber Belanda. Di sini terkesan tak ada pergerakan lebih jauh ke pedalaman Netherlands sana.

Padahal kalau mau tanpa harus ke pedalaman Belanda sana, kita tinggal mengklik delpher.nl misalnya yang menyediakan segala macam arsip koran Hindia Belanda tempo doeloe mulai 1600-an hingga penghujung era Belanda pada 1949.

Gereja Protestan legacy tempo doeloe yg kini menjadi Gereja HKBP Sukabumi. Foto : Parlin Pakpahan.
Gereja Protestan legacy tempo doeloe yg kini menjadi Gereja HKBP Sukabumi. Foto : Parlin Pakpahan.

Memang, ada ANRI atau Arsip Nasional RI yang pernah menulis tentang sejarah Kota Sukabumi, termasuk Sukabumi Heritages, tapi deskripsinya terbatas pada foto-foto jadul yang tak disebutkan secara jelas sumbernya. Tapi bagaimanapun, apa yang dirilis ANRI sudah cukup untuk para pemula yang ingin mengenal kota Sukabumi.

Tak lupa seorang anak Cibadak Irman Firmansyah yang pernah nekad menulis "Soekaboemi The Untold Story". Buku ini bermuatan 10 Bab.

Irman berusaha menjelaskan fase-fase sejarah Sukabumi dalam Era Klasik (Bab I), Datangnya Bangsa Eropa (Bab II), Era Transisi (Bab III), Era Liberalisasi dan Perkebunan Swasta (Bab IV), Sejarah Kehidupan Formal dan Kekuatan Sosial (Bab V), Era Modernisasi Awal (Bab VI), Pengaruh Agama dan Pergerakan (Bab VII), Era Asia Timur Raya (Bab VIII), Era Revolusi dan Kemerdekaan (Bab IX) dan Era Orde Lama (Bab X).

Legacy tempo doeloe dekat gereja HKBP Sukabumi. Foto : Parlin Pakpahan.
Legacy tempo doeloe dekat gereja HKBP Sukabumi. Foto : Parlin Pakpahan.

Lebih lanjut setiap bab dirinci tidak kurang menjadi 15 sub bab. Bab I merupakan bab yang paling banyak sub bab, yi 22, sementara Bab V, VII dan IX, berisi 15 sub bab, dan sisanya berisi 16 sampai 19 sub bab.

Irman menulis buku ini tidak secara linear historis, tapi berdasarkan kisah yang mempengaruhi sejarah, baik orang maupun peristiwa yang menjadi bahan pembicaraan. 

Juga Irman tak menyinggung tata kota dan perencanaan kota ke depan sejak kota Sukabumi formal dinakhodai GF Rambonnet pada 1920-an setelah kelahiran Sukabumi sebagai cikal bakal kota pada 1914. Rambonnetlah Walikota pertama Sukabumi.

Anak asli Cibadak ini hanya menorehkan penanya katakanlah sebatas untuk berimprovisasi sebuah musik gado-gado, sebentar terdengar seakan musik China, lalu tiba-tiba terdengar suara seperti bunyi gong pentatonik dan angklung sunda, dan ujug-ujug ada suara melodi melengking-lengking seperti Gun N' Roses dan berakhir dengan lantunan pesinden Sunda yang tengah meratapi kepergian sang kekasih.

Lih keterangan foto. Screenshot dipetik dari PDF ANRI tentang Sukabumi.
Lih keterangan foto. Screenshot dipetik dari PDF ANRI tentang Sukabumi.

Irman memang seakan mengarahkan kita, ini lo Sukabumi. Tapi sayang kita tak kunjung memperoleh gambaran visioner tempo doeloe bagaimana para perancang kota Sukabumi melihat jauh ke depan.

Buku rintisan Irman ini anggap sajalah sebuah hiburan, karena telah menyisipkan fase mitis, ontologis dan fase fungsional dalam sebuah karya tulis.

Buku dengan tebal 300-an halaman yang dipublished penerbit indie ini bak klipingan koran. Kalau kita pembaca yang mafhum, maka jadilah penyidik. 

Ya, kitalah yang wajib menindaklanjuti semua kekurangan yang ada dalam buku ini sebagai penyidik yang seyogyanya mau lebih tekun mendalami literasi otentik Belanda tempo doeloe.

Menyeimbangkan Kembali Konservasi dan Modernisasi

Kalau kita telisik mulai dari setasiun KA Sukabumi yang sekarang sudah terlihat tampilan asli depannya setelah Pemkot Sukabumi mendepak kekumuhan Pasar Pelita dan mengubahnya jadi Pasar Pelita baru yang berpenampilan modern, lalu kita meluncur ke pendopo tempo doeloe melewati downtown Jln Achmad Yani. 

Dari pendopo kita lalu berbalik dan belok kiri, kita lihat di sebelah kiri ada Masjid Agung Sukabumi tempo doeloe dan tak jauh dari situ ada Gereja Sidang Kristus tempo doeloe dan ke utara sedikit lagi kita ketemu lapangan merdeka yang sudah dipermodern dan masuk Suryakencana, lalu belok ke kanan Jalan Martadinata melalui pemkot Sukabumi, dan di atasnya lagi memasuki kawasan Bunut.

Dari raun-raun di sebagian kota lama itu hingga ke ujung barat Jln. Sudirman dimana kita lihat ada gereja tempo doeloe yang kini bernama gereja HKBP, tanyalah guide, maka kita akan melihat ada semacam bouw plan atau rencana fisik pengembangan kota tempo doeloe yang sangat menghormati eko sistem kota. 

Dimulai dari hunian modern pertama di bilangan Cikole, Jln Suryakencana dst, rumah-rumah ibadat, hingga setasiun KA di downtown Sukabumi, institusi kepolisian tempo doeloe di Jln Bhayangkara yang kemudian dijadikan kampus AAK pertama secara nasional. 

Di lingkar bouwplan pertama inilah sebagian besar legacy tempo doeloe itu sudah terdesak, bahkan hancur oleh perkembangan zaman, khususnya libasan modernisasi yang tak kenal rem darurat. Tak heran banyak Sukabumi Heritages yang ada disitu sudah raib ditelan zaman.

Jembatan Cipelang legacy tempo doeloe di ujung barat kota Sukabumi. Foto : Parlin Pakpahan.
Jembatan Cipelang legacy tempo doeloe di ujung barat kota Sukabumi. Foto : Parlin Pakpahan.

Sungguh tak mudah memulihkan kembali kota Sukabumi ke sosok yang anggun dan menyejukkan seperti sediakala. Tak ada pilihan lain, kecuali Pemkot Sukabumi sekarang dapat mencadangkan waktu, pikiran dan tenaganya untuk menggali kembali reruntuhan itu melalui literasi Belanda tempo doeloe. 

Hanya dengan cara itu kita dapat merekatkan kembali puing-puing itu menjadi sebuah denah yang dapat menuntun kita mana heritages yang perlu dipugar atau direkonstruksi ulang karena sudah berubah bentuk atau hilang, dan akhirnya semua yang kita cermati dan pelajari itu akan dapat menuntun kita untuk melakukan modernisasi kota lebih lanjut.

Membangun tidaklah salah, tapi tanpa semangat konservasi, kita tidak akan dapat menyandingkan bangunan-bangunan lama yang perlu dirawat-lestarikan dengan bangunan-bangunan baru yang serba modern yang seyogianya harus terkendali pengembangannya.

Benar adik iparku Lucky Noor Lukman, yang kini tengah sibuk mengerjakan bakal sebuah caf dan tempat konvensi terbuka yang adalah sebuah kerja rekonstruksi legacy tempo doeloe yang keren di Suryakencana tak jauh dari perempatan Suryakencana-Lapangan Merdeka. 

Lucky mengatakan mumpung orang-orang native Soekabumi yang berusia 50-70-an masih ada, sekaranglah saatnya bagi pemkot untuk mengkonsolidasikan mereka dan selanjutnya bersama warga kota Sukabumi yang berkompeten untuk itu sesegeranya membuat denah baru yang bisa menyandingkan sisi konservasi dan sisi modern dalam pengembangan kota Sukabumi.

Dan kesemuanya itu tentu demi keindahan, kelayakan dan kelestarian kota Sukabumi sebagai batu pijak pertama sebelum orang melancong ke titik-titik wisata di seantero Sukabumi raya.

Joyogrand, Malang, Wed'. Oct' 05, 2022

Sampul Buku Soekabumi The Untold Story karya Irman Firmansyah. Foto : Parlin Pakpahan.
Sampul Buku Soekabumi The Untold Story karya Irman Firmansyah. Foto : Parlin Pakpahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun